Karena insiden photocard, acara menonton Kirana dan Yeri tidak terlaksana. Yeri mencoba menenangkan sang teman yang masih menangis.
"Sekarang, bukan itu masalahnya!" Kirana mengusap air matanya.
"Apa lagi? Demi apapun aku akan membantumu kali ini."
"Aku... Aku memikirkan perkataan Karina."
Ucapan Kirana membuat Yeri merosot dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Ia sudah tidak tahu lagi harus menanggapi Kirana seperti apa. Apalagi, kekhawatirannya sekarang makin menjadi dan tak masuk akal.
"Ra, coba pikirkan yang sebelumnya kukatakan. Karina tidak mungkin membahas hal tidak penting. Em, maksudku di luar pekerjaannya. Pasti, mereka akan lebih fokus membahas pekerjaan daripada membahasmu."
Kirana tidak terlalu puas dengan perkataan Yeri dan masih memasang wajah tidak enaknya.
"Ra... Aku pulang, deh!"
"Menginap saja, dong. Kamu tega membiarkan aku sendiri? Dalam keadaan berduka? Yakin?"
Yeri berdecak malas mendengar drama yang keluar dari mulut Kirana. Ditambah ekspresinya begitu menyebalkan sekaligus membuatnya tidak sampai hati.
Karena, ia yakin setelah ini Kirana pasti akan melamun memikirkan hal tidak menyenangkan beberapa waktu lalu.
"Baiklah. Aku menginap."
"Aku mencintaimu."
"Jangan mulai! Tapi, aku harus izin dulu. Tadi, aku hanya mengatakan ingin main ke rumahmu. Bukan menginap."
"Oke. Pasti diizinkan kalau bersamaku."
Yeri mengangguk lemas. Mau bagaimana lagi? Kirana memang seperti ini. Untung saja, keluarga mereka memang sudah saling mengenal baik. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Ra, aku berangkat lagi." ucap Karina yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar Kirana.
"Belajar mengetuk pintu sebelum masuk, dong. Kamu sudah cukup istirahat?" tanya Kirana.
Meski kerap kali saling melempar ejekan, mereka tetap saling peduli satu sama lain. Terlebih Kirana pada sang kakak yang paham seberapa padat aktivitasnya.
"Sudah." jawab Karina.
"Ah, tunggu sebentar." Kirana mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya.
Karina yang melihat hal itu mengernyit. Apa yang tengah adiknya cari? Tetapi, ia memilih menunggu.
"Ah, ini. Kalau lelah, istirahat. Jangan sampai sakit." Kirana memberikan vitamin kepada Karina.
"Aduh, perhatian sekali, adikku." Sang kakak menerimanya dengan senang hati.
"Ya, kamu kan sebentar lagi ada project dengan Jun oppa. Promosinya padat, lho. Jangan sampai tidak maksimal."
"Oh, harusnya aku paham soal ini," kekeh Karina. "Tapi tetap saja aku berterima kasih. Sudah, ya. Managerku sudah menjemput di depan. Yeri, temani anak nakal ini, ya."
"Siap, Kak." sahut Yeri sambil menahan tawanya.
"Jangan tertawa! Aku tahu apa yang ada di pikiranmu!" Kirana menyenggol lengan Yeri.
"Apa, sih? Aku hanya tersenyum pada kak Karina. Kenapa kamu yang heboh?"
Kirana mencebil kesal dan mulai merapikan tempat tidurnya.
"Sudah hampir makan malam. Mau memasak tidak? Kasihan buna kalau pulang nanti harus memasak juga."
Yeri mengernyitkan keningnya. Mencoba mencerna apa yang Kirana katakan.
"Moodmu sangat aneh, ya? Baru saja menangis meraung-raung seperti orang frustasi. Sekarang, malah begitu semangat ingin memasak. Aneh!"
"Aku baru ingat konten Neo. Jun oppa kan pandai memasak. Jadi, aku juga harus begitu."
"Ck! Sudah kuduga. Tapi, kamu yakin? Kalau dapurmu terbakar, jangan libatkan aku untuk bertanggung jawab, ya!"
"Kenapa tidak percaya padaku, sih?" tanya Kirana kesal.
"Bukan begitu. Selama ini, aku tidak pernah tahu kamu bisa memasak. Jadi, ya sedikit khawatir."
Mendapat keraguan dari Yeri, Kirana malah semakin percaya diri untuk unjuk kebolehan memasaknya. Yeri harus tahu kalau kemampuan memasaknya tidak bisa diragukan.
"Kali ini, aku ingin memasak makanan khas Indonesia. Kamu tidak keberatan, kan?" tanya Kirana sambil mengenakan celemeknya.
"Tidak masalah. Tempo hari, aku cocok dengan bekal yang kamu bawa. Ya, mungkin itu karena bunamu yang memasak. Tidak tahu kalau kamu, ya!" kekeh Yeri.
"Terus saja meremehkanku! Kalau ketagihan, jangan salahkan aku."
Kirana mulai memilah sayuran di dalam lemari es. Tak lupa juga beberapa butir telur juga bumbu-bumbu yang dibutuhkannya.
Kali ini, Kirana ingin masak mie goreng. Salah satu makanan favoritnya yang tidak pernah absen dari daftar makanan mingguannya.
"Kamu tolong potong daun bawang dan kubis, Yeri. Aku mau menghaluskan bumbunya."
Yeri sempat terkejut dengan benda yang digunakan Kirana. Alat menghaluskan bumbu manual yang berasal dari Indonesia. Ia bahkan tidak menghiraukan perkataan Kirana.
"Yeri..."
"Eh? Ra, kok aku baru lihat benda itu?"
"Buna yang bawa. Entah bagaimana benda ini bisa berada di sini. Namanya cobek." Kirana mencoba menjelaskan.
"Oh. Menyenangkan juga, ya berteman denganmu. Aku jadi mengenal budaya lain."
"Hmm. Jadi, sekarang ayo potong kubisnya, Yeri."
"Baik! Aku kan hanya membantu. Kenapa kamu malah memaksa?"
Yeri benar-benar takjub dengan kemampuan memasak Kirana. Sangat tak terduga. Karena, sebelumnya ia tak pernah melihat Kirana memasak sama sekali. Jadi, ia berpikir kalau temannya itu memang tidak bisa memasak.
"Coba cicipi." Karina menyodorkan sendok yang dipegangnya ke arah Yeri.
"Enak." Yeri mengangkat kedua jempolnya. Ini sungguhan. Ia tidak mengada-ada karena masakan Kirana ternyata begitu lezat.
"Apa aku bilang? Ya, memang tidak seenak masakan buna."
"Segini saja aku sudah begitu terkejut, Ra. Apalagi, kalau masakanmu seenak buna. Aku akan mendaftarkanmu ke ajang memasak."
"Yang benar saja?" kekeh Kirana.
Keduanya tertawa sebelum menata meja makan sambil menunggu sang ibu pulang.
***
"Karina, dua menit lagi sesi foto selanjutnya, ya."
"Baik."
Gadis itu merapikan riasannya sebelum kembali ke sesi selanjutnya. Kali ini, ia tengah melakukan pemotretan di sebuah majalah terkenal bersama Jun.
"Oke. Semua selesai. Selamat beristirahat. Good job!" teriak sang produser.
"Terima kasih." ucap Jun dan Karina secara bersamaan.
"Jun, tunggu!"
Jun yang hendak keluar ruangan itu terhenti saat mendengar panggilan Karina.
"Ya?"
"Em, maaf mengganggu waktumu sebentar."
Meski sudah beberapa kali bertemu dalam urusan pekerjaan, mereka berdua memang jarang mengobrol tentang hal di luar itu. Karina juga agak ragu saat memanggil Jun seperti sekarang ini.
"Ada yang bisa kubantu?"
"Ya. Em, sedikit. Duduklah dulu. Tidak enak bicara sambil berdiri. Maaf, ya sebelumnya."
Karina mengeluarkan sebuah postcard dari dalam tasnya.
"Bisa tolong tanda tangani? Sebenarnya, ini saja yang aku maksud. Buang-buang waktu, ya?"
Jun menahan kekehannya. "Tidak perlu secanggung itu. Maaf karena aku terlalu kaku."
"Ah, jadi tidak enak. Kita kan jarang mengobrol." Karina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Baik. Kutulis apa di sini?" tanya Jun sambil menggoreskan tinta di atas postcard bergambar dirinya.
"Don't cry. Tambahkan emoji senyum, ya."
"Begini?"
"Ya. Wah, lucu sekali."
"Tidak menyangka. Kau penggemarku juga? Em, bukan sok percaya diri, ya."
"Oh, maaf sekali kalau aku mematahkan kepercayaan dirimu. Tapi, ini bukan untukku."
Jun malah tertawa kali ini. "Bercanda. Aku sudah menduga. Lalu, untuk siapa ini? Mengapa harus ditulis don't cry?"
Karina tampak ragu mengatakan yang sebenarnya. Pasalnya, ia sudah berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada Jun.
"Itu..."
"Katakan saja. Aku akan senang kalau orang yang kau maksud itu senang."
"Begini, adikku begitu menyukaimu. Siang tadi, dia menangis karena tidak sengaja merusak photocard yang katanya begitu susah dia dapatkan."
"Memang ada, ya?" potong Jun.
"Hanya penggemarmu yang paham."
"Huh, kenapa bisa seperti itu, ya?" tanya Jun lagi.
"Hey, yang menginginkanmu di dunia ini banyak, Jun. Termasuk, benda-benda yang berhubungan denganmu."
"Aku tahu. Lanjutkan ceritamu."
"Aku lupa. Sampai mana tadi?" Karina berpikir sejenak. "Oh, iya. Poca yang rusak. Dia menangis begitu keras sampai tidak bisa berhenti. Merutuki kesalahannya yang teledor sampai merusaknya. Aku tidak sampai hati melihatnya seperti itu. Ya, dia adikku satu-satunya ngomong-ngomong."
"Manisnya. Aku baru tahu kalau kau memiliki adik. Pasti, dia sangat menggemaskan. Apalagi, saat menangis." Jun malah tersenyum. Membayangkan betapa gemasnya adik Karina ini.
"Menggemaskan apanya? Dia cukup mengganggu kalau sudah berteriak. Apalagi, saat merengek. Ya, walau begitu, aku tidak ingin dia sedih terus."
Karina agak kesal karena adiknya tidak semenggemaskan itu.
"Wajar saja kalau anak kecil merengek. Kadang, saat kita lelah memang terdengar menyebalkan. Tetapi, kalau tengah bersantai dan diajak bermain, pasti menyenangkan. Aku pun sering begitu dengan keponakanku. Dia begitu lucu mesti sering merengek."
Karina menganga tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Jun mengatakan seolah adiknya ini seumuran dengan keponakannya. Padahal, lelaki itu tidak tahu saja kalau adiknya selalu membayangkan Jun menjadi kekasihnya setiap waktu.
"Biar kutulis namanya. Em, bileh kutahu namanya?" tanya Jun seperti tak menghiraukan ekspresi Karina yang terkejut.
"Eh? Rara. Namanya Rara." jawab Karina cepat.
"Nah, sudah. Bilang juga padanya jangan menangis lagi. Tidak apa-apa. Nanti, kuberikan fotoku padanya."
"Astaga, Jun. Baik sekali. Oke kalau begitu. Maaf mengganggu, ya. Aku pulang duluan."
"Baik. Hati-hati. Jangan sering kesal pada adikmu."
Karina hanya menjawabnya dengan kekehan.
***
"Bun, ini sudah larut. Karina apa tidak lelah, ya?"
Kirana yang kini tengah bersantai di ruang keluarga, lagi-lagi menengok ke arah pintu. Agak cemas menunggu sang kakak yang belum juga kembali.
"Tadi, dia chat Buna. Sedang dalam perjalanan pulang."
"Oh, syukurlah."
"Tumben sekali menanyakan?"
"Bun, tadi siang Karina pulang. Rara melihat matanya sangat lelah. Rara khawatir."
"Kakakmu baik-baik saja."
Kirana mengangguk paham. Ia kembali fokus pada tayangan televisi yang sebelumnya diabaikan sejenak demi mengobrol bersama sang ibu.
"Aku pulang."
Suara dari arah pintu membuat Kirana melompat dari posisi duduknya.
"Ah, akhirnya sudah sampai."
"Tumben sekali menungguku? Biasanya sudah mengurung diri di kamar."
"Terus saja menuduh yang tidak-tidak padaku! Aku khawatir, tahu! Tadi, kamu terlihat begitu lelah." Kirana menatap lembut ke arah sang kakak.
Karina yang melihat hal itu tentu saja tersenyum. Ia kembali teringat apa yang Jun katakan. Kalau adiknya begitu menggemaskan. Ternyata benar.
"Kenapa malah tersenyum? Ayo cuci tanganmu dulu. Lalu, makan mie goreng buatanku. Akan kuhangatkan sebentar."
Karina tampak terkejut sambil melirik sang ibu yang hanya memberi kode untuk mengikuti apa yang diinginkan sang adik.
"Oh, iya. Bukannya tadi Yeri akan menginap?" tanya Karina.
"Iya. Tapi tiba-tiba dijemput. Katanya, ayahnya harus berangkat ke Sidney. Jadi, harus mengantar ke bandara."
Karina hanya mengangguk sebagai jawaban.
Sang ibu hanya tersenyum melihat kedua putrinya yang biasanya saling melempar ejekan, kini terlihat begitu akur.
***
"Ra, sudah tidur?"
Karina mengetuk pintu kamar Kirana berkali-kali. Berharap sang adik masih terjaga. Meskipun, ia tak mendengar apa-apa dari dalam kamar yang biasanya memutar lagu-lagu milik Neolabs.
"Tidak dikunci." jawab Kirana.
"Aku masuk, ya."
Gadis itu melihat sang adik yang tengah berbaring menatap bintang-bintang yang menempel di plafon kamarnya yang bersinar saat lampu dimatikan.
"Masih sedih?" tanya Karina.
Kirana tak menjawab.
"Sudah. Kamu menghabiskan waktu untuk memasak seperti tadi untuk mengusir kesedihan, kan?" tebak Karina.
"Sangat terlihat, ya?"
"Aku paham. Saat Yeri pulang, buna sudah di rumah?"
"Sudah. Ah, aku memang tidak seharusnya seperti ini, kan? Apa menurutmu aku terlalu kekanakan?"
"Tidak juga. Semua orang berhak untuk bersedih saat apa yang sudah susah payah diperjuangkan menjadi seperti itu. Lagipula, kesenangan setiap orang kan berbeda. Maaf ya, aku sering menggodamu."
"Aku tahu. Kamu tidak serius tentang itu."
Mereka berdua kini sama-sama berbaring sambil menatap langit-langit.
"Mau kutemani malam ini?" tanya Karina.
"Tidak keberatan? Jujur, aku ingin ditemani."
"Uh, memang adikku ini begitu menggemaskan. Benar kata Jun."
Mendengar nama Jun disebut, Kirana langsung terbelalak dan mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk.
"Jun oppa, apa? Karina, tolong jangan bicara tidak jelas, ya!" teriak Kirana.
"Astaga! Jangan berteriak. Ini sudah larut."
"Ya makanya! Ayo katakan!"
"Aku harus mengambil sesuatu dari kamar."
Karina langsung beranjak dari tempat tidur tanpa menghiraukan teriakan Kirana yang menyuruhnya kembali dan menjelaskan apa yang sempat dikatakannya itu.
"Nih!"
Tak berselang lama, Karina membawa sesuatu dan langsung diserahkan kepada sang adik.
"Lho, ini..."
"Ya! Tadi aku mengambil ini diam-diam dari kamarmu saat kamu ke kamar mandi. Ah tidak. Yeri yang mengambilkan."
"I-ini... Tanda tangan Jun oppa?" Kirana menatap postcard yang berada di tangannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Betul sekali. Aku tidak ingin terus melihatmu menangis."
"A-aku, Karina..." Kirana tidak bisa berkata banyak. Ia benar-benar takjub.
Oh, apakah ini yang dinamakan kekuatan orang dalam?
"Jangan berlebihan begitu, dong. Kata Jun, jangan menangis." Karina mengacak rambut sang adik dengan gemas.
"Lalu, apa maksudnya menggemaskan?"
"Ha? Apa?" tanya Karina pura-pura lupa.
"Ish! Katakan yang tadi!" Kirana menggoyangkan lengan sang kakak tidak sabaran.
"Baik! Kata Jun, kamu menggemaskan karena menangisi pocanya. Tapi, jangan menangis lagi." jawab Karina akhirnya.
"Aaa..."
Teriakan Kirana terpotong karena Karina menutup mulutnya.
"Kamu tidak berbohong, kan? Jun oppa benar-benar bicara begitu?" tanya Kirana lagi.
"Aku bukan pengkhayal, ya! Memang sungguh, Jun mengatakan hal itu. Sudah, ya."
"OH MY---"
"Sudah larut! Jangan berteriak begitu. Ayo tidur!"
Lagi-lagi, Karina membekap mulut sang adik sebelum merebahkan tubuhnya dan menaikkan selimutnya. Membiarkan Kirana kasak-kusuk karena menahan teriakannya.
"Karina, nanti aku boleh minta tolong lagi, tidak?" bisik Kirana pada sang kakak yang sedang pura-pura tertidur.
"Ish! Aku tahu kamu tidak tidur! Ayo jawab iya!"
Kirana mengguncang tubuh sang kakak.
"Ya Tuhan, Rara! Tidak lagi! Jangan memanfaatkan ini, ya! Dulu saja kamu menolak." cebik Karina.
Kirana hanya tertawa pelan. Lalu, kembali menyalurkan rasa bahagianya dengan memukul-mukul bantal gulingnya.