"Apa? Kamu minta aku ubah haluan ke Sam? Nggak mau ah. Om Daren lebih tampan menurutku," ujar Iris sembari merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Gadis ini sedang melakukan panggilan jarak jauh dengan Sherly, teman dekatnya di kampus.
"Iya juga, sih. Om Daren menurutku menggoda banget untuk dideketin," jawab Sherly. Gadis satu tahun lebih tua dari Iris itu membayangkan sosok pria yang sering Iris perlihatkan fotonya pada dirinya.
"Makanya. Bantu aku untuk dapatin Om Daren. Btw, tadi sore aku cium pipi dia, hahaha," ungkap Iris diakhiri dengan suara tawanya. Dia benar-benar puas melihat ekspresi terkejut di wajah pria duda itu.
"Bagus tuh. Secara dia itu pria dewasa dan seorang duda juga. Itu artinya kamu harus lebih gencar deketin dia selayaknya seorang wanita. Bersikap lebih dewasa mungkin pilihan yang bagus," usul Sherly.
Iris mengangguk, dia setuju. "Bagaimana? Kamu sudah ada cara untuk membuat beberapa bagian tubuhku agak menonjol? Kalau bisa body seperti Miss Ana," tanya Iris menyebut salah satu nama dosen mereka yang terkenal dengan keseksiannya karena sering memakai baju kerja yang ketat menampilkan lekuk tubuhnya.
"Gampang. Aku sudah ketemu caranya dan sedikit tanya teman."
"Bagus. Kita bicara besok di rumahmu saja bagaimana? Sekalian coba produknya."
"Boleh. Rumahku always sepi. Sekalian deh kita hangout aja. Btw, bagaimana kalau keluargamu tahu soal ini?"
Iris terdiam. Sejauh ini keluarganya tak tahu jika dirinya menyukai Daren. Karena pada dasarnya Iris sangat baik memainkan perannya di sini. "Tenang. Mereka nggak akan tau kalau kita nggak bilang."
Tok tok tok.
Suara ketuka di pintu membuat Iris langsung bangun dari tempatnya. "Sher, aku tutup teleponnya ya. Kita lanjut di sekolah besok. Dah."
"Baiklah. Dah."
Iris buru-buru menuju ke arah pintu. Dia buka pintu itu yang langsung menampilkan visual Arvie. Seketika senyum cerah Iris pun terpancar di sana dan secepat kilat ia memeluk kakak tersayangnya. "Kakak ... aku kangen," ucapnya dengan suara manja.
Arvie membalas pelukan itu sembari mengusap pelan kepala gadis yang memiliki tinggi hanya sebatas dadanya ini.
"Mana oleh-olehnya?" kata Iris yang menengadahkan kedua tangan kecilnya itu. Dan jangan lupakan mata penuh dengan pengharapan ada di sana.
"Kakak di sana bukan liburan, tapi menemani Kak Cinta," sembur Arvie.
Pemuda yang sudah dewasa itu memasuki area kamar sang adik. Iris menyusul sang kakak. "Kok gitu? Beli oleh-oleh apa salahnya juga," protes Iris.
"Kenapa kamu tidak berangkat sendiri saja ke sana?" usul Arvie. Yang ia maksud adalah negeri seberang yakni Singapura. Pemuda ini memang sering menemani sang tunangan berobat.
"Mana bisa. Masih kecil nggak boleh pergi sendirian. Nanti diculik," jawab Iris.
Arvie tertawa ringan, dia mengacak rambut sang adik pelan membuat gadis itu memekik protes. "Ayo turun. Ada yang ingin Kakak bicarakan," ajaknya. Iris mengangguk, dia dengan cepat mengambil ponselnya, kemudian menyusul Arvie yang sudah keluar lebih dulu.
Di bawah, lebih tepatnya di ruang keluarga Iris sudah ada Eden dan Milly. Iris langsung mengambil tepat di samping sang mama. Eden sendiri nampak sibuk dengan ipad miliknya. Kebiasaan sejak dulu yang tak pernah berubah.
"Aku perlu bicara," kata Arvie yang langsung mendapat atensi dari ketiga anggota keluarganya. Wajah pemuda yang sudah menjelma menjadi pria dewasa ini sangatlah serius tanpa ada gurat canda di sana. Iris tahu jika sang kakak dalam mode benar-benar serius.
"Aku ingin segera menikahi Cinta," lanjutnya. "Setahun lagi waktu yang sangat lama menurutku. Aku ingin menikahinya sebulan dari sekarang," sambungnya.
Tentu keinginan Arvie yang memajukan pernikahan sangat ketiganya tak pahami. Ini terlalu cepat dan terkesan mendadak bukan?
"Kenapa kamu meminta sesegara mungkin menikah? Bukankah kita semua sepakat jika Cinta akan melakukan pengobatan lebih dulu?" tutur Eden. Milly setuju dengan sang suami, sedangkan Iris hanya sebagai pengamat di sini.
Arvie menatap Eden penuh. "Aku tidak bisa menunggu lagi, Pa. Aku tidak ingin kehilangan momen itu. Aku tidak ingin kehilangan dia lebih dulu."
Sederet kata itu tentu menjelaskan benar apa hasil pemeriksaan Cinta kali ini. Iris benar-benar sedih dengan nasib kakaknya serta calon kakak iparnya itu.
"Kita harus membicarakan ini dengan keluarga Cinta," sahut Milly. Eden setuju.
"Weekend kita akan berkunjung ke sana. Menunda sesuatu tidak baik bukan?"
Arvie setuju. Iris pun setuju.
***
"Kamu tinggal pilih mau yang mana," kata Sherly yang menunjukkan sebuah gambar produk di layar ponselnya. Kedua gadis ini sedang berada di kantin, lebih tepatnya mereka tidak ada kelas.
Ponsel Sherly sudah berpindah tangan. Iris menatap betul dua gambar di sana.
"Menurutmu lebih baik yang mana?" tanya Iris. Dia tentu tak tahu menahu mengenai ini.
"Aku saranin pake alat pijat ini. Bentuknya juga mirip dengan dalaman kita. Toh, jika kamu memakainya, tak akan ada yang tahu jika itu adalah alat pijat, bukan? Dan ini juga kamu tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada keluargamu nanti."
Iris mengangguk paham. Ada dua produk yang Sherly rekomendasikan. Produk lainnya adalah sebuah minyak. Iris tak yakin sebenarnya dengan bahan-bahan yang harus bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi itu didapatkan secara online.
"Baiklah aku setuju yang ini. Kamu sudah beli?" tanya Iris.
"Sudah. Ada di rumah. Ini juga direkomendasiin teman beberapa hari lalu," terang Sherly. "Tapi, temenku ada cara lain yang katanya gak perlu mengeluarkan biaya," sambungnya dengan wajah aneh. Iris mengernyit, namun dia penasaran.
"Apa itu?" Lumayan jika ia tak perlu mengeluarkan biaya untuk ini.
Sherly menggeser duduknya. Dia sedikit merendahkan kepalanya. "Kata temenku, kalau kita sudah punya pacar, pasti lama-lama bentuk tubuh kita akan berubah."
Semakin timbul kernyitan di dahi Iris. Sherly antara yakin dan tidak yakin untuk memberitahu Iris. Pastinya nanti temannya ini akan terkejut. "Kamu pasti tau kalau nanti sudah sama Om Daren," akhiri Sherly. Dia ingin bermain aman. Iris yang tak mengerti pun hanya mengangguk saja.
"Universitas?" sahut Daren yang baru saja menyelesaikan meetingnya. Pria itu sedang berada di dalam ruang kerjanya.
"Iya, Tuan," jawab Louis. "Anda adalah donatur terbesar di sana. Dan Anda diminta datang untuk memberikan langsung bantuan kepada mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi," jelasnya lebih lanjut.
Daren mengangguk paham. Pria itu berdiri dan langsung memakai jas miliknya.
"Kak Arvie dan Kak Cinta akan memajukan pernikahan mereka," ungkap Iris kepada Sherly.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang mereka menikahnya masih lama?"
Iris mengangkat bahunya. "Feeling-ku mengatakan jika keadaan Kak Cinta benar-benar buruk sekarang. Dan Kak Arvie nggak mau kehilangan momen bersama Kak Cinta."
"Kak Arvie benar-benar so sweet dan setia banget. Jarang ada laki-laki yang mau nungguin perempuan yang bisa dikatakan sakit parah seperti Kak Cinta. Mari kita doakan agar mereka bisa terus bersama."
"Amin. Aku juga berdoa demikian. Kak Arvie dan Kak Cinta adalah pasangan yang menjadi contoh untukku. Kak Arvie benar-benar setia. Itu juga akan aku lakukan pada Om Daren."
Sherly sangat suka dengan tingkat kepercayaan diri gadis ini sekaligus panyang menyerahnya.
"Iris."
Panggilan dari arah belakang keduanya membuat gadis ini menoleh. Seorang pemuda dengan pakaian ala anak muda berlari kecil menuju ke tempat keduanya berdiri. Iris dan Sherly baru saja akan berbelok ke lorong menuju ke kelas mereka.
"Kalian mau ke mana?" tanya Sam. Pemuda yang menaruh perhatian lebih kepada Iris, namun hati gadis ini hanya untuk Daren seorang.
"Ke kelas. Ada apa?" tanya Iris.
"Ke aula sekarang. Kamu lupa ya? Hari ini ada penyerahan bantuan dan penghargaan kepada mahasiswa dan mahasiswi berprestasi? Kamu ada di deretan itu," jelas Sam.
Iris menepuk dahinya ringan. Dia lupa. Meskipun terkesan lemot, sebenarnya Iris adalah gadis yang pintar. Tak jarang ia mendapat penghargaan untuk usahanya.
"Ayo, semuanya sudah menunggu," lanjut Sam. Ketiganya pun berputar arah menuju ke aula.
Daren baru saja turun dari mobilnya. Sebenarnya ia jarang ke kampus ini karena menurutnya itu tak perlu dilakukan selama masih ada dekan. Tapi, datang sesekali bukanlah hal yang buruk juga. Daren datang tentu ditemani oleh Louis yang selalu setia di samping atasannya ini.
Kampus benar-benar sepi karena memang semua orang berkumpul di aula indoor.
"Setelah ini aku ada pertemuan apa lagi, Lou?" tanya Daren sembari berjalan menuju ke tempat tujuan mereka.
"Tidak ada, Tuan. Jadwal Anda kosong. Tapi, Nyonya Fris menghubungi saya untuk menyampaikan jika nanti malam dia akan berkunjung."
Mantan istrinya lagi-lagi datang. Seperti kata Daren kemarin kepada Iris jika tak ada wanita lain yang dekat dengannya kecuali sang mantan istri. Meskipun sudah resmi bercerai, Daren tak menampik jika rasa itu masih ada. Namun, dia tak pernah lupa dengan perselingkuhan Fris meskipun dia sudah memaafkan wanita itu.
Daren dan Louis memasuki aula besar itu yang mana riuh suara mahasiswa dan mahasiswi terdengar. Pertama kali menginjakkan tempat itu Daren merasa biasa saja. Pria ini hanya menampilkan raut wajah biasa miliknya. Dengan sesekali tersenyum tipis.
"Selamat datang, Pak Daren," sambut sang dekan. Daren bersalaman dengan dekan serta sederet staff yang hadir. Kemudian pria ini digiring menuju ke tengah panggung. Di sana memang tersedia tempat beberapa undakan lebih tinggi.
Daren menatap mahasiswa dan mahasiswi yang hadir tak begitu banyak di aula ini. Dekan memberikan sambutan, kemudian disusul oleh Daren juga. Setelah acara sambutan, acara inti langsung dimulai. Dipanggillah satu persatu mahasiswa dan mahasiswi yang akan menerima bantuan dan penghargaaan. Hingga satu nama terakhir disebutkan membuat Daren mengernyit.
Daren menoleh kepada Louis, mencoba meminta penjelasan. "Dia itu Iris, putri dari Pak Eden, Tuan" ungkap pria berpakaian formal yang selalu mengikuti Daren.
Mata Daren pun membulat. Dan dia melihat sosok itu yang baru saja naik ke atas dan berdiri sejajar dengan para mahasiswa lainnya. Daren baru tahu jika Iris berkuliah di sini. Sial, harusnya dia sudah tahu.
Iris yang sejak tadi melihat sosok Daren di kampusnya nampak tak percaya. Pria pujaannya benar-benar ada di sini. Iris tak membiarkan kesempatan ini datang dua kali. Sherly yang baru tau sosok Daren saja nampak syok. Pria itu lebih dari ekspetasi yang ada dipikirannya. Iris tak lupa memperingati Sherly untuk tak jatuh cinta pada Daren karena Daren adalah miliknya.
Daren mencoba bersikap profesional. Dia mengikuti arahan dekan dan staff. Daren memberikan penghargaan serta bantuan bagi mahasiswa dan mahasiswi itu. Hingga tiba giliran terakhir yakni Iris. Gadis itu tersenyum hangat. Daren memutar bola matanya malas. Dia masih ingat tindakan nekat Iris kemarin di rumahnya.
Iris menerima penghargaan itu dengan tangan yang sengaja menyentuh tangan Daren. Pria itu hanya diam, seolah tak terjadi apa pun. Setelah sesi pemberian penghargaan, sesia foto pun terjadi. Sayangnya Iris tak bisa berfoto di dekat Daren karena pria itu berada di tengah-tengah.
"Dia benar-benar tampan," puji Sherly.
Iris mengangguk dengan senyum lebar miliknya. Pandangannya tak beralih dari sosok Daren. Pria itu tahu jika Iris terus saja melihat kepada dirinya.
"Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku jika putri Pak Eden berada di sini?" bisik Daren kepada sekretarisnya.
"Maaf, Pak. Saya juga baru mengetahuinya barusan."
"Lain kali bertindak lebih cepat terutama jika ini menyangkut gadis itu," omel Daren.
Setelah acara itu, Daren tentu ingin segera pergi. Namun, itu tidak semudah yang dibayangkan karena Iris tak akan dengan mudah membiarkan dirinya pergi. Gadis itu menyusul Daren dan Louis yang berjalan menuju ke arah parkiran.
"Om Daren!" panggil Iris sedikit berteriak. Daren pasrah, dia memang tak bisa menolak gadis ini.
"Louis, kau pergilah dulu ke mobil. Aku akan menyusul," perintahnya. Louis pergi bersamaan dengan Iris yang baru saja sampai di depan Daren.
Iris menampilkan senyum terbaiknya. Sebenarnya Iris memiliki senyum yang manis, dan itu sangat Daren sadari. Tapi tetap saja Iris bukanlah tipenya karena gadis itu berusia sangat jauh dari dirinya.
"Aku baru tau kalau Om Daren donatur di sini," ujar Iris.
Daren menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat sedang sibuk, padahal dia tak ada meeting setelah ini. Iris yang melihatnya pun mencoba memahami keadaan. "Om lagi sibuk ya?" tanyanya dengan hati-hati.
"Ini masih jam kerja, Iris," jawab Daren bersabar.
Wajah gadis ini menekuk lesu. Padahal dia ingin lebih lama melihat Daren. "Om. Weekend nanti aku boleh main ke rumah?" Katakanlah Iris nekat. Tapi, kalau dia tak bertindak agresif, bisa saja Daren diambil wanita lain.
Daren memicing curiga mendengar pertanyaan gadis ini. "Hari minggu libur kerja."
"Itu artinya Om free, kan? Baiklah. Aku akan main ke rumah Om Daren ya," ungkap Iris.
"Jangan!" tolak pria itu mentah-mentah. "Eh. Maksudku kamu boleh datang tapi jika dengan papamu atau mamamu," ralatnya. Bisa bahaya jika Iris datang seorang diri.
"Papa sama Mama lagi sibuk. Weekend mau ke rumah Kak Cinta untuk bicara soal pernikahan," jelas Iris. Tentu dia tak ikut karena tak mengerti dengan pembicaraan orang-orang dewasa. Hari itu bisa ia manfaatkan untuk pendekatan dengan Daren tentunya. "Boleh ya, Om? Please."
Daren mengembuskan napas lelahnya. Bagaimana cara dia menolak Iris? Tentu itu tidak mungkin. Dengan berat hati, Daren pun mengangguk. Dan iris memekik senang di sana. Sekarang Daren lah yang tak tenang. Dia harus menyiapkan mental untuk menghadapi gadis ini.
____
Wah, ngetiknya dah aku banyakin ini. Semoga suka ya. Btw jangan lupa komen agar aku lebih semangat dan jangan lupa tap love ya. See you ^^