Caligynephobia

1419 Kata
Nayna menghentikan mobilnya, dia tersenyum menyapa Anya yang sedang berdiri di depan Galeri, lalu turun dari si Jingga yang nama itu tersemat begitu saja saat dia menaiki mobilnya itu.  “Pagi, Mbak,” sapa Nayna ceria.   Energi positifnya tiba-tiba menular pada Anya. “Pagi Nay. Udah sembuh?” tanya Anya sembari mengedarkan pandangannya pada gadis itu. “Udah, Mbak,” jawab Nayna. Gadis yang sudah menggerai rambutnya itu pun kemudian celingukan mencari keberadaan Gibran. “Kak Gibran, ada?” tanyanya “Ada, tuh.” Anya menunjuk Gibran dengan dagunya. Nayna tersenyum dan melambaikan tangan. Menyapa Gibran. Namun, Gibran bergidik dan lari terbirit-b***t, menghindari Nayna. Nayna mengernyit, kerutan di hidungnya begitu kentara. Lagi-lagi Gibran bersikap seperti itu. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap Gibran setiap bertemu dengannya.  Anya memperhatikan perubahan Nayna setelah melihat sikap Gibran yang tampak seperti menghindarinya. Ada gurat kecewa di wajah cantiknya itu. Nayna menghela napas. Dia kemudian memberikan kotak kue yang sedari tadi dipegangnya itu pada Anya. “Kue, buat kalian,” ucapnya sembari tersenyum. “Waaww … makasih, ya.” Anya menjawil dagu Nayna, dia kemudian mengambil alih kotak kue tersebut. Nayna memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Kayaknya kak Gibran lagi nggak bisa diganggu, ya?” Ada nada kecewa dalam kalimatnya. Padahal sejujurnya bukan itu yang ingin Nayna tanyakan, tapi soal apa dan kenapa Gibran bisa bersikap seolah dia membenci dirinya. “Emm … Nay, Ada yang bisa mbak bantu?” Anya mencoba sedikit menetralkan kekecewaan gadis bermata lembut itu dengan menawarkan bantuan. Nayna menarik napas. “Tadinya, aku mau minta bantuan kak Gibran buat tugas akhir aku. Tapi--” Nayna memberi jeda. “Kayaknya kak Gibran--” “Jangan nethink dulu, nanti mbak bantu coba bilang ke dia, ya.” Anya tahu itu tidak mungkin, karena melihat Gibran yang memiliki phobia yang menurutnya sangat aneh. Tapi, tanpa Anya sadar, dia telah memberi harapan palsu pada Nayna. “Kalau gitu, aku pamit ya, Mbak. Makasih sebelumnya.” Dia memeluk Anya sekilas. Meski berjuta pertanyaan tengah bersarang memenuhi isi pikirannya. Namun, dia tak tahu harus bertanya pada siapa, pasalnya hingga saat ini Aksa selalu memintanya menjauhi Gibran tanpa memberi alasan apapun.  *** Gibran mengernyit melihat ada kotak kue di atas mejanya. dia memutar-mutar kotak kue itu sembari terus menatapnya. Anya tertawa menyaksikan Gibran dengan sejuta keanehannya. “Kue dari mana?” tanya Gibran seraya mengangkat wajahnya menatap Anya.  “Nayna.” Anya bersandar di tiang pintu dan melipat kedua tangannya di bawah d**a. “Udah sembuh dia?” Entah kenapa tiba-tiba Gibran ingin tahu keadaan Nayna.  “Sok peduli,” cibir Anya. Jantung Gibran mencelus mendengar cibiran Anya, padahal dia benar-benar peduli, karena sebenarnya dia tidak ingin melukai siapapun. “Mbak makan aja deh kasih pak Agus juga.” “Cobain dululah Gib, masa sama kuenya juga Phobia? kasihan loh cewek secantik dan sebaik dia, kamu perlakukan seperti itu.”  Gibran mengurut pelipisnya, dia mengatur napasnya yang mulai tersengal-sengal. “Sebenernya, sebagian gejala phobia kamu itu hampir sama dengan gejala orang jatuh cinta,” kekeh Anya. Dia hanya menduga saja, padahal dia tidak tahu apa yang dirasakan Gibran selain jantung berdebar, mual dan sakit kepala. Gibran mengangkat wajahnya, dia menatap Anya. “Emang iya?”  “Iya.” Ekspresi Anya yang tidak begitu meyakinkan, membuat Gibran segera mencebik. Dia kemudian mengambil botol mineral dan menenggak hampir setengah airnya tanpa bernapas. Anya membulatkan mata. “Kamu mau bunuh diri?” tuduhnya seraya bergidik dan pergi meninggalkan Gibran sendiri.  Gibran kemudian bersandar dan mengacak rambutnya, frustasi. Selain tak berani menatap Nayna, Gibran juga tak mempunyai keberanian untuk memakan kue dari gadis berkulit bersih itu. Karena membayangkan Nayna saja sudah membuatnya kesulitan. Gibran memutuskan untuk mengunjungi Terapis menjadi seminggu tiga kali, karena dia kesulitan dalam beraktivitas, bahkan setiap dia memejamkan mata, gadis itu selalu membayanginya, hingga membuatnya merasa semakin takut, apalagi saat dia berada di bawah guyuran air ketika dia mandi, Nayna datang dan pergi dari pikirannya seperti hantu. Sementara itu, di waktu yang sama, kepala Nayna terkulai diatas meja kantin yang terlihat lenggang. Dia tampak sangat sedih, mengingat Gibran yang selalu menghindarinya.“Kenapa ada makhluk seperti kak Gibran di dunia ini?” Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. “Makhluk dengan ketampanan yang sempurna, punya bakat yang hebat dan … kenapa dia selalu menghindari aku?” Nayna membuang napasnya kasar. “Agatha bilang aku harus meminta bantuan kak Gibran kalau mau lulus dengan hasil yang bagus. Tapi ….”  “Nay … Dicariin bu Dian.” Pria dengan wajah datar itu pergi setelah menyampaikan pesan dari bu Dian untuk Nayna. “Makasih, ya Angga,” teriak Nayna.  *** Ketukan sepatu kets milik Nayna terdengar menggema dan berirama di koridor galeri yang cukup luas, dia berjalan tanpa ragu, dia tak melihat ada Anya di tempat itu, hanya ada satpam yang biasa berjaga di depan galeri. Dia tak peduli dengan semua kemungkinan yang akan terjadi, dia langsung masuk, tanpa mengetuk pintu ruangan Gibran.  Gibran yang sedang melukis membelakangi pintu, tak tahu dengan kehadiran Nayna. perlahan Nayna mendaratkan b*kongnya di sofa panjang yang pernah didudukinya tempo hari. Nayna tak sedikitpun mengeluarkan suara dia hanya akan bersuara setelah Gibran selesai dengan kegiatan melukisnya, Nayna hanya takut akan membuyarkan konsentrasi Gibran. Wajah manisnya tak berhenti mengulum senyum, dia cukup puas dapat memandangi punggung tegap pria itu. Nayna menarik napas panjang dan embusan napasnya terdengar oleh Gibran yang seketika itu juga menoleh ke arah Nayna dan berteriak hingga membuat piring cat yang dipegangnya berantakan dan berceceran jatuh, bahkan mengenai bajunya. Nayna tak kalah terkejutnya dia berteriak sama kencangnya, tapi kemudian dia mendekat  dan mencoba membantu Gibran untuk merapikan piringan cat yang jatuh, namun, Gibran berteriak dan mengusirnya dengan napas yang tersengal-sengal sembari memegangi d*danya. “Pergi …! pekiknya, perlahan tubuh Gibran mundur menjauh dari Nayna.  “Kak Gibran, kenapa?” lirih Nayna yang terkejut melihat ekspresi Gibran. “Apa aku ada salah?” Gibran kemudian bangkit dan terus menunjuk pintu sembari membelakangi Nayna, “Cepat pergi …!”  Perlahan Nayna ikut bangkit, tapi dia masih mematung berharap Gibran akan menjelaskan maksud kenapa dia harus mengusirnya dari sini. Namun, tiba-tiba tangan Nayna ditarik Oleh Anya dari belakang, wajah ramahnya mengangguk pada Nayna dan membawanya pergi dari Gibran.  Setelah berada di depan galeri, Nayna celingukan menatap ke dalam berharap Gibran meminta maaf karena telah mengusirnya.   “Nay, mending Nayna pulang, ya.” Anya menepuk pundak Nayna. Jantung Nayna mencelus. “Tapi, mbak … kak Gibran?” lirih Nayna, suaranya terdengar bergetar. “Kamu nggak usah khawatir, dia hanya kaget.” Anya menggenggam tangan Nayna yang terlihat gemetar dan dingin. Anya merasakan ketakutan yang menjalar di hati gadis berhidung bangir itu. “Ya udah, kalau gitu aku pulang, salam buat Kak Gibran, tolong bilang ke kak Gibran …,” lirih Nayna, kemudian dia menarik napas menahan tangis yang sebentar lagi akan terdengar lengkingannya. “Maaf atas sikap lancang aku yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.” buliran bening dari sudut matanya berhasil lolos begitu saja. Lalu dia menyekanya dengan kasar. “Awalnya aku cuma mau minta bantuan kak Gibran, tapi, karena melihat kak Gibran sedang sibuk, jadi--” Nayna mengedikkan bahu.  “Ssshhhh … udah--” Anya memeluknya sekilas, “udah nggak usah di pikirin.”  Anya kemudian menyeka air mata gadis itu yang kian membanjiri pipi merahnya. “Everything will be fine, okay.”  Nayna menarik napas kemudian mengangguk. “Sampein permintaan maaf aku, ya, Mbak.” “Iya, udah, nggak usah Nangis, dia baik-baik aja, kok. Nanti mbak bilangin.” Anya kembali mengusap pipi Nayna. Gadis itu kembali menghambur ke pelukan wanita tiga puluh tahun itu, walaupun Nayna baru mengenal dan bertemu Anya beberapa kali tapi Nayna yang loveable sangat mudah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.  “Makasih ya, mbak,” lirihnya sembari melepaskan pelukannya. Sementara Gibran duduk memeluk lututnya di atas lantai di pojokan ruangannya, ketakutan yang dialaminya kini lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Gibran merasa tertekan dengan pikirannya saat ini, seolah Nayna akan membunuhnya. Anya yang sudah melepas kepergian Nayna dari sana, kini berjalan mendekat ke arahnya dan membantunya berdiri, “Maaf, mbak nggak tahu kalau Nayna ke sini,” ucapnya. Kemudian Anya mengambilkan botol air mineral, yang tersedia di dalam dus, di belakang kursi tempat Gibran duduk. Gibran memang tak sembarang minum air, rasa phobia yang dialaminya membuat dia mengatur pola hidup, olahraga teratur dan pola makannya dengan baik sebagai pengalihan dari tekanan pikirannya. “Minum dulu ya.” Anya mendekatkan botol yang sudah di buka itu pada mulut Gibran. Pria itu mengambil alih botol tersebut lalu menenggaknya hingga hampir 250 mili atau setengah dari isi botol tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN