Kirana hampir kembali melupakan kelasnya pagi ini. Semalam, ia sibuk merapikan berbagai merchandise Neolabs yang menurutnya begitu berantakan dan kurang enak dilihat. Ia baru selesai pukul tiga pagi. Belum lagi dirinya harus mendapat omelan dari sang ibu yang sudah begitu lelah membangunkannya.
Gadis itu tergesa-gesa menuju halte dan semoga saja dirinya tak tertinggal bus. Karena, kalau bus sekarang sudah terlanjur lewat, ia harus menunggu lima belas menit lagi. Sementara, waktu masuk kelasnya tersisa dua puluh menit.
"Ah, hampir saja." Kirana membuang napasnya lega saat kakinya berhasil menapak di dalam bus.
Memang agak merepotkan kalau-kalau fans Karina mengenali dirinya. Tetapi, ia enggan menggunakan kendaraan sendiri untuk pulang pergi ke kampus. Pasalnya, ia masih belum begitu mahir berkendara. Salah-salah ia bisa mendapat masalah. Lagi pula, tak ada yang bisa mengantar jemputnya secara pribadi.
Entah angin apa yang membawa pikirannya melayang jauh pagi ini. Kirana membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih yang siap mengantar jemputnya setiap hari. Pasti akan lebih menyenangkan.
"Ah tidak!" pekiknya ketika bus tiba-tiba mengerem. Membuyarkan segala khayalan anehnya.
Untung saja, kali ini ia bisa mengontrol suaranya. Jadi, tidak menimbulkan kegaduhan yang membuat pandangan tertuju kepadanya seperti tempo hari.
Gadis itu berjalan terburu-buru sambil melirik jam tangannya. Takut telat di kelas dosen paling killer. Bisa diusir dia.
"Tumben sekali datang tepat waktu," ucap Yeri begitu Kirana sampai di depan kelas.
"Aku telat, dikomentari. Tepat waktu juga!" cebik Kirana.
"Tapi, sepertinya ini bukan kemauan kamu sendiri, kan? Pasti dipaksa bangun, kan?"
"Tahu sendiri, lah! Semalam, aku membereskan merch. Tidak terasa sampai pukul tiga pagi. Itu juga aku ketiduran."
"Always Jun dan Neolabs yang buat begini. Tapi, tugas Choi ssaem sudah, kan?"
"Sudah. Kukerjakan saat itu juga. Kapok menunda."
"Ya, setelah tugas miss Andrea tempo hari, kan?" kikik Yeri.
Kirana mengerucutkan bibirnya karena apa yang dikatakan temannya itu benar.
Sepertinya, bukan hanya merchandise Neolabs yang ia bereskan. Tetapi, jadwal kuliah dan daftar tugas juga harus ia bereskan.
"Itu terakhir kalinya aku lalai. Kedepannya tidak akan."
"Aku adalah orang yang selalu mendengar janji-janjimu. Tetapi, semua itu tentu saja palsu. Seperti saat kamu mengatakan akan berhenti membeli merchandise Neolabs dan dua menit kemudian barangnya sudah berada dalam keranjang belanjamu."
"Yeri sungguh luar biasa. Hapal sekali ya dengan tabiatku. Uh, jadi makin sayang."
"Terima kasih. Tapi, aku lebih sayang Joon Woo."
"Yeri..."
"Ya, ya. Aku menyayangimu juga. Kupegang janjimu kali ini. Biarpun, aku tidak terlalu percaya sebenarnya."
"Seharusnya memang begitu. Kamu dengar, ya. Kalau benar, aku berjodoh dengan Jun oppa."
"Sepertinya, aku tidak bisa berharap apa-apa dari janjimu!" Yeri memutar bola matanya malas.
Sedangkan, Kirana hanya tersenyum lebar sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
Kirana tidak menyampaikan keluhan apa-apa di kelasnya kali ini. Sepertinya, Kirana memang bersungguh-sungguh. Yeri yang biasanya mendapat teror pesan saat kelas, akhirnya bisa bernapas lega setelah melirik temannya yang fokus melihat layar di depan kelas sambil mencatat.
"Ternyata, tidak terasa ya. Kelas Choi ssaem sudah selesai." ucap Kirana.
"Memang. Dari dulu juga seperti itu. Choi ssaem tidak pernah mengamuk kalau tidak ada yang membuat ulah."
"Ah, jangan diingatkan lagi, dong."
"Iya. Aku sepertinya mulai percaya dengan perubahanmu."
"Memang sudah seharusnya teman mempercayai temannya. Ayo kita makan. Serius belajar ternyata membuat perutku hampir kosong." Kirana memegangi perut rampingnya.
"Benar juga. Ayo!"
Kirana dan Yeri langsung bergegas menuju kantin dan memilih menu makan siang sesuai selera masing-masing.
"Ingin menonton tidak?" tanya Kirana di sela-sela makannya.
"Menonton apa? Kalau fancam Neolabs, kamu sendiri saja."
"Ish. Kenapa anti sekali sih sama Neolabs?"
"Bukan anti. Kamu berisik. Selalu saja berteriak. Padahal, mereka tidak akan mendengar suaramu juga!" cibir Yeri.
Kirana yang tengah mengunyah makanannya itu langsung berhenti dan menatap Yeri sengit.
"Y-ya aku hanya bicara kenyataan. Ingat tidak, waktu itu aku pulang saja kamu tidak peduli, kan? Sudah. Jangan menatapku seperti itu. Tatapanmu menyeramkan tahu!"
"Tidak. Sungguh kali ini aku tidak akan mengajakmu menonton Neolabs. Bagaimana kalau menonton Squid Game? Aku ingin menonton itu tapi tidak berani sendiri."
"Ah, kemarin aku baru menonton dua episode. Lalu, aku tertidur."
"Kenapa tidak mengajakku, sih?"
"Kamu kan takut darah! Benar mau menonton itu?" tanya Yeri meyakinkan.
"Benar. Di rumahku tapi, ya. Kamu kan membawa mobil. Kalau aku yang ke rumahmu, repot."
"Iya! Sediakan saja banyak camilan. Agar aku tidak bosan."
"Siap!"
Kirana sebenarnya memang takut. Tetapi, tidak ada pilihan lain selain cara itu untuk mengusir bosannya. Ia sedang butuh teman bicara kali ini. Bukan hanya menonton Neolabs. Tetapi, itu bukan berarti minatnya pada boygrup favoritnya itu berkurang.
Keheningan yang menyapa Kirana saat memasuki rumah memang kurang menyenangkan. Orang-orang begitu sibuk. Ibunya juga mulai jarang menyapanya saat pulang kuliah semenjak mengelola toko bunga beberapa waktu terakhir ini. Mengapa hanya dirinya yang tampak begitu tak berguna?
"Ah, kenapa aku mellow terus sejak tadi?" gumam Kirana sambil menaruh sepatunya.
Ia mengabaikan perasaannya yang mungkin saja dikarenakan waktu datang bulannya yang sudah di depan mata.
"Oke! Mari kita memeriksa SNS. Siapa tahu, Jun oppa meng-update sesuatu."
Kirana bersila di atas tempat tidurnya sambil menggulir layar ponselnya.
'Aku bekerja keras untuk ini. Nantikan!'
Begitu yang tertulis di laman sosial media resmi milik Neolabs. Kirana hampir menjerit karena foto yang diunggah begitu tampan.
Jun dengan pose andalannya. Yaitu mengangkat dua jari membentuk huruf V dan tersenyum manis. Meski tidak memiliki banyak gaya, tapi Kirana suka. Intinya, Kirana menyukai semua hal tentang Jun. Sekecil apapun. Meskipun, Jun hanya mengunggah bayang-bayang dirinya saat malam hari.
Pernah, saat itu pukul satu dini hari. Tentu saja, orang-orang sudah terlelap. Tetapi, Kirana malah berteriak kencang hanya karena Jun mengunggah foto berbaring di tempat tidur. Alhasil, semua orang di rumahnya terbangun dan menghampirinya. Takut terjadi sesuatu.
Alangkah menyebalkannya saat itu, Kirana malah menjawab dengan santai, "Jun oppa mengunggah foto." Sambil tersenyum tanpa dosa.
"Semangat, Jun oppa. Kalau lelah, kamu bisa bersandar di bahuku." gumam Kirana sambil menuliskan kata semangat di kolom komentar. Tentu saja, bukan seperti yang dirinya katakan.
"Satu jam lagi Yeri datang. Sebaiknya, aku mandi dulu." ujarnya sambil melirik jam dinding.
"Jun oppa, aku kembali lagi nanti, ya. Jangan rindu."
Setengah jam berlalu, Kirana tampak lebih segar dengan penampilan rumahannya. Ia menyiapkan beberapa camilan dan memastikan kamarnya benar-benar rapi.
"Kenapa ada kertas di sini, sih?" gumamnya saat melihat gulungan kertas di dekat tempat tidurnya.
"Oh, mungkin bekas coretan kemarin."
Kirana mengambilnya santai dan hendak memasukkannya ke dalam tempat sampah. Tetapi, pergerakannya terhenti saat merasakan sesuatu yang janggal.
"Tunggu. Kenapa seperti ada bentuk lain?"
Perasaannya mendadak tidak enak. Semoga, apa yang ada di dalam pikirannya tidak terjadi.
Ia membuka gulungan kertas tersebut dengan hati-hati.
"AAAAA" Teriakannya tidak dapat dikendalikan lagi.
Kirana begitu terkejut saat mendapati sesuatu di dalam gulungan kertas tersebut.
"Tidak! Ini tidak mungkin!"
Gadis itu mengingat-ingat kejadian yang membuat ini semua terjadi. Tetapi, karena terlalu kalut, ia sampai lupa mengapa bisa bertindak sebodoh ini.
"Astaga. Tolong bangunkan aku! Ini pasti hanya mimpi!"
Kirana mulai terisak sambil menatap nanar kertas yang sudah tidak berbentuk di tangannya. Air matanya begitu deras menuruni pipinya sambil terus bergumam kalau ini semua hanya mimpi.
Ia terpaksa berdiri saat bel berbunyi berkali-kali. Seperti tidak sabar menunggu dibukakan. Kirana dengan susah payah berdiri karena lututnya terasa lemas. Tak lupa juga ia menyeka air matanya yang sebenarnya tidak berguna karena matanya yang sembab juga air mata itu tidak mau berhenti.
"Iya, sebentar."
Kirana membuka pintu pelan. Di sana, Yeri yang sudah memasang senyumnya, langsung berubah panik saat melihat wajah berantakan Kirana.
"Astaga, Rara! Are you okay?" Yeri menggoyangkan lengan Kirana.
"Tidak oke sama sekali." jawab Kirana lirih.
Ia berjalan tertatih kembali ke kamarnya diikuti Yeri dengan segudang pertanyaan di kepalanya.
"Ada sesuatu? Atau kamu sedang menonton drama?" tanya Yeri.
Kirana hanya menjawabnya dengan gelengan sambil kembali menangis.
Hal itu membuat Yeri semakin panik sekaligus penasaran. Apa yang membuat Kirana tampak begitu sedih?
"Ya sudah. Menangis saja dulu. Kalau sudah tenang, kamu bisa cerita."
Kirana mengangguk dan melanjutkan tangisnya. Sepertinya, akan membutuhkan waktu yang cukup lama sampai tangisnya selesai.
Yeri hanya bisa mengusap punggung Kirana agar temannya itu bisa lebih tenang kali ini.
"Jadi, bisa diceritakan?" tanya Yeri begitu pundak Kirana sudah terasa stabil.
"Itu..." Kirana menunjuk kertas kusut yang berada di atas nakas.
Yeri mengambilnya perlahan dan gadis itu juga sama terkejutnya.
"Astaga! Kenapa bisa begini?" tanya Yeri.
Kirana masih terdiam. Ia mencoba mengingat keras apa yang sudah dilakukannya.
Yeri cukup tahu kalau hal itu sangat menyakitkan. Pantas saja, Kirana menangis seperti ditinggal kekasih. Meskipun dirinya tidak mengoleksi barang-barang seperti ini. Tetapi, ia tahu betapa berharganya benda yang kita inginkan ternyata sudah ada di tangan.
"Jangan bilang, kamu lupa kenapa bisa seperti ini?"
"Aku sedang coba mengingat, Yeri."
"Astaga! Sumpah, aku turut prihatin dengan ini, Ra."
Kirana bekerja keras mengembalikan ingatannya pada kejadian semalam.
"Ah, aku ingat sekarang."
"Bagaimana?"
"Kamu ingat? Tadi pagi aku bercerita habis membereskan itu semua." Kirana menunjuk rak yang berada di samping tempat tidurnya.
"Ya, aku ingat. Lalu?"
"Lalu, aku ingat kalau photocard ini belum aku foto dengan etsetik. Maka dari itu, aku mengambil kertas dan menuliskan itu. Kemudian, aku mengambil beberapa gambar. Setelah itu, entahlah. Aku lupa."
Kirana mati-matian menahan tangisnya agar tidak pecah kembali.
"Harusnya kamu kembalikan ke dalam binder, kan?"
"Harusnya. Seingatku, aku langsung memasukkannya setelah itu."
"Ya Tuhan. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang." Yeri hanya menggeleng pasrah.
"Yeri-ah, tolong bantu aku."
"Bantu bagaimana? Ini photocardnya sudah begitu... Ah, aku tidak sanggup mengatakannya."
"Aduh. Aaa... Jun oppa, maafkan aku."
Kirana kembali menangis saat melihat photocard yang begitu susah payah ia dapatkan itu dan kini sudah tidak jelas bentuknya.
"Aku masih bingung. Kenapa saat kamu meremas kertanya tidak terasa apa-apa. Apa itu normal? Harusnya, kamu menemukan kejanggalan, kan?"
"Ya... Aku tidak tahu, Yeri. Aku, aku bersalah!" Kirana kembali menangis.
"Sudah, sudah. Kita cari lagi nanti."
"Di mana? Mustahil aku mendapatkannya kembali. Yang memilikinya pasti enggan melepaskan."
"Hai, adik manis. Aku pulang."
Kirana langsung menghapus air matanya begitu pintu kamarnya terbuka.
"Karina? Kapan pulang? Kenapa aku tidak dengar? Kenapa kamu membuka pintu kamar tanpa mengetuk? Kebiasaan!"
Kirana yang melempar pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Karina terkekeh.
"Tanyakan satu persatu. Ah, tunggu. Kamu menangis? Apa kalian tengah menonton drama?" Kirana melirik ke arah Yeri.
"Tidak. Rara---"
Yeri yang hendak mengatakan kebenaran pada Karina itu langsung dibekap oleh Kirana.
"Ada apa? Katakan saja."
"Ah, kamu lelah, kan? Pulang karena ingin istirahat. Pergilah ke kamarmu. Aku janji tidak akan berisik." Kirana mengalihkan pembicaraan.
"Aku baik-baik saja kalau hanya mendengar cerita kenapa adikku menangis. Ayo katakan! Atau aku tidak akan keluar."
"Berjanjilah tidak akan tertawa!"
"Iya. Ayo! Kalau tidak, aku adukan pada buna."
"Jangan berani-beraninya, ya!"
Kirana menunjukkan photocard yang sudah tak berbentuk itu pada Karina.
"Astaga. Hanya karena ini?"
"Hanya? Kamu bilang hanya? Ya Tuhan! Kan! Aku menyesal memberitahumu! Sudah sana!"
"Bukan begitu. Kamu kan bisa membelinya lagi. Tidak harus menangis seperti ditinggal kekasih seperti ini."
Karina mengambil photocard tersebut dan melihatnya. Menurutnya, benda ini tidak sebegitu berharganya sampai adiknya menangis tak terkendali. Ia memang kurang paham seberapa gilanya seorang penggemar pada benda-benda yang berhubungan dengan idolanya. Ia pikir, memang hanya dibeli demi kepuasan semata.
"Ditinggal kekasih apa?! Karina dengarkan aku, ya! Photocard ini amat sangat sulit dicari. Yang memilikinya pasti akan menyayanginya dan enggan menjual. Satu lagi yang harus kamu tahu. Aku mendapatkan ini setelah kalah delapan kali war, tiga kali kena tipu dan satu kali di-ghosting. Menurutmu itu cuma? Aku benar-benar patah hati."
"Nanti kucarikan." Karina berujar santai.
"Carikan apanya? Mana bisa orang sibuk mencari hal-hal semacam ini? Kamu tahu, kalau mencarinya menghabiskan banyak waktu."
"Dan menghabiskan waktu belajarmu juga, ya?" goda Karina.
"Sudah sana! Aku tidak mood bertengkar. Kamu juga lelah, kan?"
"Pengertian sekali adikku ini." ucap Karina sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
"Kenapa kamu mengambil fotoku?" tanya Kirana.
"Apa lagi? Untuk diberitahu kepada Jun. Kalau kamu menangisi kertas kecil bergambar dirinya," kekeh Karina.
"KARINA! JANGAN BERCANDA!" pekik Kirana yang membuat Yeri menutup kupingnya.
"Sudah, ya. Aku ingin tidur. Nanti malam masih ada pekerjaan."
"Karina! Jangan bercanda! Aku akan menggedor pintu kamarmu! Lihat saja!"
"Sudah, Ra. Kakakmu hanya bercanda. Tidak mungkin, kan kalau dia menceritakan hal-hal tidak penting di tengah pekerjaannya."
"Oh, benar juga." Kirana mengangguk setuju.
"Eh, jadi menurutmu aku tidak penting?" sambungnya setelah menyadari apa yang Yeri katakan.
"Ya. Di dalam hidup Jun memang tidak, kan?" kekeh Yeri.
"YERIII..."