Nayna berjalan gontai, masuk ke dalam kamar lalu menguncinya dari dalam. Dia syok karena bentakan dari Gibran, orang yang beberapa minggu terakhir dikaguminya.
Nayna membenamkan kepalanya dibawah bantal, dia menangis, ya, Nayna menangis karena baru kali ini dia mendapat bentakan yang membuatnya sesakit ini. Hingga Nayna terlelap dan berada di alam mimpi.
Satu setengah jam setelah Nayna berada di kamarnya, Aksa membuat kegaduhan dan berdiri di depan pintu kamar Nayna, dia mengetuk beberapa kali. Namun, Nayna tak bersuara, dia menggerak-gerakkan kenop pintu, tapi, Nayna menguncinya dari dalam.
Aksa mulai panik. “Dek, buka pintunya abang mau ngom--” Aksa menghentikan ucapannya, sejenak dia berpikir, “Dek, abang bawa es krim vanila dengan toping stroberi, stroberinya asli loh, Dek.” bohong Aksa. Dia masih menganggap Nayna sama dengan Nayna sepuluh tahun yang lalu, saat usia SMP yang mudah luluh dengan satu kotak es krim dengan topping stroberi asli seperti yang Aksa bicarakan.
“Dek, ayo dong, Dek. Buka pintunya! gue udah nggak tahan pengen ngomong, bibir gue gatel,” keluhnya, “atau nggak gue dobrak nih.” Sesaat kemudian, Aksa mendekatkan telinganya ke daun pintu.
Masih belum terdengar tanda-tanda Nayna dari dalam. Aksa mulai kalap dia mundur dua langkah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu, satu kali tubuhnya mengenai pintu dengan keras, namun, engsel masih kokoh bersarang di tempatnya.
Sekali lagi. Aksa akan mencoba sekali lagi, dia mundur kembali dua langkah dan mengulangi hal yang sama. Namun, pintu terbuka sesaat sebelum tubuh Aksa mengenai pintu. Nayna berdiri di depannya dengan tatapan nyalang.
“Dari tadi, kek. Ih … capek banget gue buang-buang tenaga,” racau Aksa sembari nyelonong masuk ke kamar adik manjanya itu, dia langsung mendaratkan b*kong di tepi ranjang.
Nayna patuh, saat Aksa memintanya untuk duduk di sebelahnya. “Tadi, bang Aksa dapat laporan dari Anya. Kamu ngapain nemuin Gibran?” Aksa memulai pembicaraan dengan tenang agar tidak melukai Nayna.
Nayna menarik napas, “Aku mau minta bantuan kak Gibran untuk tugas akhirku.”
Mendengar apa yang dikatakan Nayna, membuat Aksa tiba-tiba ingin menaikkan intonasi suaranya agar terkesan lebih tegas. “Enggak! Nggak usah dateng lagi ke sana, kamu kerjakan tugas kamu sendiri!”
Jantung Nayna mencelus. “Kenapa?” Kedua matanya sudah berembun.
“Ya, pokoknya kamu jauhin Gibran.”
“Bukannya bang Aksa sendiri yang bilang, aku bisa belajar seni lebih banyak dari kak Gibran.”
“Kapan? kapan gue ngomong kayak gitu,” sangkal Aksa seraya bangkit.
“Waktu di Bandara. Abang Lupa?!” Nayna ikut bangkit.
Aksa tak pernah lupa, malah dia teringat terus dengan apa yang dia katakan setiap detailnya, karena dia sendiri yang punya niat lain saat mengenalkan Nayna pada Gibran, sebelum dia teringat dengan phobia sahabatnya itu.
“Pokoknya, gue nggak mau tahu mulai dari detik ini, lu berhenti mikirin Gibran, lu berhenti datang ke Galerinya, TITIK!!!” Aksa mengucapkan kata titik sembari menunjuk jarinya ke bawah, sebagai sebuah peringatan keras.
Jantung Nayna mencelus. Sedetik kemudian dia membasahi tenggorokannya, lalu berujar, “Maaf, untuk kali ini Nayna nggak mau nurutin bang Aksa.” Nayna membuang muka dari Aksa.
“Denger ya ….” Aksa mengarahkan wajah Nayna untuk menatapnya dengan menggeser bahu wanita itu. “Gue udah banyak ngalah sama elu, beberapa kali Dara hampir mutusin gue cuma gara-gara elu.” jari telunjuk Aksa menunjuk wajah Nayna.
Nayna menatap sendu mata Aksa yang memberinya tatapan tajam hingga terasa begitu menusuk ke relung hatinya, perlahan matanya mulai mengembun dan buliran bening itu jatuh dari sudut mata indahnya. Dia tak pernah mendapati Aksa seperti ini. Nayna sedih bukan karena Aksa melarangnya menemui Gibran, melainkan karena sebuah tatapan menusuk juga bentakan yang sama seperti yang Gibran lakukan padanya dan juga soal Dara. Kenapa Aksa harus membawa nama wanita itu dalam perselisihannya dengan Nayna.
Dengan kasar Aksa melangkahkan kaki keluar dari kamar adiknya itu. Nayna kemudian mengempas tubuhnya di kasur. Air mata tak berhenti terjatuh dari sudut matanya. Dia merasa Aksa telah berubah tanpa sebab yang pasti dan tanpa alasan yang tidak dia ketahui.
“Jadi, selama ini--” Nayna menahan isakannya, “ aku emang nggak setuju bang Aksa sama Dara,” teriaknya.
Aksa tetap melenggang pergi.
“Aarrgghh ….” Nayna melempar bantal ke arah pintu.
***
Tubuh Gibran menggigil. Dia demam bahkan hingga meracau tak karuan, dia yang tinggal di rumah hanya dengan dua orang pembantu berusia lanjut yang bahkan sudah mirip seperti nenek dan kakeknya, tak dapat berbuat apa-apa. Harryana Gustav--ayah Gibran--sedang berada diluar negeri untuk beberapa pameran enam bulan kedepan, Hanya Anya yang bisa Bi Sumi mintai tolong.
Anya yang beberapa kali mengecek suhu tubuh Gibran, tak bisa berbuat banyak, hanya Susan--kakak dari Harryana Gustav--yang mengerti dengan keadaan Gibran saat ini.
Anya menggaruk kepala yang tak gatal, sudah dua kali Anya melakukan panggilan pada orang yang telah melahirkannya itu. Namun, Susan tak lekas menjawab panggilannya, dia bahkan tidak tahu Dokter mana yang bisa dihubungi untuk menangani penyakit aneh Gibran.
Beberapa kali Anya mengganti kain basah yang menempel di kening Gibran, dia juga memberikan obat penurun demam dengan dosis cukup untuk pria dewasa seperti Gibran. Anya hanya bisa menghela napas, dia memang sering mengurusi anaknya yang demam, tapi itupun baru usia tiga tahun yang jika di gendong akan lekas membaik apalagi jika sudah diberi obat.
Sedangkan Gibran? Anya geleng-geleng kepala. “Lu kenapa sih, Dek.”
Tak lama setelah mendapat pesan dari Anya, Susan langsung datang dan kini sedang berada di sebelah ponakannya itu. Wanita paruh baya itu tak sendiri, dia datang bersama seorang Dokter sekaligus terapis yang sudah mengobati Gibran dari kecil.
Gibran mendapat satu suntikan dari Dokter yang bisa membuatnya tenang dan tertidur. “Sebenarnya ini nggak baik, jika dia terus-menerus seperti ini,” ujar Dokter. “Apa kalian tidak ingin mencoba mengobatinya dari akar permasalahannya?”
“Maksud Dokter?” tanya Susan.
“Bu Susan tahu, `kan? Gejala yang dialami Gibran dari dulu hingga sekarang itu sama.”
Susan mengangguk.
“Cobalah bantu dia keluar dari masalahnya, tentu bu Susan tahu apa yang menyebabkan Gibran bisa seperti ini.”
Lagi-lagi Susan hanya mengangguk. Tapi, kemudian dia berujar, “saya tahu sumber masalah Gibran, tapi saya tidak tahu harus melakukan apa dan mulai dari mana.”
“Ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan, jika bu Susan sudah tahu caranya, segera kasih tahu saya, untuk sekarang saya hanya bisa memberikan obat ini saja, tapi Gibran tidak mungkin selamanya bergantung pada obat-obatan, ’kan?” Dokter kemudian berdiri, lalu dia kembali melanjutkan perkataannya, “Jika besok demamnya sudah turun, bawa dia untuk menemui saya, kita lanjutkan lagi terapinya.”
“Iya, Dok.” terima kasih.
Terapi Gibran sempat terhenti saat dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di New York empat tahun silam. Selama empat tahun dia tinggal di kota yang memiliki julukan The Big Apple itu, dia sering berkonsultasi dengan terapisnya via video call. Dia bisa bertahan di kota besar yang merupakan kota dengan penduduk paling banyak di Amerika serikat, bahkan di seluruh dunia itu hanya dengan sebuah pengalihan pikiran, berupa olahraga, relaksasi, hidup sehat dan menghindari segala bentuk tekanan yang bisa menyebabkan stress. Gibran juga berada di kelompok yang memiliki phobia yang sama dengannya, ada banyak manfaat dan sharing tentang masalah pribadinya masing-masing dalam kelompok tersebut.
Namun, semenjak kehadiran Nayna, Gibran seolah lupa dengan semua yang dijalaninya selama empat tahun terakhir itu. Dia sulit mengendalikan hati dan pikirannya, bahkan terkadang dia merasa ingin mengakhiri hidupnya.
***
Semenjak kejadian kemarin Aksa dan Nayna tak saling bicara. Nayna memilih diam, sekalipun dia ingin mencari tahu alasan Aksa memintanya menjauhi GIbran.
Aksa yang masih enggan memulai pembicaraan karena masih merasa kesal dengan Nayna yang tidak mengindahkan peringatannya dari sebelum-sebelumnya.
Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang terdengar seperti sengaja diketuk-ketukan oleh mereka berdua, sementara mereka tak begitu memperhatikan celotehan ayah dan ibu mereka, yang mulai mengernyit melihat tingkah mereka berdua yang tak biasa.
“Aku pamit, Pa, Ma,” ucap Nayna sembari mengecup pipi mereka bergantian seperti yang biasa dilakukannya. Namun, kini Aksa tak menghentikan langkahnya seperti waktu itu saat Nayna melupakan ritual pamitan dari adik ke kakaknya.
“Kalian ada masalah, ya?” tanya Nova.
Nayna menoleh. Namun, dia segera melangkahkan kakinya dengan cepat, tanpa ingin menjawab pertanyaan ibunya.
Aksa pun terdiam, dia sedang tak ingin membahas kejadian kemarin, dan sekarang dia baru ingat tentang Gibran, Dia berniat akan mengunjungi ke rumahnya karena pesan singkat Anya tentang kondisi Gibran tadi malam.
“Aku berangkat, Ma, Pa,” ucap Aksa sembari mengecup tangan ayah dan ibunya bergantian. Aksa yang masih cuek dengan pertanyaan yang dilontarkan ibunya, memilih pergi untuk menghindari pertanyaan beruntun yang sudah dia prediksi sebelumnya. Sementara ayahnya yang merasa mereka bisa menyelesaikan masalahnya masing-masing tidak terlalu banyak ikut campur, hanya mengontrol sesekali saja.
***
Nayna kembali berdiri didepan galeri untuk menyampaikan maafnya. Tapi hari ini galeri tampak sepi, kelas khusus seni untuk anak-anak usia dini, pun diliburkan. Nayna merasa ada yang aneh setelah membaca pemberitahuan tertulis di atas papan pengumuman yang menempel di pintu kaca. Dia memandangnya cukup lama karena pada kalimat terakhir tertulis ‘Libur hingga batas waktu yang tidak ditentukan’.
Hanya ada satpam berjaga di depan Galeri, Nayna mendekat dan mencoba bertanya karena rasa khawatirnya yang begitu mendera. “Pak Agus, Kenapa Galeri tutup?”
Pria 40 tahun di depannya itu tampak menghela napas, “Mas, Gibran-nya sakit, Non.”
“Sakit?” Nayna terkejut.
“Iya, sejak kejadian kemarin, Galeri langsung ditutup, maaf ya, Non. Bukan pak Agus lancang, tapi sebaiknya non Nayna berhenti menemui mas Gibran karena kata mbak Anya Gibran takut melihat non Nayna.”
“Takut?” Nayna mengernyit, dia mencoba mencerna apa yang dikatakan satpam itu padanya. “Takut gimana maksudnya, Pak?” Sungguh Nayna tidak dapat menelan kalimat mentah seperti itu.
“Saya juga nggak ngerti, Non.”
“Makasih untuk infonya, ya Pak.” Nayna berbalik hendak melangkahkan kaki untuk pergi, namun suara parau pak Agus menghentikan langkahnya.
“Non Nayna jangan marah, ya. Nanti kalau ketemu pak Agus di jalan jangan lupa menyapa ya, Non,” ucap Agus yang merasa bersalah karena melihat raut kecewa di wajah Nayna.
Nayna berbalik, “Emang saya nggak boleh kesini lagi, ya Pak?”
Pria berseragam putih itu menggelengkan kepala, “Maaf ya, Non. tapi itu pesan mas Gibran sama mbak Anya.”
Nayna menghela napas. “Astaga … salah gue apa?! segitu bencinya Gibran sama gue,” gumamnya. Nayna kemudian mengurut pelipisnya dan pergi. Dia masuk ke dalam si Jingga, air mata mulai menetes. Dia merasa sudah tak ada jalan untuk bisa meminta bantuan Gibran, ternyata selain Aksa yang melarang, nyatanya Gibran memang tidak begitu menyukainya, itu yang ada dipikiran Nayna saat ini.
Nayna memutuskan pergi dari depan Galeri. dia berjanji tidak akan menampakkan wajahnya di hadapan Gibran lagi, walaupun rasa sakit sudah sampai ke ulu hati.
***
Aksa setengah berlari setelah dia turun dari mobilnya. Dia masuk dengan segera usai meminta izin pada wanita tua yang sedang menyiram tanaman di halaman depan.
Dia mematung saat melihat Gibran sedang disuapi bubur oleh Oji. Rasa bersalah memang mendominasinya, tapi dia tetap memperlihatkan keadaan yang biasa saja. Oji segera menoleh saat dia merasa ada seseorang yang datang.
“Udah persis kaya orang pacaran aja.” Aksa menahan tawanya.
“Lu mah jahat, ini kan ulah elu, awal mula semua masalah ini datangnya dari elu,” sarkas Oji.
Aksa mendekat dan mendaratkan b*kongnya di sebelah Gibran, “Iya gue salah, gue minta maaf.”
“Jangan maafin, Gib,” ucap Oji. “Kebiasaan, emang.”
“Ih, elu mah ngomporin aja.” Aksa memukul lengan Oji.
Gibran masih terlihat murung, suaranya bergetar saat dia berkata, “Terkadang gue ngerasa gue pengen mati aja.”
“Hussshh ... ssssttt … elu nggak boleh ngomong gitu,” sarkas Oji.
“Maaf, ya. gue tahu maaf aja tuh nggak cukup, tapi gue udah nggak bisa berbuat apa-apa selain melarang Nayna buat nemuin elu,” tutur Aksa.
Gibran mengangguk lemah.
***