3. Nathan

1023 Kata
"Please, cuma lo yang jaraknya paling dekat dengan Singapura saat ini. Apa Lo enggak mau bantu gue? Oke fine, siap-siap aja lo gue lapor ke mama." Gue meringis mendengar nada ancaman yang sering kali kakak kandung gue layangkan kalau udah emosi tingkat dunia. Pasti bawa-bawa nama mama kalau enggak mau menuruti kemauannya yang suka seenaknya itu. Gue tuh heran banget lihat kakak gue yang satu itu, udah nikah masih aja nyusahin gue. Tapi gue nya juga b**o sih ya kenapa mau aja turuti kemauan kakak gue yang satu itu. "Iya-iya. Sekarang apalagi perintahnya wahai nyonya kejam," ucap gue pasrah. Sial kakak gue malah cekikikan senang. Dia menang dan gue kalah. "Lo seret bang Ke kesini, bawa dia hidup-hidup dan ingat jangan sampai lecet sedikitpun." Gue melongos mendengar nada perintah dari kakak gue itu. Udah suruh bawa suaminya pulang ke Indonesia tanpa lecet pula lagi. Kalau gitu ya mending kakak gue aja kan ke Singapura sekalian honeymoon. "Biaya akomodasinya?" Gue menodong biaya akomodasi ke kakak gue. Enak aja gue ke Singapura pakai ongkos sendiri, ya rugi banget lah. "Lo urus dulu tiket pesawat Pekanbaru Singapura sama biaya hotel. Lo kasi detailnya ke gue dan kirim via email. Entar baru gue transfer biaya sesuai rekapnya," jelas kakak gue di sebrang sana dengan lancar dan jelas. Gue mengusap wajah gue, astaga ibu satu ini jiwa perhitungan plus pelitnya emang enggak pernah berubah dari dulu. Parah banget. Sama adik sendiri aja hitung-hitungannya ngeri banget. Pokoknya kalau lo kepepet enggak punya duit, gue sarankan jangan pernah pinjam sama emak satu itu. Enggak bakalan di kasi dan satu lagi dapat nyinyiran pedas melebihi pedasnya mie level setan mampus. "Iyee, gue bakalan kirim rinciannya ke lo." "That's my little brother," sahutnya dari sebrang sana sebelum mematikan sambungan telpon. Gue menatap layar ponsel gue dan meringis. Jadi yang di tanggung cuma tiket pesawat dan hotel doang. Terus biaya makan gue di sana gue mesti keluarin biaya sendiri dong. Emang super sekali kakak gue yang satu itu. **** Tiket pesawat dan hotel sudah selesai gue urus. Gue heran lihat Abang ipar gue yang satu itu. Udah tua juga punya hobi ngambekan kayak anak kecil. Masa kabur sampai Singapura sana. Kurang jauh amat mainnya. Dan sialnya karena gue ada urusan di Pekanbaru alhasil kakak gue yang kejam itu ya jadi utus gue buat seret suaminya. Jarak Pekanbaru ke Singapura kan enggak jauh-jauh amat kalau naik pesawat hanya empat puluh menitan doang. Gue udah membawa baju gue di koper kecil. Syukur aja gue selalu bawa paspor dan visa gue kemana-mana. Antisipasi dari kejadian semacam tadi. Disuruh pergi ke sana kemari. Gue apalah, anak bungsu yang selalu di tindas oleh para kakak. Gue mana pernah di sayang, di manja-manja layaknya anak bungsu. Behh jangan harap, yang ada gue selalu dijadikan kacung sama tiga kakak gue. Gue paling ingat ketika gue di suruh beli bakso di depan kompleks perumahan saat hujan mengguyur dengan deras. Itu ulah kakak kedua gue, emang bayarannya menggiurkan pada saat itu. Seratus ribu coy buat anak SD kelas tiga nominal itu udah sangat wah banget. Demi mendapatkan uang seratus ribu gue rela banget naik sepeda pakai jas hujan. Please gue bukan mata duitan tapi kalau dapat rezeki kayak gitu, sumpah gue enggak bisa nolak. Mungkin ini kali ya yang buat hati gue selalu lemah jika di pancing dengan iming-iming sesuatu. Dari kecil gue udah di latih oleh kakak-kakak gue. Imbasnya saat gue udah dewasa kayak gini mereka masih aja suka manfaatkan gue. Disinilah gue, di ruang tunggu sultan Syarif Kasim. Pesawat gue take off jam empat lewat lima belas menit berarti jam lima lewat lima belas menit waktu Singapura. Gue mengeluarkan ponsel gue dan memakaikan headset di telinga gue. Merilekskan syaraf gue dengan mendengar musik klasik menjelang gue masuk kabin pesawat sekitar empat puluh lima menit lagi. Sambil dengerin lagu klasik, gue mengecek email yang masuk. Dan syukur aja enggak ada email penting atau bersifat urgent. "Pokoknya jangan bilang-bilang siapapun." Gue mendengar suara cewek yang cukup cempreng dan merusak indera pendengaran gue yang sedang syahdu-syahdunya. Gue celingak-celinguk mencari ke arah sumber suara. Dan gue melihat seorang cewek tengah berbincang mungkin dengan temannya melalui ponselnya. Gue mengernyit heran melihat body si cewek itu masih kayak anak SMA. Apa orangtuanya enggak cemas gitu melepaskan anak gadisnya seorang diri? Gue menggeleng-gelengkan kepala gue mengingat zaman sekarang sudah semakin parah. Ponsel gue berbunyi dan sebuah pesan dari kakak kedua gue masuk ke ponsel gue. Arghh ada-ada aja yang ganggu konsentrasi gue saat mau dengar musik klasik. Posisi bang Kevin terakhir ada di jalan Arab. Pastikan lo temuin dia dan bawa pulang dengan selamat. Kalau lo berhasil, ada hadiah buat lo. Hati kecil gue memberontak. Padahal gue udah ogah-ogahan banget ke Singapura jemput laki orang. Masa ke Singapura mengemban misi kayak gini. Tapi membaca pesan dari kakak gue yang mengatakan bakalan kasi gue hadiah, sumpah hati gue yang awalnya memberontak langsung lumer. Receh banget sih lo hati. Malu gue dengan gender gue kalau begini jadinya. Tak terasa waktu berjalan dan pesawat gue bentar lagi akan take off. Gue udah masuk ke kabin pesawat dan nomor tempat duduk gue di nomor delapan A. Gue di posisi jendela, lumayan bisa lihat pemandangan awan dan pemandangan kota Pekanbaru dari atas langit. Pramugari pun mengarahkan penumpang untuk memakai sabuk pengaman dan segala macam. Gue hanya dengar sambil lalu karena gue udah fokus dengan salah satu buku yang tengah gue baca. Absurb banget ya gue, di ruang tunggu dengarkan musik lah sekarang di pesawat malah baca buku. Pesawat pun mulai bergetar dan berjalan perlahan di lintasannya. Tak lama kemudian pesawat pun take off dan membubung tinggi ke atas menuju ke atas awan. Gue selalu menikmati keadaan pesawat saat take off walaupun sebagian orang banyak yang tak begitu suka saat take off ataupun landing. Gue malah menikmatinya. Waktu yang gue punya untuk menemui Abang ipar gue hanya tiga hari doang. Ternyata setelah gue kirim rinciannya ke kakak gue yang maha pelit itu, ternyata dia menyelipkan uang saku lima ratus ribu rupiah. Astaga itu kalau di tukar ke dolar Singapura enggak sampai lima dollar loh. Bertahan dengan uang lima dollar ya enggak cukup buat gue. Siap-siap aja uang simpanan gue keluar kalau begini. Menyebalkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN