9
“Freddy, aku sudah selesai memilih, kamu mau beli buku apa?” tanya Vivian sambil menoleh pada Freddy yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Di tangannya sudah ada beberapa buah novel terjemahan.
“Oh, iya, ayo kita ke sana,” kata Freddy pelan. Ia menggamit lembut lengan Vivian.
Sebenarnya Vivian merasa jengah sedekat ini dengan pria yang jelas-jelas adalah tunangan sahabatnya, tapi karena sikap Freddy masih tergolong sopan, Vivian akhirnya menurut.
Sambil menenangkan dadanya yang berdebar halus, Vivian mengikuti Freddy.
Freddy meraih dua buah buku tentang kisah inspiratif dan membuat Vivian mengerut kening. Feddy bahkan tidak melihat judul atau membaca sinopsisnya terlebih dulu.
Freddy menoleh dan menatap Vivian. Tiba-tiba saja ia sadar telah bertindak gegabah saat melihat tatapan penuh tanya di mata gadis itu.
“Oh, aku sudah membaca resensinya di internet kemarin,” kata Freddy sambil tersenyum tipis, berusaha bersikap senormal mungkin agar Vivian tidak bingung atau curiga.
“Oh,” Vivian mengangguk pelan.
Freddy mengajak Vivian ke kasir, lalu membayar buku yang mereka beli.
“Terima kasih, Freddy, untuk semuanya. Omong-omong, aku pamit dulu, ya,” kata Vivian pelan begitu mereka sudah keluar dari toko buku.
Seketika Freddy panik. Tubuhnya berubah kaku. Ia
tidak mau kebersamaan mereka secepat ini berlalu.
“Eh, Vi, jika kamu tidak keberatan, aku ingin kamu menemaniku belanja, aku harus membeli beberapa kemeja kerja,” kata Freddy cepat.
Vivian menatap Freddy ragu. Ia sama sekali tidak tahu kemeja seperti apa yang cocok untuk Freddy. Ia baru saja mengenal Freddy. Lagi pula, bukankah Karin yang pantas memilihkan pakaian untuknya?
Vivian memperhatikan penampilan Freddy. Hari ini pria itu tampil begitu santai, mengenakan kemeja lengan panjang tanpa dasi, dengan dua kancing di bagian atas yang sengaja dibuka, membuatnya terlihat seksi dan menawan.
Seketika wajah Vivian memanas menyadari ia sedang memperhatikan penampilan tunangan sahabatnya.
“Bagaimana, Vi?” tanya Freddy, membuyarkan lamunan Vivian.
“Aku...”
“Ayo,” ajak Freddy tanpa menunggu jawaban Vivian. Dari ekspresi gadis itu, ia tahu Vivian keberatan. Sikapnya memang terkesan egois dengan memaksa Vivian. Tapi untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, ia harus egois, bukan? Ia tidak perlu menunggu jawaban Vivian yang pasti adalah menolak.
Akhirnya, meski tidak rela, Vivian terpaksa mengikuti Freddy. Ia berharap ini adalah kali terakhir ia bertemu Freddy tanpa Karin. Sepertinya terlalu lama berdekatan dengan Freddy cukup berbahaya mengingat sejak awal hatinya terus berdebar halus saat berada di dekat pria ini.
***
Samuel mendesis kesal. Sudah hampir satu jam ia menunggu Vivian untuk mengajaknya makan siang. Ia merasa seperti orang yang diserang penyakit cinta akut. Keinginan untuk bertemu Vivian begitu menggebu-gebu, membuatnya tanpa berpikir dua kali langsung meninggalkan kantornya dan mendatangi Vivian.
Tapi orang yang ingin ia temui sama sekali tidak berada di tempat. Ia bahkan sudah meminta nomor ponsel calon istrinya itu pada calon ibu mertuanya, tapi saat dihubungi, Vivian sama sekali tidak meresponsnya.
Sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Vivian menarik perhatian Samuel. Terlihat satpam membukakan pintu pagar dan tak lama kemudian mobil itu masuk dan terparkir manis di garasi.
Vivian keluar dari mobil sambil membawa satu kantongan kecil.
“Dari mana?” tanya Samuel dingin, tidak dapat menyembunyikan nada kesal dalam suaranya.
“Samuel?” ucap Vivian terkejut. “Maaf, sudah lama menunggu?” tanya Vivian sedikit menciut melihat betapa dinginnya wajah Samuel saat ini.
“Aku menunggumu hampir satu jam, dan kutelepon kenapa tidak direspons?” tanya Samuel jengkel.
Vivian terdiam. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. “Maaf, aku tidak tahu itu kamu, aku memang tidak pernah mau menerima panggilan dari nomor asing,” jelas Vivian agar amarah Samuel mereda. Tadi, saat makan siang bersama Freddy, ia memang sempat mendapat beberapa panggilan, tapi karena melihat pemanggilnya adalah nomor asing, ia tidak mengacuhkannya.
Samuel mendesis kesal. “Ya sudah, ayo kita makan siang,” kata Samuel sambil menarik tangan Vivian.
“Samuel, aku...”
“Aku sudah lapar sekali, Vi. Ayo,” ajak Samuel tanpa mau mendengar alasan Vivian sedikit pun.
Akhirnya Vivian mengikuti Samuel dengan wajah cemberut. Ia masih kenyang. Setelah menemani Freddy belanja, ia diajak makan siang. Awalnya ia menolak karena merasa tidak nyaman akan kedekatan mereka, takut bila Karin tahu, kemudian salah paham, tapi Freddy selalu bisa membujuknya dengan segala kelembutannya.
“Aku sudah makan, Sam. Jadi aku hanya akan menemanimu,” kata Vivian pelan saat sudah berada di dalam mobil yang sedang melaju di jalan raya.
“Makan dengan siapa?” tanya Samuel sambil menoleh sekilas pada Vivian dan menatapnya tajam.
“Eh, teman,” jawab Vivian gugup. Ia takut Samuel marah bila tahu ia makan siang bersama pria lain.
“Pria atau wanita?” tanya Samuel lagi, terdengar kurang senang.
“Eh?” Vivian makin gugup. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Sikap Samuel terasa sangat posesif.
Samuel menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, lalu menatap Vivian dalam-dalam.
“Pria atau wanita, Vivian?” tanya Samuel tajam.
Vivian mengkerut. Mulai takut Samuel akan marah bila tahu ia makan siang bersama pria lain, walau sebenarnya pria itu adalah tunangan sahabatnya.
“Wanita,” ujar Vivian berbisik lirih. Ia berbohong agar Samuel tidak marah. Entah mengapa ia sangat takut melihat wajah Samuel yang tegang dan dingin seperti itu.
Ketegangan di wajah Samuel mengendur. Ia kembali menjalankan mobilnya, membuat diam-diam Vivian menarik napas lega.
Kenapa Samuel terkesan begitu posesif?
***
“Aku masuk dulu,” pamit Vivian pada Samuel yang berdiri di dekatnya di depan pintu rumah. Mereka baru saja pulang dari restoran.
Samuel mengangguk pelan. “Nanti malam aku ke sini, ingin makan malam di luar?” tanya Samuel sambil menatap mata Vivian.
Dada Vivian kembali berdebar tidak menentu. Entah mengapa, tatapan mata Samuel selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
Vivian menggeleng pelan tanda menolak ajakan Samuel.
“Ya sudah, aku pulang dulu.” Samuel menyentuh pelan bahu Vivian, lalu menunduk dan mengecup lembut sudut bibirnya.
Vivian yang mendapat perlakuan tak terduga seperti itu terpaku. Matanya membesar menatap Samuel. Wangi tubuh Samuel menyihirnya membuat sekujur tubuhnya berdesir. Ada dorongan yang sangat kuat untuk merangkul leher pria itu, tapi sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak melakukannya.
Samuel menarik diri dan berlalu, meninggalkan Vivian dengan hati bergetar halus.
Vivian menatap sosok Samuel yang menghilang di balik mobilnya. Tidak lama kemudian, mobil itu bergerak dan berlalu. Tanpa sadar Vivian meraba pelan bibirnya. Ciuman kedua. Dipejamkannya mata untuk meresapi rasa manis kecupan Samuel. Wajah tampan itu mulai memenuhi benak dan khayalannya. Vivian mendesah frustrasi. Apakah ini petanda ia mulai tertarik pada Samuel?
Pria itu terlalu memesona untuk membuat wanita tidak tertarik. Dan ia hanyalah wanita biasa yang bisa lumpuh dalam pesona seorang Samuel.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink