8

1057 Kata
8 Vivian menyandarkan tubuh di balik pintu kamarnya. Wajahnya masih terasa panas menahan malu telah dipergoki oleh Andros. Ia meraba pelan bibirnya. Bekas ciuman Samuel masih terasa begitu kuat melekat di bibir dan hatinya. Ini ciuman pertamanya dan berakhir dengan dipergoki oleh kakaknya. Terdengar memalukan bahwa wanita muda seumurannya belum pernah berciuman. Ia memang sama sekali belum pernah berpacaran. Sewaktu di Korea, banyak teman-teman pria yang mengejarnya, tapi ia tidak pernah tertarik. Bahkan ada satu teman kampusnya yang sangat tampan dan jelas-jelas anak orang kaya, begitu menginginkannya. Mengejar dan selalu mengikuti ke manapun ia pergi. Tapi hatinya tak pernah terbuka. Ia tidak pernah bisa tertarik pada pria-pria dari negeri ginseng itu. Vivian memejamkan mata dan menurunkan tangannya dari bibir. Ia menempelkan tangan di dadanya yang bergelombang. Ia tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Ia malu telah dipergoki, tapi ia juga senang merasakan bibir Samuel yang terasa begitu sensual dan menggoda. Dengan langkah lemah, Vivian menuju ranjang dan berbaring. Seluruh energinya seperti habis terkuras. Bayangan Samuel bermain di benaknya dan membuatnya mulai gelisah. Apa yang sedang terjadi padanya? Apa ini artinya Cupid mulai menancapkan panah asmara ke dadanya? Vivian memejamkan matanya. Meresapi perasaan baru yang sedang menyelimuti hatinya. Samuel... Ia mendesahkan nama itu. Tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibirnya. *** Freddy menatap adiknya yang baru saja memarkirkan mobil sport-nya di garasi. Ia yang sedang duduk santai di beranda rumah, mengerut kening saat melihat mata yang selalu dingin itu kini bersinar hangat. “Habis kencan?” tanya Freddy tanpa basa-basi pada Samuel yang langsung duduk di kursi tidak jauh darinya. Samuel mengangguk dan meraih buah anggur yang terhidang di atas meja kecil di sampingnya. “Sepertinya kencannya sukses,” tebak Freddy lagi. Ia turut meraih buah anggur dan memakannya. Samuel tersenyum tipis. “Dia menyenangkan?” tanya Freddy penasaran saat Samuel tidak menanggapi kalimatnya. Samuel menatap Freddy lalu tersenyum tipis. “Dia menggoda,” jawab Samuel singkat. Freddy mengangkat alis. “Apa ini artinya gunung salju telah runtuh?” Samuel tergelak kecil membuat Freddy makin penasaran. Kapan selama empat tahun terakhir ini Samuel terlihat seceria ini? Bahkan untuk mendengar gelak tawanya saja sangat jarang. “Dia manis,” gumam Samuel dengan mata menerawang. “Wow,” Freddy tersenyum kecil, tahu bahwa adiknya yang telah lama membeku ini, kini telah jatuh cinta. “Rasa bibirnya?” goda Freddy lagi. Tanpa disangka wajah Samuel sedikit memerah. “Dahsyat! Secepat itu kalian sudah berciuman?” tanya Freddy tak percaya. Seingatnya adiknya baru seminggu ini diperkenalkan dengan wanita itu, yang entah siapa namanya, Freddy juga tidak tahu. Dan secepat ini mereka telah berciuman. Apa ini bukan kejutan namanya? Sepertinya perjodohan orangtua mereka kali ini berhasil. “Kami kan normal,” sahut Samuel ringan. Freddy mencibir. “Normal setelah empat tahun membeku.” Samuel tergelak. Ya. Normal setelah empat tahun membeku. Bagaimana mungkin rasa itu bisa hadir secepat ini? Ia bahkan baru mengenal Vivian satu minggu ini, tapi ia sudah sangat terpesona. Ia merasa rindu bila sehari saja mereka tidak bertemu. Itulah yang membuatnya ke rumah Vivian dan mengajaknya makan malam. Walau makan malamnya tidak menyenangkan, tapi akhir dari malam ini cukup indah. Sebuah ciuman akan mengantarnya pada mimpi indah. *** Tergesa-gesa Freddy menghampiri sosok yang sedang ia buntuti. Sosok itu sedang melangkah masuk ke dalam sebuah toko buku di sebuah pusat perbelanjaan. “Vivian,” panggil Freddy, bersikap seolah pertemuan mereka ini adalah kebetulan semata. Padahal, ia telah menunggu di depan rumah Vivian hampir dua jam, meninggalkan pekerjaannya demi bisa melihat gadis itu. Dan perjuangannya berbuah manis. Vivian keluar dari rumahnya setelah Freddy hampir putus asa menunggu. Dan di sinilah mereka sekarang. Freddy membuntutinya hingga ke pusat perbelanjaan ini. Sungguh ia tidak menyangka, Vivian bisa membuatnya kehilangan akal sehat seperti ini. Hari ini ia telah menjadi penguntit. “Freddy?” tanya Vivian tak percaya. Dadanya bergetar halus saat pria itu tersenyum hangat padanya. “Wah, kebetulan sekali lagi, ya?” kata Freddy sambil tersenyum lebar. Wajah Vivian seketika merona. “Cari buku?” tanya Freddy lagi, berusaha berbasa-basi dan terlihat normal. Vivian mengangguk. “Aku sedang kebosanan dan Karin sepertinya sibuk sekali di kantor untuk kuajak jalan-jalan,” kata Vivian sambil berbalik dan berjalan menuju rak-rak yang memajang buku-buku. Freddy mengikuti Vivian dan mengulum senyum. Karin memang sangat sibuk mengingat ia menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan milik ayahnya. Dan pastinya ini menjadi keberuntungan bagi Freddy, ia bisa lebih bebas mendekati Vivian. “Aku juga sedang mencari buku, aku akan menemanimu,” kata Freddy lembut. Sesaat tubuh Vivian mengejang, merasa keberatan dengan ide Freddy. Bagaimana bila nanti Karin salah paham? Tidak ia mungkiri, ia senang bisa bertemu Freddy di sini. Dadanya berdebar halus setiap ia berdekatan dengan pria ini. Getar yang ia sendiri tidak tahu karena apa dan apa artinya. Getar ini berbeda dengan yang ia rasakan pada Samuel. Bila dengan Samuel ia merasakan sebuah getar yang luar biasa dahsyat, maka dengan Freddy ia merasakan getar yang halus dan lembut. “Karin tidak mungkin marah,” sela Freddy cepat, mengerti akan keberatan Vivian yang tak terucap. “Ayo,” ajaknya lembut. Akhirnya Vivian hanya mengangguk setuju dan menurut. “Jadi, kamu suka buku apa?” tanya Freddy sambil mengikuti Vivian yang sedang berjalan ke sebuah rak. “Seperti wanita pada umumnya, aku suka novel roman,” jawab Vivian pelan dengan senyum malu. Freddy tersenyum tipis. Bisa dipastikan Vivian tipikal wanita yang romantis. “Bagaimana denganmu?” Vivian balik bertanya. “Apa yang kamu suka?” “Aku tidak suka membaca, Vi,” jawab Freddy ringan. Vivian mengerut kening. Freddy tersadar ia telah keceplosan. Bila tidak suka membaca, untuk apa ia ada di toko buku ini? “Eh, maksudku, aku tidak suka membaca novel,” sela Freddy cepat. “Aku suka membaca buku bisnis dan buku-buku tentang kisah inspiratif,” lanjut Freddy lagi sambil tersenyum agar lebih meyakinkan Vivian. Kerutan di kening Vivian mengendur. Ia mengangguk pelan tanda mengerti. “Aku tidak apa-apa sendirian bila kamu mau mencari buku yang kamu ingini, Fred, kamu pasti bosan melihatku memilih buku-buku ini,” kata Vivian sambil menunjuk novel-novel roman terjemahan yang tersusun rapi di rak di depannya. “Aku tidak apa-apa,” jawab Freddy cepat. Tentu saja ia akan menemani Vivian sebosan apa pun dirinya. Bukankah tujuannya menguntit Vivian adalah untuk bisa bertemu dan berada di dekatnya? Rugi sekali bila hanya karena bosan, ia melepas kesempatan ini. *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN