Tentang Raisa

2218 Kata
Luna menghela napas panjang, menatap meja kafe yang hanya diisi olehnya, Raisa, dan Talia. Seharusnya hari ini mereka berlima berkumpul, merayakan pertemuan kembali setelah sekian lama. Namun, Nayla dan Mira tak bisa datang. Ya, kalau Nayla, Luna masih bisa memahami. Sahabatnya itu masih dalam kondisi kacau pasca perceraian. Mau sampai berbuih pun mulutnya memaksa, tetap saja Nayla sulit untuk keluar rumah. Bahkan sekadar bertemu teman-teman dekatnya pun terasa seperti beban. Luna bisa melihat itu dari caranya berbicara di telepon tadi pagi—suara yang datar, tanpa semangat, dan alasan-alasan yang terdengar dibuat-buat. Sementara Mira? Perempuan itu bilangnya ada pekerjaan. Luna mengerti, toh dia memang bekerja di bagian keuangan di perusahaan negara. Lembur adalah hal yang wajar. Jadi Luna tidak curiga sedikit pun dan membiarkannya. Namun kenyataannya? Mira saat ini sedang duduk di kamar kosnya yang kecil, di atas kasur tipis yang sudah mulai mengempis. Lampu kamar redup, hanya ada cahaya dari layar ponselnya yang menerangi wajah lelahnya. Ia berbohong. Ia tidak sedang lembur. Ia hanya sedang berhemat. Baru tadi malam ia mengirimkan uang dua juta rupiah untuk adik laki-lakinya yang katanya butuh ponsel baru karena ponsel lamanya dicopet. Uang itu bukan jumlah kecil baginya, terutama setelah semua pengeluaran besar lainnya bulan ini. Jadi sekarang, ia memutuskan untuk tidak keluar. Tidak jajan di luar, tidak makan di kafe bersama teman-temannya, tidak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang bisa ia tahan. Mira menatap layar ponselnya. Ada chat dari Luna. Kak Mir, yakin gak mau nyusul? Kita di tempat biasa, loh! Mira mengetik balasan dengan cepat. Sorry, Lun. Aku beneran lembur, ini masih di kantor. Kapan-kapan aja ya! Ia melempar ponsel ke samping dan memejamkan mata. Bohong lagi. Tapi apalagi yang bisa ia lakukan? Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Tak mungkin mengeluh soal uang di saat semua orang melihatnya sebagai sosok perempuan sukses yang bekerja di perusahaan besar. Tak mungkin ia bilang bahwa hari ini, ia bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli makan malam. Mira menatap langit-langit kamarnya yang kusam. Lampu redup kamar kos yang kecil itu seakan menggambarkan hidupnya yang terasa sempit dan melelahkan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang kembali menyerangnya. Perih. Setiap kali ia berpikir untuk menikah, bayangan keluarganya selalu muncul. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan dirinya sendiri, sementara keluarganya masih bergantung padanya? Setiap kali topik pernikahan muncul, entah dari teman-teman atau dari dirinya sendiri, suara ibunya selalu terngiang di kepalanya. "Nanti siapa yang cari duit lagi untuk keluarga ini, Mir? Kamu tahu bapakmu udah tua dan sering sakit-sakitan. Kalau ibu yang kerja, siapa yang urus bapakmu dan adik-adikmu, Mir?" Pertanyaan yang sederhana, tapi begitu berat. Siapa lagi? Jawabannya selalu sama. Dirinya. Ia yang harus memastikan adik-adiknya tetap sekolah. Ia yang harus memastikan rumah di kampung tetap berdiri. Ia yang harus menanggung biaya berobat bapaknya. Ia yang harus memastikan dapur mereka tetap mengepul. Ia, dan hanya ia seorang. Mira menarik napas dalam, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Terlalu capek untuk menangis. Buat apa menangis? Ini sudah bertahun-tahun terjadi. Ia sudah terbiasa menelan beban ini sendirian. Namun, di balik semua itu, ada rasa sesak yang tak bisa ia ungkapkan. Karena beban ini begitu berat. Karena ia ingin sekali merasakan apa rasanya hidup tanpa harus selalu memikirkan angka di rekeningnya setiap saat. Tanpa harus was-was kalau ada pengeluaran mendadak yang bisa membuatnya kelimpungan. Ia ingin, sekali saja, hidup untuk dirinya sendiri. Tapi itu hanyalah mimpi kosong. Karena setiap kali ia berpikir untuk menabung demi masa depannya sendiri, selalu ada kebutuhan baru dari keluarganya. Dan setiap kali ia mencoba mengatakan “tidak,” rasa bersalah itu datang mencekik. Ia juga tak mau terus-terusan bergantung pada Luna. Sahabatnya itu memang selalu ada untuknya, selalu siap meminjamkan uang setiap kali ia butuh. Tapi Mira juga manusia. Ia punya harga diri. Dan semakin lama, ia merasa semakin tak enak. Sudah terlalu sering ia meminjam uang dari Luna. Sudah terlalu sering ia berjanji akan segera mengembalikannya. Dan terlalu sering pula ia melanggar janji itu karena keadaan yang memaksa. Kadang, ia baru saja melunasi hutangnya, tapi tak lama kemudian, ia harus meminjam lagi. Luna mungkin mengerti, tapi Mira sendiri sudah lelah. Lelah menjadi beban. Lelah merepotkan orang lain. Malam ini, ia kembali berbaring di kasurnya, menatap langit-langit yang sama, dengan perasaan yang sama. Besok, beban ini masih akan ada. Besok, ia masih akan menjadi Mira yang sama. Dan besok, ia masih harus bertahan. Seperti biasa. *** Sementara Luna baru saja melambaikan tangan. Si dokter cantik dan seksi, Talia, baru saja muncul dengan mobilnya untuk menjemput. Janjiannya memang tadi siang. Tapi Raisa bilang mendadak ada urusan tadi siang jadi minta agar malam saja. Makanya, malam ini mereka baru keluar. "Mantap sekali mobil barunya Bu dokter!" Luna masuk ke dalam mobil mewah itu. Tentu saja mewah. Sementara Talia menghela nafas. "Kamu tahu kan ini cicilannya belum lunas?" Luna terkikik. Ia tahu alasan Talia membeli mobil ini. Apalagi kalau biar tidak dikira paling miskin di anatara kakak-kakaknya? Cewek itu capek dibandingkan. Tapi nyatanya, ia tetap ikut arus itu. "Kita jemput Raisa ya, Kak!" Talia hanya bisa menggelengkan kepala sambil memasukkan gigi persneling mobilnya. Ia sudah terbiasa dengan ledekan Luna yang kadang tajam, tapi memang ada benarnya. Mobil mewah ini bukan sekadar kendaraan buatnya. Ini simbol. Simbol bahwa ia juga berhasil. Simbol bahwa ia bisa berdiri sejajar dengan saudara-saudaranya yang selalu merasa lebih sukses darinya. Sialnya, meskipun ia sudah bekerja keras dan mampu membeli mobil ini, tetap saja ia harus mencicilnya. Dan tetap saja, dalam pandangan keluarganya, apa yang ia capai masih kurang. Mereka lupa kalau ia membangun segalanya dari nol. Lupa bahwa tidak seperti mereka yang sejak awal sudah punya modal besar dari orangtua, ia harus berjuang sendiri. Ah, sudahlah. Ia melirik Luna yang sedang asyik mengecek ponselnya, mungkin membalas chat dari teman kencannya yang lain. Cewek satu ini seakan tak pernah kapok mencoba peruntungan di dunia percintaan. "Ada kabar dari Raisa?" tanya Talia sambil fokus menyetir. Luna mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Barusan dia bilang siap. Kita langsung ke rumahnya aja." Talia menghela napas. Ini pertama kalinya mereka akan bertemu lagi dengan Raisa setelah sekian lama. Dulu, mereka sering berkumpul, terutama saat masih aktif di OSIS zaman SMA. Tapi setelah lulus, mereka semua sibuk dengan jalannya masing-masing. Raisa pergi melanjutkan S2. Luna sibuk dengan pekerjaannya yang fleksibel tapi tetap menyita waktu. Talia sendiri harus berjuang meniti karier sebagai dokter. Dan sekarang, mereka kembali bertemu dalam situasi yang... agak rumit. Karena Raisa kembali ke Palembang tepat sebelum pernikahan mantannya. Karena Luna baru saja mengalami kencan online paling menyebalkan dalam hidupnya. Dan karena Talia sendiri sedang dalam fase mempertanyakan semua keputusan hidupnya. Malam ini, mereka akan berkumpul lagi. Mungkin akan tertawa-tawa. Mungkin akan curhat. Mungkin akan minum kopi sambil mengutuk nasib masing-masing. Dan mungkin, mereka akan menyadari bahwa meskipun jalan hidup mereka berbeda, pada akhirnya mereka tetap kembali ke titik yang sama. Kepada satu sama lain. "Semoga Raisa gak baper lagi ya pas kita jemput," kata Luna tiba-tiba, memecah keheningan. Talia tertawa kecil. "Ya kalau dia masih baper, kita suruh aja dia minum sampai lupa mantannya udah nikah." Mereka berdua tertawa, meskipun dalam hati masing-masing, ada banyak hal yang masih menggantung. Tapi untuk malam ini, mereka hanya ingin menikmati pertemuan ini tanpa drama yang berlebihan. "Iih dia bukan kamu kali, Kak!" Ya Talia yang sering eror dan mabok-mabokan. "Bukan kamu juga!" Luna terkikik. Ya mereka sama sih. Suka mabok. Tapi itu dulu. Masa-masa jahiliyah menyebutnya. Kalau sekarang ya sudah meninggalkan itu lah. Talia melirik sekilas ke arah Luna, yang masih terkikik dengan ekspresi jahilnya. Ya, mereka memang punya masa lalu yang cukup "liar," bisa dibilang begitu. Dulu, dunia malam bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka. Talia terutama, dulu hampir setiap akhir pekan pasti ada saja ajakan untuk nongkrong di bar atau klub malam. Minuman beralkohol sudah jadi bagian dari gaya hidupnya—sampai akhirnya ia sadar bahwa itu bukan jalan yang ingin ia teruskan. Luna juga sama. Mereka berdua mungkin bukan tipikal "anak nakal" dalam arti sebenarnya, tapi bisa dibilang, mereka punya sisi yang cukup berani untuk mencoba berbagai hal yang dulu dianggap keren. Tapi itu dulu. Masa-masa jahiliyah, begitu mereka menyebutnya. Sekarang? Sudah lama mereka meninggalkan semua itu. Namun, pembicaraan soal Raisa membuat Talia sedikit tidak nyaman. "Bukannya Kakak juga temenan sama dia di medsos?" Luna masih penasaran. Talia mendesah pelan. "Ya, tapi aku jarang liat update-nya. Lagian, kamu juga tahu kan hubungan aku sama Raisa dulu gimana?" Luna tertawa lagi, kali ini lebih pelan. "Iya, iya. Love-hate relationship. Kamu nyebelin, dia baperan. Kamu ngomong, dia nangis. Tapi anehnya, tetep aja dalam satu geng sama kita." Talia mendecak. Ya, Luna ada benarnya juga. Ia dan Raisa memang seperti air dan minyak. Mereka tidak benar-benar akur, tapi tidak juga bisa dibilang musuhan. Ada saat-saat di mana mereka bisa ngobrol dan ketawa bareng, tapi ada juga momen-momen di mana mereka seperti kucing dan anjing yang siap saling mencakar. Dulu, kalau Raisa merasa tersudut atau tersakiti, pasti Mira yang turun tangan membela. Mira yang selalu jadi suara netral dalam geng mereka. Sementara Talia? Ya, dia tidak punya "pembela" seperti Raisa punya Mira. Karena jujur saja, kebanyakan masalah memang berasal dari dirinya sendiri. Talia dulu terlalu blak-blakan, terlalu ceplas-ceplos, terlalu sering menyindir tanpa filter. Sementara Raisa lebih sensitif, lebih perasa, lebih mudah tersinggung. Kombinasi yang jelas berbahaya. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, Talia masih belum bisa membayangkan bagaimana pertemuan mereka malam ini akan berjalan. Apalagi dengan fakta bahwa Raisa sekarang berhijab. Bukan apa-apa, hanya saja, perubahan itu terasa drastis baginya. Raisa yang dulu ia kenal adalah gadis populer yang selalu tampil modis, tidak pernah ketinggalan tren, dan sering dikelilingi banyak cowok. Bukan berarti Talia meragukan pilihannya untuk berhijrah, hanya saja... butuh waktu baginya untuk benar-benar menerima bahwa Raisa yang dulu bukan lagi Raisa yang sekarang. Luna menyikut lengannya pelan. "Kakak masih kepikiran dia ngerebut posisi cewek paling cantik di sekolah dulu?" Talia melotot ke arahnya. "Astaga, Lun! Itu udah bertahun-tahun yang lalu!" Luna terkekeh. "Tapi aku yakin kamu masih sebel dikit kan?" Talia mendecak, tapi tidak membantah. Mungkin memang ada sedikit rasa itu, entah apa namanya. Sesuatu yang tertinggal dari masa lalu, sesuatu yang mungkin belum benar-benar ia tuntaskan dalam hati. Namun, malam ini, semua itu harus disingkirkan dulu. Karena malam ini, mereka bukan lagi anak-anak SMA yang saling bersaing dalam hal popularitas atau urusan percintaan. Malam ini, mereka hanya sekelompok teman lama yang akhirnya kembali berkumpul. Talia menyandarkan kepalanya ke jok mobil sambil memainkan setir dengan jemarinya. Matanya menatap jalanan yang masih cukup ramai, meski sudah malam. Percakapan tentang Raisa dan Akbar masih menggelitik pikirannya. "Terus gimana dia sama Akbar? Beneran ditinggal nikah sama Akbar?" tanyanya lagi, meski jawaban Luna sebenarnya sudah cukup jelas. Luna menghela napas panjang sebelum menjawab. Sejujurnya, ia juga masih sulit menerima kenyataan itu, apalagi melihat bagaimana Raisa merespons semuanya. "Ya gitu deh," jawabnya singkat, suaranya mengandung sedikit kesedihan. Talia mengangguk-angguk pelan. Matanya masih lurus ke jalan, tapi pikirannya melayang ke bayangan Raisa. Gadis itu pasti hancur. Ditinggal menikah oleh seseorang yang pernah begitu dekat dengannya tentu bukan hal yang mudah. Namun, Talia bukan tipe orang yang terlalu lama meratap pada kisah yang sudah berlalu. Ia lebih suka berpikir ke depan. Maka, setelah beberapa detik hening, ia berkata, "Tapi aku rasa, Raisa pantas dapat yang lebih baik." Luna meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. "Ya, aku juga pikir gitu." Talia kembali memainkan setir dengan jemarinya. "Maksudku, dia tuh cantik. Pasti banyak yang mau sama dia. Tapi masalahnya, tuh anak terlalu pemilih." Luna tertawa kecil, setuju dengan pendapat itu. "Iya sih, Raisa kan tipe yang susah jatuh cinta. Sekali suka, susah move on." Talia mendecakkan lidahnya. "Itu dia masalahnya. Dia susah jatuh cinta, tapi kalau udah jatuh, jatuhnya kelamaan." Luna mengangguk sambil memeluk lututnya. "Dan sayangnya, dia jatuh cinta sama cowok yang malah nikah sama orang lain." Talia terdiam sebentar, lalu tiba-tiba Luna menoleh ke arahnya dengan tatapan jahil. "Biasanya kamu punya banyak kenalan cowok kan, Kak?" Talia mengerutkan kening, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. "Kenapa?" "Ya siapa tahu ada yang cocok buat Raisa," jawab Luna santai. Talia berdecak, lalu berdesis sambil menggeleng. "Gak ada yang bagus buat Raisa. Tuh anak terlalu baik." Luna terpingkal mendengarnya. "Paling lurus juga di antara kita," ujarnya sambil tertawa. Talia ikut tersenyum. Ya, di antara mereka berlima, Raisa memang yang paling ‘lurus.’ Meskipun dulu cukup populer dan punya banyak penggemar, Raisa tetap menjaga batasan. Sementara mereka—Talia, Luna, dan bahkan Mira—punya masa lalu yang lebih ‘berwarna.’ Entah itu pacaran putus-nyambung, pesta, atau sekadar kebiasaan hidup tanpa banyak aturan. Mungkin karena itu juga, Talia merasa tidak ada satupun kenalannya yang bisa cocok dengan Raisa. Kebanyakan laki-laki yang ia kenal terlalu santai, terlalu bebas, atau terlalu mirip dengan dirinya sendiri—dan jelas bukan tipe yang bisa nyambung dengan Raisa yang lebih tenang dan tertata. "Lagian, kalau pun ada cowok yang bagus, kayaknya tuh anak masih bakal keinget Akbar," ujar Talia akhirnya. Luna menghela napas. "Iya sih. Raisa tuh bukan tipe yang gampang ganti hati." "Makanya susah," Talia mengangguk. "Tapi biar gimana pun, dia harus move on. Masa dia mau terus-terusan stuck di tempat yang sama?" Luna mengedikkan bahu. "Ya, kita lihat aja nanti. Yang jelas, malam ini kita harus bikin dia lupa sama Akbar, meskipun cuma sebentar." Talia tersenyum miring. "Setuju." Ia menekan pedal gas, melajukan mobilnya ke arah rumah Raisa. Malam ini, apa pun yang terjadi, mereka akan memastikan bahwa sahabat mereka itu tidak lagi menangis sendirian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN