7

1183 Kata
7 Vivian melangkah menuju mobil Samuel dengan wajah cemberut. Ia baru saja selesai berganti pakaian. Sedikit kesal dengan sikap Samuel yang menganggap pakaian yang ia kenakan cukup seksi untuk dikenakan di muka umum. Ia tidak merasa jengah atau tidak sopan mengenakan pakaian seperti itu, tapi rupanya tidak dengan Samuel. Calon suaminya itu punya pendapat berbeda tentang fashion. Sekarang ia sudah menggantikan pakaiannya dengan celana jeans pensil berwarna putih dan kaos tanpa lengan berwarna biru, yang juga berbahan jeans. Samuel tersenyum tipis ke arahnya dan mengangguk kecil menandakan ia cukup setuju dengan pilihan pakaiannya kali ini. Vivian masuk ke dalam mobil. Tidak lama kemudian mobil meluncur meninggalkan rumah orangtuanya. “Mau makan di mana?” tanya Samuel datar. Vivian melirik ke arah Samuel sejenak, lalu kembali menatap jalan raya di depan. Sekarang, ia sudah tidak terlalu gugup lagi bila bersama pria ini, meski tidak ia mungkiri, jantungnya masih setia berdegup kencang. “Terserah saja,” jawab Vivian pelan. Samuel melirik Vivian dan mengerut kening. Apa Vivian marah padanya? Samuel terdiam. Tidak menanggapi jawaban Vivian. Mobilnya melaju pelan membelah jalan raya. Sepuluh menit kemudian, mobilnya sudah terparkir rapi di sebuah restoran kelas atas.  Sebelum Vivian sempat membuka pintu mobil, Samuel telah melakukannya. Vivian menatap Samuel dan tersenyum tipis. Diam-diam tersanjung oleh sikap Samuel. Samuel mengajak Vivian masuk ke dalam gedung restoran. Tangannya merangkul lembut pinggang Vivian membuat Vivian sedikit tidak nyaman. Bukan karena Samuel terkesan tidak sopan. Bukan. Tapi sikap Samuel ini sukses membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Mereka seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Samuel memilih sebuah meja di sudut ruangan yang tertata indah. Lalu menarik kursi untuk Vivian. “Vivian?” Panggilan sebuah suara membatalkan niat Vivian yang baru saja akan duduk. Ia menoleh dan mengerut kening saat mendapati Gavin tersenyum lebar dan mendekatinya. “Gavin?” Senyum Gavin makin melebar. “Mau makan malam? Mau bergabung denganku?” tanya Gavin senang. Vivian tersenyum kaku. Apa Gavin tidak bisa melihat Samuel yang sedang berdiri di sisinya? Samuel berdehem dengan muka memerah. Napasnya seketika memburu menahan amarah yang tiba-tiba saja membakarnya tanpa ampun. “Maaf, Sobat, aku tidak mungkin mengizinkan calon istriku makan malam dengan pria lain,” tukas Samuel dengan nada dingin. Pria ini harus diberi pelajaran. Dia harus tahu bahwa Vivian adalah miliknya. Gavin tersadar. Ia menatap Samuel sejenak, lalu kembali menatap Vivian. Sinar kecewa terlihat jelas di matanya. Vivian hanya tersenyum kaku. Entah mengapa ada desir-desir yang tak bisa ia artikan mengalir di tubuhnya saat mendengar kalimat posesif Samuel. “Maaf,” ucap Gavin kaku pada Samuel. Samuel menatap Gavin dengan tatapan dingin. Tidak suka melihat pria tampan yang sepertinya seumuran dengannya ini berniat menggoda Vivian “Maaf...” bisik Vivian pelan. Senyum Gavin semakin kaku. “Tidak apa-apa. Nanti aku hubungi ya,” kata Gavin pelan. Lalu tanpa menoleh pada Samuel, ia berlalu. “Siapa dia?” tanya Samuel sambil duduk di kursi yang telah mereka pilih. “Eh?” Vivian tidak siap ditanya secara tiba-tiba oleh Samuel. Samuel mengangkat alis menandakan masih menunggu jawaban Vivian. “Hm, teman,” jawab Vivian singkat. Alis Samuel terangkat semakin tinggi, wajahnya berubah sangat dingin. Vivian menarik napas berat. Mengapa kesannya Samuel seperti sedang cemburu? Rasanya tidak mungkin cinta dan cemburu mewarnai hubungan mereka dalam waktu sesingkat ini. “Teman Andros,” jawab Vivian akhirnya. Gavin memang teman Andros, bukan? Dan ia tidak bohong. “Dia tertarik padamu,” gumam Samuel kurang senang. Vivian duduk dan mengangkat bahu acuh tak acuh. Apabila hal tersebut benar, itu adalah hak Gavin. Ia tidak bisa menghalangi orang lain untuk tertarik padanya. Samuel mendesis tidak puas melihat reaksi Vivian. “Vi...” “Kita ke sini untuk makan malam atau membicarakan Gavin, Sam?” tanya Vivian mulai bosan. Ia bukan tidak suka dengan sikap posesif Samuel. Tapi membicarakan Gavin yang jelas-jelas hanya teman baginya, pastinya membuang-buang waktu saja. Samuel mengertakkan gigi, tanda tidak suka ditegur oleh Vivian. Akhirnya suasana kaku dan dingin menyelimuti acara makan malam mereka. *** Samuel mengantar Vivian hingga ke depan pintu rumahnya. Makan malam yang tidak menyenangkan baru saja mereka lewati. Bagaimana tidak, sepanjang makan malam, Samuel merasa dadanya sesak. Ia dapat merasakan tatapan mata pria yang bernama Gavin itu terus-menerus menatap Vivian. Jarak meja mereka dan Gavin tidaklah jauh. Hanya dibatasi beberapa buah meja yang masih kosong dan membuat Gavin makin mudah untuk memperhatikan Vivian.  Samuel tidak senang. Ia merasa terancam mendapati ada pria lain yang juga menginginkan Vivian yang jelas-jelas adalah calon istrinya. Apalagi sikap Vivian yang acuh tak acuh dengan sikap posesif yang ia tunjukkan makin membuatnya frustrasi. Tidak tahukah Vivian bahwa ia tidak suka miliknya menjadi pusat perhatian orang lain? Ia ingin hanya ialah satu-satunya pria yang ada di hidup Vivian. Ini memang terdengar terlalu cepat. Hubungan mereka baru berjalan tidak lama dan Ia sudah terdengar seperti pria pencemburu buta. Tapi kenyataannya memang ia sangat cemburu dan tidak suka melihat pria lain mengejar calon istrinya, calon istri yang awalnya ditolak mentah-mentah olehnya, yang entah bagaimana secepat ini telah mencuri hatinya. Vivian telah membuka pintu hatinya yang sudah lama terkunci rapat. Vivian juga membuatnya tersiksa oleh rasa cemburu yang dengan dahsyat membakar hatinya. Rasa posesif tiba-tiba saja mendominasi akal sehatnya. “Selamat malam, terima kasih,” ucap Vivian kaku. Jelas masih terlihat gusar dengan insiden kecil di restoran tadi. Samuel mendesah frustrasi. Tentu saja ia tidak mau malam ini berakhir seperti ini. Setelah kemarin mereka begitu dekat, bersenang-senang, menonton film dan lain-lain, ia tidak mau malam ini mengubah kesenangan dan kedekatan itu. Ia ingin pulang dengan membawa kemanisan dan kenangan indah kebersamaan mereka yang akan mengantarnya pada mimpi indah malam ini. “Vi...” panggil Samuel pelan saat Vivian mulai menyentuh gagang pintu rumah. Vivian menoleh dan menatap Samuel tanpa bersuara. Samuel meraih tangan Vivian, lalu menunduk untuk mengecup bibirnya. Saat bibirnya mulai menyentuh bibir Vivian yang terasa lembut, hati Samuel bergetar. Seketika darahnya berdesir hebat membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Ini ciuman pertamanya setelah empat tahun membeku. Bibir Vivian terasa kaku dalam sentuhannya. Samuel meraih tubuh Vivian dan makin memperdalam ciumannya. Ia mulai mengulum bibir Vivian dengan lembut, sedangkan tangannya mengelus lengan Vivian. Vivian tidak menolak tapi terkesan sangat kaku, membuat Samuel sedikit heran dan bertanya-tanya dalam hati, Vivian sedang gugup atau memang tidak berpengalaman sama sekali? Pintu rumah yang terbuka secara tiba-tiba membuat Samuel dan Vivian tersentak. “Wow.” Itu suara Andros. Samuel segera melepas ciumannya. Ia menarik diri dengan wajah yang terasa panas, sedangkan Vivian berdiri kaku dengan wajah memerah. Andros tersenyum nakal. “Carilah tempat yang gelap, Kawan,” goda Andros lagi sambil menatap Samuel dan Vivian silih berganti. Wajah Samuel makin memanas. Malu dipergoki sedang mencium Vivian di depan pintu rumah. Wajah Vivian merah padam. Tanpa menatap Samuel dan Andros, ia masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa. Andros tergelak dan membuat Samuel makin merasa malu. “Ehm, aku pamit dulu,” kata Samuel kaku dengan wajah merah padam. Andros masih tertawa kecil dan mengangguk. Samuel berjalan meninggalkan rumah Vivian tanpa menoleh lagi. Rasanya sungguh malu dipergoki saat sedang berciuman. Meski begitu, rasa manis bibir Vivian masih melekat kuat di bibir dan hatinya dan membuatnya tersenyum tipis. *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN