Penyesalan

2179 Kata
Raisa akhirnya tiba di Palembang. Semua terasa aneh. Ia pikir, setelah memutuskan untuk pindah dan menerima pekerjaan sebagai dosen di UNSRI, ia akan merasa lebih tenang. Tapi kenyataannya, begitu ia melangkahkan kaki ke kota ini, rasa asing langsung menyergapnya. Ia menatap rumah orangtuanya yang besar dan sunyi. Sudah lama ia tak menginjakkan kaki di sini. Sejak kedua orangtuanya dipindahkan ke Riau karena pekerjaan mereka, rumah ini lebih banyak kosong. Hanya sesekali bibi yang biasa membantu membersihkan datang untuk merawatnya. Tapi tentu saja, bibi tak tinggal di sini. Jadi saat malam tiba, Raisa benar-benar sendirian. Ia menarik koper besarnya ke dalam rumah, menyalakan lampu ruang tamu yang terasa dingin dan sepi. Seharusnya ini adalah rumah yang nyaman, tempat di mana ia tumbuh besar, tapi kini rasanya begitu hampa. Hujan turun perlahan di luar, menambah kesan sendu pada malam ini. Raisa menghempaskan tubuhnya di sofa, menghela napas panjang. Ia baru tiba dua hari yang lalu, dan seharusnya ia bisa menikmati waktu untuk beristirahat sebelum mulai bekerja. Tapi kenyataan berkata lain. Hari ini adalah hari pernikahan Akbar. Mantan yang dulu begitu ia cintai. Mantan yang ingin menikahinya tiga tahun lalu, tapi ia tolak. Mantan yang mungkin masih ada di dalam hatinya-meskipun ia tak pernah mau mengakuinya dengan lantang. Dan sekarang, pria itu resmi menjadi suami orang lain. Ia tahu, ia tak mungkin datang ke pernikahan itu. Bahkan, ia tak ingin melihat satu pun foto pernikahan Akbar yang mungkin akan segera bertebaran di media sosial. Tapi tetap saja, fakta bahwa hari ini mantannya menikah terasa seperti pukulan telak. Sial. Kenapa rasanya sesakit ini? Raisa memejamkan matanya, mencoba mengusir perasaan aneh yang mengganggunya. Tapi semakin ia mencoba mengalihkan pikiran, semakin jelas bayangan Akbar muncul di kepalanya. Wajahnya, suaranya, cara pria itu tertawa, semua kembali menghantuinya. Ia merutuk dalam hati. Ia seharusnya sudah move on. Seharusnya keputusan untuk kembali ke Palembang adalah langkah baru dalam hidupnya. Tapi sekarang? Ia malah menangis sendirian di rumah yang dingin, dengan suara hujan sebagai satu-satunya teman. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Luna. Sa, kamu gak apa-apa? Raisa menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengetik balasan. Raisa menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengetik balasan. Aku baik-baik saja. Kebohongan kecil yang bahkan dirinya sendiri tak percaya. Itu Luna, sahabatnya. Orang yang selalu menjadi tempatnya berbagi, orang yang tahu hampir semua tentang dirinya, termasuk alasan sebenarnya kenapa ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke Palembang. Dari awal, Raisa memang berencana untuk kembali ke kota ini bukan hanya karena pekerjaan. Ia punya rencana lain, rencana yang kini terasa begitu konyol dan menyedihkan. Ia ingin kembali ke Akbar. Ia ingin melihat apakah masih ada jalan untuk mereka berdua. Tapi lihatlah sekarang. Semua sudah terlambat. Luna pasti terkejut. Ia juga pasti kesal karena baru tahu tentang pernikahan Akbar dari media sosial, bukan dari Raisa sendiri. Pasti tadi ia sedang bersantai, membuka i********: atau f*******:, lalu tiba-tiba matanya menangkap sebuah postingan yang tak terduga-foto pernikahan Akbar. Pernikahan pria yang masih diam-diam diharapkan oleh sahabatnya sendiri. Mungkin itu sebabnya Luna langsung menghubunginya. Tapi Raisa tidak ingin membicarakannya sekarang. Tidak ingin mendengar suara Luna yang mungkin akan terdengar penuh kemarahan sekaligus simpati. Ia tidak ingin ditanya apakah ia baik-baik saja, karena ia sendiri tahu jawabannya. Ia tidak baik-baik saja. Matanya masih menatap layar ponsel, melihat balasan yang dikirimnya sendiri. Aku baik-baik saja. Kata-kata itu terasa begitu hambar, tanpa emosi. Sebuah kebohongan yang sangat jelas. Ia menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di meja. Tubuhnya ia hempaskan ke sofa, membiarkan kepalanya menengadah ke atas, menatap langit-langit rumah yang kosong. Hujan masih turun di luar, menciptakan suara ritmis yang samar-samar menenangkan, tapi di saat bersamaan justru membuat dadanya semakin sesak. Ia mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali ia benar-benar bahagia. Mungkin saat masih bersama Akbar dulu, sebelum semua berubah. Sebelum ia mulai meragukan segalanya. Sebelum ia berpikir bahwa Akbar belum cukup dewasa untuk menikah. Sebelum ia mengatakan bahwa mereka harus menunggu-menunggu sampai semuanya lebih stabil, sampai ia menyelesaikan S2-nya, sampai Akbar lebih mandiri. Tapi ternyata waktu tidak menunggu siapa pun. Saat ia akhirnya merasa siap, Akbar sudah pergi. Dan hari ini, Akbar resmi menjadi suami orang lain. Raisa menutup matanya, merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Perasaan yang selama ini coba ia tekan perlahan muncul ke permukaan. Ia tidak boleh menangis. Tidak sekarang. Tidak untuk sesuatu yang sudah berlalu. Tapi sial. Air mata itu tetap jatuh. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Dan saat Raisa mulai tergugu, mencoba menelan isaknya, tiba-tiba ponselnya berdering, membuatnya tersentak. Nama Luna muncul di layar. Gadis itu seakan tahu kegelisahan hatinya. Seakan tahu bahwa di tengah rumah yang sunyi ini, Raisa sedang berusaha menelan pahitnya kenyataan. Seperti biasa, Luna selalu tahu kapan harus muncul, kapan harus menariknya keluar sebelum tenggelam terlalu dalam dalam kesedihan. Raisa menghapus air matanya dengan cepat, berusaha mengembalikan suaranya agar terdengar normal sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?" Di ujung sana, Luna langsung menyapa tanpa basa-basi. Suaranya riang, seolah-olah tidak menyadari bahwa Raisa baru saja menangis. Atau mungkin justru karena ia menyadarinya, maka ia berusaha mencairkan suasana. "Besok jalan yuk? Kumpul lagi kayak kita di OSIS dulu," ajaknya antusias. "Ada Kak Mira, Nayla, Kak Talia juga. Kamu masih inget kan Kak Talia?" Raisa mengernyit, mencoba mengingat sosok Talia yang dulu sering ia temui di ruang OSIS. Ia ingat bahwa Talia lebih tua beberapa tahun, seorang kakak kelas yang selalu terlihat tegas dan cerdas. Tapi ada satu hal lagi yang lebih diingatnya. "Yang gebetannya dulu pernah naksir aku kan?" tanyanya santai. Di seberang sana, Luna langsung tertawa keras. Tawa khasnya yang ceria, renyah, dan selalu bisa membuat Raisa ikut tersenyum tipis. "Ya ampun, Sa! Memori kamu masih tajam juga ya?" "Tentu saja. Aku ingat semua hal penting," sahut Raisa, meskipun dalam hati ia tahu bahwa tidak semua hal penting bisa ia simpan dengan baik. Buktinya, ia bahkan tidak menyadari bahwa Akbar akan menikah secepat ini. Luna masih terkikik. "Tapi beneran, besok ikut ya? Udah lama banget kita gak kumpul. Aku yakin Kak Mira dan Kak Talia pasti seneng kalau lihat kamu lagi. Apalagi Nayla. Dia kangen banget sama kamu." Raisa terdiam sejenak. Ia tahu Luna hanya ingin mengalihkannya dari kesedihan. Ingin membuatnya kembali merasa 'ada' setelah sekian lama merasa kehilangan arah. Kumpul lagi seperti dulu. Mereka yang dulu sering duduk bersama di ruang OSIS, berbagi cerita, bercanda tanpa beban. Saat itu, masa depan masih terasa begitu jauh dan penuh kemungkinan. Saat itu, mereka tidak perlu memikirkan kegagalan, kehilangan, atau penyesalan. Dan sekarang, semua sudah berubah. Tapi mungkin, satu pertemuan kecil tidak ada salahnya. Raisa menarik napas, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Besok aku ikut." "Yeay!" Luna bersorak senang. "Oke, besok aku jemput kamu, ya!" Setelah telepon terputus, Raisa menatap layar ponselnya cukup lama. Mungkin esok akan lebih baik. Mungkin dengan bertemu mereka, luka hatinya bisa sedikit lebih ringan. Atau setidaknya, ia bisa melupakan Akbar-meski hanya untuk satu hari saja. *** Pagi itu, Raisa terbangun dengan kepala yang terasa berat. Kelopak matanya membengkak, sisa dari tangisan yang hampir semalaman menemani tidurnya. Ia menghela napas panjang, merasakan denyut nyeri yang menusuk di pelipisnya. Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidur, meraih tas kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tangannya mencari sesuatu di dalamnya, hingga akhirnya menemukan obat pereda nyeri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menelan satu butir dengan segelas air putih di meja samping tempat tidurnya. Setelah itu, ia duduk sejenak di pinggir tempat tidur, mencoba mengumpulkan energi. Rumah ini terasa begitu sunyi, meskipun ia tahu siang nanti mungkin suasana akan sedikit lebih hidup. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Tak lama kemudian, suara seorang wanita paruh baya menyapanya dari luar kamar. "Sudah bangun, Mbak?" Raisa refleks menoleh, tapi buru-buru membalikkan badan lagi. Tangannya cepat-cepat mengusap wajahnya, berusaha memastikan bahwa sisa tangis semalam tidak terlalu kentara. "Eh, ya, Bi," jawabnya dengan suara sedikit serak. Bibi Wati, asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumahnya sejak dulu, berjalan mendekat dengan senyum hangat. Perempuan itu sudah seperti keluarga sendiri, selalu merawat rumah ini meski orang tua Raisa kini tinggal di Riau. "Mau sarapan apa? Biar bibi masakin," tawar si bibi dengan nada ramah. Raisa menggeleng pelan. "Gak usah repot, Bi. Bubur ayam aja yang di depan itu masih ada gak ya, Bi?" Bibi Wati langsung terkekeh mendengar permintaan itu. "Aduh, Mbak Raisa, dari kecil sampai sekarang tetap aja bubur ayam yang dicari pagi-pagi," ujarnya dengan nada menggoda. Raisa tersenyum kecil. Memang benar, sejak kecil ia selalu menyukai bubur ayam yang dijual oleh pedagang di ujung gang. Rasanya khas, dengan kuah kaldu yang gurih dan potongan cakwe yang renyah. Dulu, ayahnya sering membelikan bubur itu setiap pagi sebelum berangkat kerja. Sekarang, rasanya seperti membawa sedikit nostalgia di antara kesedihan yang masih menyelimuti hatinya. "Mau bibi belikan, Mbak?" tanya si bibi lagi. Raisa mengangguk. "Iya, Bi. Seperti biasa aja, pakai banyak kerupuk." "Baik, tunggu sebentar, ya." Setelah Bibi Wati pergi, Raisa kembali menghela napas. Ia berjalan ke depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Benar saja, matanya terlihat sembab, wajahnya sedikit pucat, dan ada lingkaran hitam samar di bawah mata. Bagus. Sekarang ia benar-benar terlihat seperti orang yang patah hati. Raisa meraih tisu basah, mencoba menyegarkan wajahnya sebelum nanti bertemu dengan Luna dan yang lainnya. Setidaknya, ia harus berusaha terlihat normal. Tidak boleh ada yang tahu bahwa semalam ia menangis sejadi-jadinya, meratapi sesuatu yang seharusnya sudah lama ia lepaskan. Tapi, bisakah ia benar-benar melepaskannya? Raisa kembali ke kamar dengan langkah pelan. Rasanya tubuhnya masih terlalu lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena beban pikiran yang seolah tak mau beranjak dari kepalanya. Begitu masuk ke dalam kamar, ia langsung menuju kamar mandi. Begitu saja, tanpa membawa baju ganti atau handuk. Hanya ingin menenangkan diri sebentar di sana. Begitu pintu tertutup, ia berdiri di depan wastafel, menatap bayangan dirinya di cermin. Mata bengkak, wajah kusut, ekspresi kosong. Sungguh, ini bukan wajah seseorang yang ingin bertemu teman-temannya siang nanti. Ia membuka keran, membiarkan air mengalir deras, lalu menampungnya di kedua tangan dan membasuh wajahnya berkali-kali. Dinginnya air sedikit menyadarkannya, tetapi tetap tak cukup untuk menghapus sembab di matanya. Ia menegakkan tubuh, menghela napas dalam-dalam, lalu kembali menatap ponselnya yang tergeletak di atas wastafel. Ada pesan dari Luna. Sa, aku jemput kamu siang nanti, ya. Harus ikut, gak boleh nolak! Raisa menatap layar cukup lama, menimbang-nimbang. Siang nanti? Itu berarti kurang lebih dua jam lagi. Astaga, bagaimana cara menyamarkan mata bengkaknya dalam waktu sesingkat itu? Ia mendesah keras. Sebenarnya, ia bisa saja menolak. Bisa beralasan tidak enak badan atau sibuk mengurus sesuatu. Tapi, ia tahu Luna. Perempuan itu tidak akan menerima alasan apa pun, kecuali alasan yang benar-benar masuk akal. Dan Raisa juga sadar, mungkin bertemu dengan teman-temannya adalah hal yang ia butuhkan saat ini. Ia menggigit bibir, mengetik balasan cepat. Oke. Tapi jangan terlalu siang, ya. Hanya beberapa detik setelah pesan terkirim, centang dua berubah biru. SIAP! Aku otw sebelum makan siang. Kamu gak boleh kabur! Raisa tersenyum kecil, meskipun ia sendiri tak yakin apakah itu senyum tulus atau hanya sekadar refleks karena sikap Luna yang selalu antusias. Ia kembali menghela napas, lalu mulai melepas bajunya satu per satu dan masuk ke bawah pancuran. Air dingin langsung mengguyur tubuhnya, membuatnya sedikit menggigil, tetapi sekaligus memberi efek menenangkan. Ia berdiri diam, membiarkan air mengalir melewati wajahnya, berharap bisa sedikit menghapus rasa lelah dan sesak yang masih menempel di hatinya. Hari ini, ia harus mencoba bersikap biasa saja. Bahkan jika dalam hatinya, ia masih ingin menangis. Namun tetap saja gagal. Tetap saja ia menangis. Air yang mengalir dari pancuran bercampur dengan air matanya. Tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan. Suara isakan terdengar pelan, tertelan oleh suara air yang menghantam lantai kamar mandi. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba meredamnya, tetapi justru semakin sesak. Betapa pun ia berusaha untuk tidak menangis lagi, tetap saja hatinya terasa berat. Kenapa ini masih terasa begitu menyakitkan? Kenapa pikirannya masih dipenuhi dengan semua kenangan yang seharusnya sudah ia tinggalkan sejak lama? Ia ingat betul saat pertama kali bertemu Akbar di sekolah. Ingat bagaimana mereka perlahan dekat, saling mengenal, hingga akhirnya memutuskan untuk bersama. Ia juga ingat hari-hari penuh tawa, penuh impian yang dulu mereka susun bersama. Namun yang paling jelas diingatannya adalah saat-saat terakhir mereka. Saat semuanya mulai berubah. Saat ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tak bisa mereka paksakan lagi. Dan sekarang? Akbar sudah menikah. Bersama perempuan lain. Membangun kehidupan baru yang seharusnya bisa menjadi milik mereka, jika saja semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi hidup tidak pernah berjalan seperti yang kita inginkan, bukan? Ia menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi, membiarkan dirinya tenggelam dalam tangis beberapa saat lagi. Setelah ini, ia harus bertemu Luna dan yang lainnya. Setelah ini, ia harus berpura-pura baik-baik saja. Jadi, biarkan ia menangis sekarang. Biarkan ia meluapkan semuanya sebelum ia melangkah keluar dan kembali mengenakan topengnya. Setelah beberapa menit, tangisnya perlahan mereda. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih terasa sesak. Akhirnya, ia menutup keran air dan melangkah keluar dari kamar mandi. Memandang bayangannya di cermin sekali lagi. Matanya masih merah dan bengkak. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi tidak apa-apa. Ia akan merias wajahnya, akan mengenakan pakaian terbaiknya, dan akan tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. Karena itulah yang selalu ia lakukan, bukan? Berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun kenyataannya tidak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN