2

1112 Kata
2 Dengan tangan yang terasa gemetar dan dingin, Vivian menyambut uluran tangan Samuel. Hanya beberapa detik, detik berikutnya mereka sama-sama melepasnya. Wajah Vivian terasa memanas. Entah mengapa, ada getar yang tak bisa ia ungkapkan menyentuh hatinya saat tangan mereka bersentuhan. Getar yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Vivian duduk di dekat kakaknya dengan kaki yang terasa lemas. Ia hanya bisa tersenyum kaku saat semua tersenyum ceria, kecuali Samuel, tentu saja. Pria tampan berambut cokelat gelap itu masih bersikap dingin padanya, seolah ialah penyebab semua perjodohan ini. Andai saja Samuel tahu, ia sendiri juga dipaksa oleh kedua orangtuanya. *** “Jadi, bagaimana acara pertemuan dengan calon mempelaimu?” goda Freddy sambil menyulut rokoknya. Ia dan Samuel sedang berdiri di balkon lantai dua, menikmati embusan angin malam yang bertiup sepoi-sepoi. Sejujurnya Freddy sangat penasaran dengan calon istri adiknya itu. Seperti apakah rupanya? Cantik dan kaya, itu sudah pasti. Tapi, apakah bisa menggetarkan hati? Freddy mendesis menyesal. Harusnya ia bisa turut berkenalan dengan calon istri Samuel andai saja tadi ia tidak harus menemani Karin berbelanja. Samuel tersenyum kecut, juga menyulut rokok dan mengisapnya dalam-dalam. “Dia cantik,” gumam Samuel sambil mengembus asap rokoknya dan menatap langit malam yang bertabur bintang. “Berita bagus!” Samuel terdiam dan kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. “Kamu tidak senang?” tanya Freddy saat melihat wajah adiknya yang muram. “Apakah Kakak senang saat dulu dijodohkan dengan Karin?” balas Samuel jengkel. Freddy tergelak. Senang? Tentu saja tidak. Hanya saja ia tidak membebani dirinya seperti Samuel. Waktu itu ia hanya menerima dan berusaha menjalaninya dengan baik. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Freddy sambil kembali mengisap rokoknya. “Apa lagi yang bisa kulakukan selain menerima? Minimal, dia tidak jelek.” Freddy kembali tergelak. Ia tahu pasti, adiknya pria dingin yang alergi pada wanita, dan penyebabnya tentu saja patah hati. “Ya, jalani saja apa adanya. Walau tidak ada cinta, setidaknya dia masih bisa dibanggakan di depan umum,” kata Freddy berusaha mencairkan ketegangan adiknya. Samuel tersenyum kecut. Sebenarnya ada getar halus di hatinya saat ia berjabat tangan dengan Vivian, sebuah getar yang telah empat tahun ini mati. “Bukankah begitu, adikku?” tanya Freddy sambil masih tertawa kecil melihat kebisuan Samuel. Samuel mengangguk ragu. Mungkin kakaknya benar. Walaupun tidak ada cinta, ralat, belum ada cinta, tapi Vivian cukup cantik untuk dipamerkan pada teman-temannya. Tidak memiliki pasangan pada usia dua puluh enam tahun dan diledeki teman-teman sebagai lajang abadi, tentu saja membuatnya gusar. Bukannya ia tidak laku, ia pria sukses yang telah memiliki perusahaan sendiri yang sedang naik daun. Banyak wanita menginginkannya karena ia tampan dan kaya. Hanya saja, luka empat tahun lalu masih membekas dan membuatnya menutup diri dari wanita manapun. Sekarang, atas paksaan orangtuanya ia harus menjalin sebuah hubungan. Hubungan yang ia tahu pasti akan berlabuh di mana. Tentu saja di pelaminan. Ia yakin orangtuanya sudah menyiapkan segalanya dengan sempurna. Tinggal menunggu waktu, dan semuanya akan terjadi. *** “Dia tampan.” Vivian yang sedang berdiri di balkon kamarnya dan menatap langit malam, tersentak. Ia menoleh dan mendapati Andros sudah berdiri di belakangnya. “Ya, tampan dan dingin,” gumam Vivian sambil kembali membalikkan badan dan mendongak menatap langit malam bertabur bintang. “Mungkin dingin hanya karena belum dihangatkan olehmu,” canda Andros dengan tawa kecil. Wajah Vivian merona. Dengan gemas ia memukul kecil lengan kakaknya yang sudah berdiri di sampingnya. “Semua butuh waktu,” kata Andros lagi. Vivian menatap kakaknya penuh tanya. “Jalani saja dulu apa adanya, biarlah waktu yang menjawab semuanya.” Andros tersenyum tipis pada Vivian. Vivian mengerut kening untuk mencerna kalimat kakaknya, lalu kembali cemberut. “Kenapa Papi dan Mami menjodohkan Vivi ya, Kak?” tanya Vivian pelan. Sebenarnya cenderung bertanya pada diri sendiri, meratapi apa yang sedang menimpanya. Andros mengangkat bahu. Angin malam berembus lembut membelai mereka. “Kita sebagai anak hanya bisa menurut.” Vivian menarik napas panjang dan menghelanya pelan. Benarkah sebagai anak mereka hanya harus menurut? Bagaimana dengan perasaannya? Melihat betapa dinginnya Samuel, Vivian tahu, Samuel sama seperti dirinya, dipaksa dalam perjodohan ini. Apakah Samuel sudah memiliki kekasih? Pemikiran seperti itu membuat Vivian tidak nyaman. Ia tidak mungkin bisa menjalin hubungan dengan pria yang sudah memiliki kekasih, bukan? *** Freddy mengulum senyum menatap Karin dan Vivian yang sedang mengobrol. Mereka sedang makan siang di sebuah restoran yang sangat terkenal dengan ikan bakar sebagai menu andalannya. “Jadi kamu dijodohkan, Vi?” tanya Karin tak percaya sambil menyesap jus wortel kesukaannya. Mereka baru saja selesai makan siang. Wajah Vivian merona. Sekilas ia melirik Freddy. Freddy menatap Vivian dengan d**a berdebar tidak nyaman. Jadi, wanita yang membuat hatinya bergetar ini juga telah dijodohkan? Perasaan kecewa seketika menyelimuti hatinya. Anggukan Vivian membuat semua harapan Freddy berterbangan seperti debu tertiup angin. Mungkin tidak pantas ia menaruh harapan pada Vivian saat ia sendiri sudah bertunangan dengan Karin, tapi urusan hati siapa yang bisa mengatur? Ini kali kedua ia bertemu Vivian, dan rasa di hatinya tumbuh semakin subur. Ia semakin tertarik. “Jadi, rancananya kapan menikah?” tanya Karin dengan senyum lebar. Ternyata yang dijodohkan bukan hanya dirinya, sahabatnya juga. Apa zaman sudah berubah kembali seperti dulu? Sepertinya jodoh-jodohan kembali menjadi trend di kalangan mereka saat ini. Bagi Karin, acara perjodohan ini membawa keberuntungan baginya. Apa lagi yang lebih menyenangkan selain memiliki calon suami yang kaya, tampan dan baik seperti Freddy? Vivian terbatuk menandakan ia tidak siap dengan pertanyaan Karin. Wajahnya seketika memerah. “Belumlah, Rin. Masih terlalu dini membicarakan pernikahan,” jawab Vivian sambil menyesap jus sirsak kesukaannya. Ia melirik Freddy yang entah mengapa, wajahnya terlihat muram. Karin mengulum senyum. “Siapa tahu kan kita bisa menikah dan bulan madu sama-sama.” Wajah Vivian makin merona. Freddy mengumpat dalam hati, tidak senang mendengar kalimat Karin. Ia berharap Vivian tidak akan pernah menikah dengan pria manapun. “Dia tampan?” tanya Karin lagi sambil memainkan sedotan di gelasnya. Freddy mengernyit tidak suka. Entah mengapa, setitik rasa cemburu mulai menodai hatinya, ia tidak suka mendengar apa pun tentang calon suami Vivian. Vivian hanya mengangguk pelan tanpa bersuara. Freddy mengamati Vivian dengan hati resah. Seperti tahu sedang diamati olehnya, Vivian mengangkat wajah dan menatapnya. Seketika mata mereka beradu dan membuat darah Freddy berdesir. Ia tahu rasa ini, rasa yang tak pernah lagi hadir setelah ia putus dengan kekasihnya beberapa tahun lalu. Di usianya yang sudah mencapai dua puluh sembilan tahun, ia sangat mengerti arti rasa ini. Secepat mata mereka beradu, secepat itu juga Vivian memalingkan tatapannya. “Wah, itu bonus. Seperti aku juga, dapat bonus ganda,” kata Karin sambil mengedip sebelah matanya dan tersenyum manis pada Freddy. Freddy hanya tersenyum kaku, sepertinya Karin sangat senang bisa bertunangan dengannya. Tapi yang ia rasakan saat ini justru sebaliknya. *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN