Menepati Janji
Pagi ini cuaca sangat cerah. Sinar matahari menembus dinding kaca ruang makan bercat putih itu. Terlihat seorang gadis berpakaian rapih saat ini sedang duduk di meja makan dan bersiap-siap untuk sarapan pagi. Di seberangnya terlihat seorang lelaki yang sudah berpakaian rapih juga.
"Aku tidak mau makan, Daddy!" Gadis itu melipat kedua tangannya di d**a.
"Makan! nanti kamu kelaparan kalau tidak makan." Lelaki yang terlihat lima tahun lebih tua dari gadis 21 tahun itu berbicara.
Vana, gadis 21 tahun itu membanting sendoknya di atas meja. Lalu dia membuang muka, wajahnya terlihat ketus. "Gak mau, Daddy! aku mau berangkat sekarang!"
Setelah itu Vana langsung berdiri mengambil tasnya, lalu dia berjalan meninggalkan meja makan.
Kriss, lelaki 26 tahun itu membanting piring yang berisi nasi ke atas lantai. Membuat suara nyaring dari pecahan kacanya yang berserakan.
Mendengar itu, Vana langsung berhenti berjalan dan membalikkan badan untuk melihat apa yang terjadi. Vana terkejut saat melihat pecahan piring berserakan di lantai.
"Daddy!! kenapa Daddy banting piringnya?! Daddy kenapa sih?" Vana terlihat bingung sekaligus kesal karena ulah Kris yang tempramental.
"Jangan panggil aku Daddy! gadis 16 tahun yang dulu memanggilku Daddy adalah gadis yang penurut! tidak seperti kau yang pemberontak!" Kriss menatap Vana tajam.
Vana menghela nafasnya. Kriss memang cepat emosi hanya karena masalah sepele. "Terserah, Daddy. Yang pasti aku tidak mau makan!" Ucap Vana kekeuh.
Setelah mengatakan itu Vana langsung pergi meninggalkan Kriss. Vana akan pergi ke kampus. Hari ini dia ada kuliah pagi.
Sejak kemarin Vana tidak ada makan apapun. Itu semua karena Vana sedang merajuk. Dia merajuk pada Kriss karena Kriss mengingkari janjinya untuk berlibur bersama Vana saat weekend.
*****
"Ah! kepalaku sangat pusing. Memang tidak bisa berbohong, kalau tidak makan kepalaku jadi sakit." Vana menyetir mobil dengan satu tangan, wajahnya pucat karena tidak makan dari kemarin.
"Kalau aku kecelakaan karena tidak fokus menyetir, berarti takdir ku untuk hidup di dunia ini hanya sampai disini saja," ucapnya pasrah.
"Kepalaku sangat sakit! sungguh, rasanya seperti mau pecah. Cacing di perutku juga sudah meronta-ronta. Nanti setelah sampai kampus aku akan makan di kant-- AAAAAAAAAAA!!!!!!"
Vana berteriak kencang saat tiba-tiba ada mobil yang menyalipnya lalu berbelok arah dan menghalangi jalannya.
"Mobil gila!!! untung aku cepat menginjak rem! jika tidak aku akan mati!!" Vana mengumpat kesal.
"Aku akan memberi pelajaran pada orang gila yang menyetir mobil itu!!" Vana membuka sabuk pengamannya, dia bersiap-siap turun untuk melabrak pengendara mobil itu.
Belum sempat turun, kaca mobil Vana diketuk dengan kasar. Vana yang ada di dalam pun langsung terkejut.
"Dasar orang gila!! dia yang salah tapi dia yang terlihat ingin marah-marah!!"
Vana mengintip dari jendela mobil. Matanya mendelik hebat. Dia benar-benar terkejut saat melihat siapa yang mengetuk kaca mobilnya dengan kasar.
"Gila!! Matilah aku! tamat riwayat ku!" Vana menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering tiba-tiba
Vana membuka pintu mobilnya. Mau tidak mau dia harus keluar dari mobil.
"Kenapa kau sangat keras kepala?!" tanya orang yang mengetuk pintu mobil Vana dengan kasar.
Tanpa basa-basi Kriss langsung menarik tangan Vana. Kriss menarik Vana dan membawa Vana ke mobilnya. Ya, orang gila itu adalah Kriss.
"Masuk!!!" Kriss memaksa Vana.
"Tapi aku mau ke kampus. Hari ini ada kuliah pagi. Daddy akan mengantar aku ke kampus?" tanya Vana dengan wajah sedikit ketakutan.
Kriss menatap Vana tajam, entah apa yang ada dipikiran Kriss sampai-sampai tatapannya begitu menakutkan. "Tidak usah banyak tanya! masuk!!" perintah Kriss dengan suara tegasnya.
Tak sabar menungggu, Kriss langsung mendorong paksa Vana masuk ke dalam mobil.
Setelah itu Kriss juga masuk ke dalam mobil, lalu dia langsung mengendari mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
"Daddy! bisakah pelan-pelan saja? aku tidak akan terlambat ke kampus meskipun daddy mengendarai mobilnya pelan-pelan." Vana ketakutan karena Kriss yang kebut-kebutan.
Kriss diam. Tak merespon ucapan Vana.
Karena tak mendapatkan respon apapun, Vana memilih menutup matanya agar ketakutannya sedikit berkurang.
Sekitar 20 menit mereka di perjalanan, sekarang mobil mereka sudah berhenti di suatu tempat.
Vana membuka matanya. Dia terkejut saat melihat saat ini dirinya ada di mana. "Kita di mana, daddy? kenapa bukan ke kampus aku? hari ini aku ada kuliah pagi, daddy. Dosennya galak. Aku takut kalau tidak masuk mata kuliahnya."
Kriss mengabaikan Vana. Tanpa basa-basi Kriss keluar dari mobil dan langsung membukakan pintu mobil untuk Vana.
"Keluar!" Kriss menyuruh Vana keluar dengan ketus.
"Tapi, daddy, aku harus kul--"
"Keluar!!" Ucap Kriss tak ingin dibantah.
Vana terkejut saat Kriss membentaknya. Mau tidak mau Vana akhirnya keluar menuruti ucapan Kriss.Vana takut dengan Kriss.
Setelah Vana keluar, Kriss langsung menggandeng tangan Vana. Lalu Kriss membawa Vana masuk ke dalam hotel.
Vana terlihat bingung, tapi dia hanya diam dan tak berani bertanya.
Sesampainya di kamar hotel, Kriss langsung memberikan Vana makanan yang sudah dia beli tadi.
"Makan. Lihatlah wajahmu, sangat pucat. Ini karena sejak kemarin tidak makan. Kalau kau sakit, semua orang akan repot." Kriss menyodorkan sendok berisi nasi pada Vana.
Vana kembali terkejut, Kriss benar-benar tidak bisa ditebak.
"Makan." Kriss mengulang ucapannya. Suara rendah dan tatapan tajamnya membuat Vana ciut seketika. Mau tidak mau Vana menerima suapan itu.
"Jangan seperti ini lagi, Vana. Jika kau sakit, aku akan merasa bersalah pada diriku sendiri." Ucap Kriss setelah Vana menerima suapan darinya.
Vana melihat Kriss sejenak, lalu dirinya membuang pandang ke arah lain.
"Apakah kau ingat alasan kau memanggil aku daddy?" tanya Kriss pada Vana.
Vana menganggukkan kepalanya, namun dia tetap tidak menatap Kriss sama sekali.
"Apa alasanmu memanggilku daddy?" tanya Kriss lagi.
Vana tidak menjawab, rasanya momen seperti sekarang sangatlah canggung.
"Jawab aku, Vana. Apa kau tidak bisa berbicara?" Sepertinya Kriss tak bisa menahan kekesalannya.
Vana menatap Kriss sekilas dengan tatapan tajamnya, lalu Vana kembali membuang pandang ke arah lain. "Karena daddy yang menyelamatkan hidupku. Daddy juga yang selalu ada untukku. Daddy yang sayang dan selalu peduli padaku. Karena aku suka dengan panggilan daddy, lalu daddy juga suka aku panggil seperti itu." Vana menjawab tanpa menatap Kriss.
"Jika kau tau aku sangat peduli padamu, aku sangat sayang padamu, kenapa kau harus membantah ucapanku? apa yang aku katakan, semuanya untuk kebaikan mu. Kenapa kau membantah ucapanku?" tanya Kriss dengan nada serius.
"Karena aku tidak lapar, aku tidak mau makan." Vana menjawab dengan ketus.
Kriss menghela nafasnya. Vana memang kerasa kepala. Kriss menyerah, daripada Kriss lepas kendali. "Sudahlah, habiskan ini."
Kriss terus menyuapi Vana sampai makannya habis. Tidak ada pembicaraan diantara mereka sepanjang momen ititu.
"Aku minta maaf karena sudah membuatmu kecewa. Kemarin, jika weekend berjanji ingin pergi liburan bersamamu. Tapi ternyata ada hal penting lain yang tidak dapat ditunda. Alhasil aku jadi tidak bisa pergi liburan denganmu. Maaf." Kriss meminta maaf pada Vana. Masalah ini tidak akan selesai jika Kriss tidak meminta maaf. Lagipula Kriss akui kalau dirinya yang salah.
"Lupakan saja," jawab Vana singkat.
"Mana mungkin aku lupakan. Itukan keinginanmu, itu juga janjiku. Mana mungkin aku lupa," balas Kriss.
Kriss menarik dengan lembut dagu Vana supaya menghadap dirinya. Sebab sejak tadi Vana selalu melihat ke arah lain.
"Maaf, Daddy tau kalau daddy salah. Maaf karena sudah mengecewakan mu. Maaf karena daddy sedikit kasar." Kriss meminta maaf lagi pada Vana. Kali ini dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Vana diam, dia hanya melihat wajah Kriss tanpa berniat menanggapinya.
"Daddy bawa kamu kesini untuk main di pantai. Pengganti karena weekend kemarin daddy tidak bisa main sama kamu. Sekarang kita main bersama, okay?" Kriss tersenyum pada Vana.
Melihat tatapan sayang Kriss dan suara lembutnya membuat pertahanan Vana runtuh. Apalagi effort Kriss untuk mengajaknya bermain di pantai hari ini.
"Tapikan aku hari ini ada kuliah. Dosen aku galak. Bagaimana dengan itu?" Vana mulai luluh.
"Tenang saja. Daddy sudah urus semuanya. Sekarang kamu tidak usah memikirkan kuliah. Fokus saja bersenang-senang bersama daddy." Kriss mengelus rambut Vana dengan lebut.
Vana diam sejenak, "Yakin?" tanya Vana sedikit ragu.
"Apa kau tidak percaya pada daddy?" tanya Kriss dengan senyum miringnya.
Vana tersenyum, lalu Vana memeluk Kriss. Rasanya tadi Vana sedikit keterlaluan. Vana sadar, apa yang dibilang Kriss semua demi kebaikannya, supaya Vana tidak sakit.
"Maaf karena aku sudah buat daddy marah." Vana meminta maaf pada Kriss. Sungguh, Vana tidak bisa berlama-lama marah pada Kriss.
Kriss tersenyum. "Tidak apa-apa, daddy yang salah." Kriss membalas pelukan Vana.
"Terimakasih, Daddy sudah mengajak aku ke pantai. Aku senang bisa berlibur walaupun ini bukan hari libur." Sepertinya Vana sudah tidak marah lagi. Wajahnya sudah tidak ditekuk, sekarang senyuman terukir manis di wajahnya.
Kriss mengangguk, "Tentu saja. Apa yang tidak daddy lakukan untukmu?" Kriss mengelus lembut puncak kepala Vana. Tak lupa mengecup singkat dahi Vana.
"Kalau begitu ayo kita ke pantai sekarang." Kriss melepaskan pelukan Vana, lalu mengajak Vana untuk bergegas ke pantai.
Vana mengangguk, dia langsung berdiri berdiri dengan penuh semangat. "Ayo kita bersenang-senang!" Vana sedikit berteriak, sepertinya dia benar-benar senang.
Kriss tertawa pelang melihat Vana. Kriss menggandeng tangan Vana. Lalu membawa Vana keluar hotel dan langsung menuju pantai yang Kriss maksud.
Vana terlihat bahagia karena Kriss selalu mewujudkan apa yang dia mau. Sejak dulu, Kriss memang selalu memprioritaskan Vana. Vana sangat menyayangi Kriss. Dari umur Vana 16 tahun sampai sekarang 21 tahun, Vana tidak pernah menyukai dan mengagumi lelaki lain. Rasa suka dan kagum Vana sudah habis untuk Kriss. Begitu juga Kriss, dia tidak pernah dekat dengan wanita lain. Bersama Vana sudah membuat hidupnya bahagia dan sempurna.
Bisa dipastikan kalau Vana punya rasa suka dan mengharapkan hubungan yang lebih pada Kriss. Namun Kriss, dia tidak pernah bilang suka pada Vana. Tapi perlakuan Kriss kepada Vana menunjukkan kalau Kriss punya rasa yang sama seperti Vana.