1 | Perjanjian di Malam Pertama
"Silakan kamu baca ini, Annisa!" ujar seorang pria seraya menyodorkan sebuah map pada gadis yang duduk di hadapannya.
Membuka jas yang masih melekat di tubuh atletis dan meletakkan pakaian tersebut di atas sofa, tepat di sampingnya. Tak lupa melonggarkan dasi dan membuka satu kancing kemeja bagian atas.
"Apa ini, Mas Barra?" tanya gadis bernama Annisa yang masih mengenakan pakaian pengantin.
"Perjanjian!" Pria bernama Elbarra itu menjawab singkat.
"Perjanjian?" Anissa mengulang, masih tidak mengerti dengan maksud ucapan pria yang kini telah telah menjadi suaminya itu.
"Iya. Aku ingin kamu melahirkan anak untukku tanpa aku harus menyentuhmu. Dan kamu harus meninggalkan anak itu bersamaku setelah ia lahir nanti," ungkap Barra, menjelaskan dengan tegas.
Bagai mendengar suara petir di siang bolong bagi Annisa. Isi kepalanya tiba-tiba saja menjadi kosong. Untuk beberapa saat ia pun hanya diam membisu seraya mencerna apa yang baru saja ia dengar. Semua terasa bagai mimpi.
"Ma–maksud Mas apa?" Annisa terbata, bertanya. Dalam hati berharap pria itu hanya sedang bercanda.
"Semua penjelasannya ada di sini!" Barra mengetuk map yang ada di atas meja dengan telunjuknya. "Kamu bisa baca sendiri. Sebagai gantinya aku akan membantu panti asuhan dan menjadi donatur tetap.''
Pria itu kembali bicara seraya membuka map yang ada di hadapan mereka karena Annisa masih diam membeku. "Bacalah agar kamu paham," titahnya lagi.
Dengan tangan sedikit bergetar, Annisa meraih map dan membaca isi perjanjian yang disodorkan Barra padanya.
Ya. Panti asuhan yang biasa Annisa sambangi memang sedang membutuhkan dana. Dulu keluarganya yang menjadi donatur hingga suatu ketika orangtuanya terlilit hutang karena menjadi korban penipuan sampai perusahaan yang dirintis dari nol oleh sang ayah pun harus gulung tikar.
Tidak sampai di situ, beberapa bulan setelah mereka jatuh miskin, sebuah kecelakaan maut pun telah merenggut nyawa kedua orangtua Annisa hingga ia menjadi gadis yatim piatu di usianya yang baru menginjak dua puluh satu tahun.
"Tidak hanya itu. Aku juga akan membiayai sekolah mereka," imbuh Barra, saat Annisa masih menatap deretan huruf yang ia rangkai di atas kertas putih itu.
Annisa diam. Masih membaca setiap poin yang tertulis dalam perjanjian tersebut.
"Selama kita terikat pernikahan, kamu akan tetap mendapat biaya bulanan sebagai istriku. Tapi setelah melahirkan, tinggalkan anak itu dan aku akan memberi kamu uang yang lebih banyak." Barra berkata lagi. Meski Annisa diam ia tahu wanita itu bisa mendengar ucapannya.
Annisa mengangkat kepala yang sejak tadi menunduk, meletakan kertas itu di atas meja, manatap nyalang sang pria yang juga sedang memandangnya dengan sorot mata dingin.
"Dengan kata lain Anda ingin menyewa rahim saya?"
Barra bisa melihat dengan jelas tatapan penuh amarah dari wanita yang baru tadi pagi ia nikahi itu. Ia pun menyeringai.
"Kamu memang pintar, Annisa." Ia memuji lalu terkekeh. "Pertukaran yang cukup adil, bukan?"
Annisa benar-benar tidak percaya jika saja ia tidak langsung mengalaminya. Sosok pria baik hati itu kini berubah menjadi pria arogan yang menyebalkan dan tidak punya hati nurani.
"Jadi Anda menikahi saya dengan maksud tertentu?" Nada bicara Annisa berubah datar, panggilan pun menjadi formal.
"Ya. Begitu lah. Aku butuh anak tapi aku tidak butuh istri atau pun pendamping hidup," jawab Barra dengan santai sambil mengangkat bahu acuh tak acuh.
Annisa tidak pernah menyangka bahwa pria itu ternyata tidak sebaik sikap yang ditunjukkan selama ini.
"Pilihan ada di tangan kamu, Nisa. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, aku mampu membuat panti asuhan itu ditutup selamanya." Barra sengaja menekankan kalimat terakhir sebagai bentuk intimidasi.
Annisa tertawa hambar. "Anda bilang pilihan ada di tangan saya? Tapi Anda sendiri tidak memberi saya pilihan lain selain menerima," sindirnya.
Barra tertawa. "Kamu memang pintar, Annisa. Tidak salah aku memilih kamu untuk mengandung anakku." Ia memuji setengah mengejek.
"Saya tidak pernah menyangka ternyata Anda orang yang li-cik!" Gadis itu membalas tanpa rasa takut.
Barra lagi–lagi tertawa. "Itu salah kamu, Icha. kamu yang terlalu mudah percaya pada sikap baik aku selama ini sama kamu,'' kilahnya, tertawa mengejek.
"Bukan. Bukan saya yang mudah percaya pada Anda. Tapi Anda yang terlalu pandai berakting sampai-sampai bukan hanya saya yang percaya. Tapi semua orang percaya pada Anda.'' Annisa membalas.
"Ya begitulah. Seharusnya aku ini memang menjadi aktor. Selain pintar berakting, aku juga tampan dan rupawan juga jutawan. Sempurna, bukan?" Pria itu bicara dengan percaya diri dan angkuh.
Annisa tiba-tiba saja terasa mual mendengar perkataan pria yang berstatus sebagai suaminya. Rasanya ia menyesal telah jatuh cinta pada pria narsisme yang menyebalkan itu.
'Kayaknya dia emang sikopat deh. Selama ini, pas dia deketin aku, sikapnya gak gini. Baik, sopan, rendah hati. Tapi sekarang malah sebaliknya.' Annisa membatin.
"Untuk mempersingkat waktu, lebih baik kamu tanda tangani saja perjanjian itu. Demi anak-anak panti yang kamu sayangi itu.'' Suara Barra mengembalikan Annisa pada kesadaran.
Meski dengan berat hati, wanita itu akhirnya terpaksa harus menandatangani surat perjanjian. Ia tidak mungkin membiarkan anak-anak di panti asuhan kehilangan tempat untuk berteduh.
'Soal anak, biar aku pikirkan lagi nanti.' Annisa kembali membatin.
Barra tersenyum puas saat melihat wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu mengikuti apa yang ia minta. '
'Bagus! Semua sudah berjalan seperti yang aku rencanakan! Tinggal memastikan bahwa dia tidak akan buka mulut pada papa dan mama soal ini,' batinnya.
"Pilihan yang bagus, Nisa," puji Barra dengan senyum seringai menyebalkan tercekat di wajahnya yang tampan.
Ia meraih map yang ada di atas meja, membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu. "Aku akan berikan uang banyak setelah anak itu lahir dan kamu bisa hidup bebas semau kamu," katanya lagi sambil menutup map yang berisi perjanjian mereka.
Annisa tidak tertarik untuk menanggapi. Tiba-tiba saja ia muak dengan suaminya. Padahal ia menerima lamaran dadakan Barra karena percaya bahwa pria itu punya niat baik dan tulus ingin membangun rumah tangga, ia terima meskipun usia masih muda.
Walaupun belum lama saling mengenal, tetapi Barra sudah berhasil membuatnya jatuh cinta. Begitu pintar pria itu mengambil hati hingga ia pun percaya dengan semua sikap baiknya.
"Oh iya. Jangan lupa, sesuai dengan isi kontrak, hanya aku dan kamu yang tahu tentang hal ini. Jangan sampai orangtuaku mengetahuinya. Di depan mereka, bersikaplah seperti pasangan suami istri pada umumnya."
Barra kembali bicara, mengingatkan. Tidak! Lebih tepatnya memastikan bahwa Annisa akan menutup rapat rahasia mereka dan tidak meru'sak semua rencana yang sudah ia susun dengan rapi.
Annisa hanya berdecih tanpa mengucapkan satu patah kata pun meski dalam hati ia ingin sekali mencakar wajah tampan pria menyebalkan itu.