Gilaaaaaa.
Sumpah demi apa gue berhasil pergi keluar negeri untuk pertama kali sendiri dan selamat. Lebay? gak apa-apa kali ya. Negara pertama yang gue kunjungi adalah negara tetangga yang paling dekat dengan daerah tempat gue tinggal. Benar sekali kali ini Singapura menjadi pilihan destinasi liburan gue. Tak lupa setelah keluar dari pesawat tak lupa update story i********:, maklum anak rumahan emang harus pamer sih.
Gue merentangkan kedua tangan setelah melewati imigrasi yang antri panjang di bandara Changi. Walaupun ada empat titik petugas imigrasi tapi tetap saja gue mesti antri beberapa menit. Sejauh ini gue berhasil melewati imigrasi dengan aman dan lancar.
Gue mesti bertepuk tangan untuk diri gue karena udah berani keluar dari zona nyaman gue sendiri. Bayangin selama dua puluh lima tahun hidup gue, gue hanya habiskan di Riau, paling mentok main ya ke Padang. Dan ini kali pertamanya gue naik pesawat dan ke luar negeri pula. Gila dan parah. Emang. Gue akui diri gue gila karena pilih negara Singapura yang emang dekat sih ya dari bandara Sultan Syarif Kasim ke bandara Changi, hanya menghabiskan waktu di udara sekitar empat puluh menitan doang.
Gue menggeret koper ke luar bandara tapi sebelum itu gue mesti Redeem dulu mau ambil kartu MRT yang udah jauh-jauh hari gue persiapkan. Sip, kartu untuk naik MRT udah ada di tangan gue. Sedikit nyengir melihat kartu itu, bangga aja melihat diri sendiri bisa sejauh ini.
Akhirnya gue keluar dari bandara Changi dan suasana malam negara Singapura memanjakan mata gue. Sebenarnya gue pengen sih jalan-jalan ke Jewel Changi, tapi apa daya udah malam dan gue pengen rebahan rasanya.
"Lo enggak jemput gue?!"
Brakk
Gue dengan cepat menoleh, astaga oh my God, demi kerang yang ada di bikini bottom. Koper gue di seruduk oleh cowok tampan yang seolah turun dari kahyangan. Cakep, ya enggak usah di tanya. Cakep banget malahan. Moga air liur ini gak menetes.
Cowok itu memandang gue sejenak. "Gua naik grab aja kalau gitu," putusnya lalu mematikan sambungan telponnya.
Mata almond nya mandangi gue. "Sorry gue nabrak koper lo." Dia mungkin berbasa-basi ke gue.
Gue masih terpana dengan ketampanan tuh cowok. Tapi dengan cepat jiwa normal gue mengambil alih sebelum bertindak alay di sini.
"Iya enggak apa-apa mas. Koper gue juga enggak kenapa-kenapa," sahut gue dengan menampilkan senyum senatural mungkin. Tapi entah kenapa rasanya gue menarik terlalu lengkung bibir gue, astaga pasti senyum gue kelihatan aneh deh.
Cowok itu menggaruk tengkuknya. "Oke, gue duluan." Dia pamit ke gue dan menggeret kopernya menjauh.
Gue speechless asli. Gue ngerasa kayak bucin banget deh, gampang terpesona dengan hal-hal yang indah.
Gue menepuk jidat gue, gue kelupaan kan pesan grab. Dengan cepat gue pesan grab dan gue pengen rebahan rasanya di kasur hotel.
***
Gue berada di dalam grab yang membawa gue ke salah satu hotel di jalan Bugis. Kenapa gue pilih jalan Bugis, menurut survei dan juga rekomendasi dari beberapa teman yang pernah ke Singapura. Saran mereka sama, pilih hotel di jalan Bugis. Akses kemana-mana mudah, dekat dengan tempat wisata dan juga oleh-oleh.
Gue terbengong-bengong melihat pantulan cahaya dari gedung-gedung yang ada di negara kecil ini. Gue ngerasa berada di dunia antah berantah. Gila berkilauan banget. Apalagi saat gue melewati ikonik Singapura di taman Merlion nya, widihhh gue enggak bisa ngomong apapun selain luar biasa.
Ponsel gue bergetar dan gue lihat di layar ada panggilan video dari sahabat gue, namanya Karina. Cepat-cepat gue scroll.
"Cieeee yang udah di Singapura," ledeknya saat dia lihat wajah lelah gue di layar ponselnya. "Pulang nanti jangan lupa bawa bule Singapura satu, mana tahu impian lo bisa merubah keturunan berhasil." Dia malah ketawa ngakak setelahnya.
Gue jelas mendengus kesal mendengar ucapan absurb nya itu. Dan satu hal yang gue syukuri, si driver enggak ngerti bahasa malay atau Indonesia. Sujud syukur deh gue, ucapan Karina emang benar tapi kadang enggak sesuai pada tempatnya.
"Elahh bilang aja kalau lo mau bilang oleh-oleh buat gue jangan lupa," cibir gue ke Karina yang lagi-lagi ketawa ngakak.
Teman gue yang satu itu pelitnya enggak ketulungan. Kalau ada hal yang berbau gratis sinyalnya cepat dan kuat banget. Tiba giliran keluarin uang, mikirnya sumpah lama banget sama kayak negara api mau menyerang.
"Senang gue punya teman pengertian kayak lo, pantas kita awet ya berteman." Karina malah dengan bangga mengatakan itu dan gue membuat gerakan mau muntah.
"Gue lagi otw nih." Gue mengarahkan kamera ponsel gue ke jalanan Singapura biar Karina percaya. "udah sampai hotel gue hubungi lo lagi," lanjut gue.
"Oke, take care baby."
Gue menggenggam ponsel gue dan menikmati jalanan Singapura di malam hari. Pengendara mobil enggak begitu banyak melintas di jalanan, beneran enak banget gue mandangin ini jalan. Beda banget dengan kota gue, di beberapa titik macetnya enggak ketulungan.
Akhirnya gue sampai di hotel dan supir grab membantu gue menurunkan koper gue. Setelah mengucapkan terimakasih, gue pun segera masuk ke dalam hotel.
"Good night Miss," sapa resepsionis itu pada gue.
Gue menyerahkan tanda bukti kalau gue udah booking hotel pada resepsionis itu dan tak lama dia memberikan gue sebuah kartu.
"Enjoy your time," ucapnya sebelum gue menggeret koper menuju lift.
"You're welcome," sahut gue lalu gue melangkah menuju lift.
Gini-gini gue bisa bahasa Inggris ya selain bilang yes, no, faster dan sebagainya. Apaan sih ngaco deh gue ngomongnya.
Gue masuk ke dalam lift dan menekan angka dua karena kamar gue terletak di lantai dua.
Ding
Pintu lift pun terbuka dan gue segera membawa koper gue ke kamar no lima belas. Gue belok ke kiri dan ternyata kamar gue di pojokan, ya enggak pojok-pojok amat juga sebenarnya.
Gue menempelkan kartu kamar gue. Tapi konsentrasi gue terpecah saat mendengar suara seorang cowok.
"Astaga gue baru sampai, lo argghh."
Gue dengan gerak cepat membalikkan badan gue ke arah suara. Oh my God, jantung gue berdetak dua kali lebih cepat. Apalagi cowok tadi adalah cowok di bandara yang nabrak koper gue.
Mata gue dan mata almond dia saling bertatapan.
"Apa lo lihat-lihat," semburnya ke gue dan wajahnya jauh dari kata baik, lebih ke jutek dan mengkerut kayak jeruk purut.
Di sambur kayak gitu ya jelas gua enggak terima lah. Gue tatap dia balik dengan mengangkat dagu gue tinggi-tinggi.
Siapa emangnya dia yang berhak sembur gue, emak gue aja enggak pernah sembur gue. Paling mbak editor gue aja kalau gue lelet soal deadline hehe.
"Set dahh, lo cowok tapi jutekan. Gue sumpahin enggak ada cewek yang mau sama lo," rutuk gue.
"Bagus, gue juga enggak tertarik sama cewek," sahutnya dengan nada yang lebih kalem.
"Bagu-" gue menatap dia dengan tatapan horor.
Dia menyeringai ke arah gue dan sialnya dia tengah berjalan dan memepetkan tubuh dia ke tubuh gue yang tak berdaya ke tembok.
Gue merutuki dalam hati, seharusnya gue enggak usah mancing-mancing kayak tadi. Tapi semuanya telat.
Dia tersenyum sok misterius ke arah gue. Lalu dia merendahkan tubuhnya dan mensejahterakan wajahnya dengan wajah gue.
Wajah gue panik, ini orang mau ngapain coba. Batik gue menjerit seketika.
Lalu ada sesuatu yang kenyal dan basah menempel sempurna di bibir gue yang masih perawan.
"Bibir lo flat banget," cibirnya setelah melepaskan bibirnya ke bibir gue.
Setelah itu dia pergi menuju kamarnya yang ternyata letaknya di seberang gue.
Gue kaget.
Beberapa detik gue terdiam tanpa reaksi apapun.
Setelah itu gue baru sadar dan merutuki habis-habisan pencuri ciuman pertama gue.
Ya Tuhan, demi apapun itu cowok harus tanggung jawab karena telah mengambil ciuman pertama gue.