3
Vivian melambaikan tangannya pada Karin. Tidak lama kemudian mobil sport Freddy berlalu.
Dengan langkah lesu, Vivian menyusuri halaman rumah orangtuanya. Sepanjang siang ia harus bekerja keras untuk meredakan debar halus yang menyapa hatinya. Entah mengapa, Freddy begitu memesona, menyihirnya dengan tatapan matanya yang lembut dan hangat.
Apa arti debar ini? Semoga saja debar ini tidak berkembang lebih jauh, karena ia tidak mau mengkhianati sahabatnya sendiri.
Baru saja kaki Vivian menyentuh lantai teras, sebuah mobil sport yang tak kalah mewah, berhenti di depan rumah orangtuanya. Terlihat satpam membukakan pintu pagar, lalu mobil itu masuk dengan mulus ke halaman rumah.
Dada Vivian kembali berdebar saat melihat sosok yang keluar dari mobil itu. Debar yang berbeda dengan yang ia rasakan pada Freddy. Bila pada Freddy ia merasakan sebuah debar yang halus dan nyaman, maka pada pria ini ia merasakan debar yang tidak menentu. Debar yang membuat seluruh darahnya berdesir dan jantungnya berdegup berkali-kali lebih cepat dari biasanya.
Pria ini begitu dingin tapi sangat memesona. Vivian yakin, tidak ada wanita yang tidak terpesona olehnya. Di depan pria ini, ia selalu merasa gugup. Tatapannya yang dingin menusuk, membuat Vivian tak berkutik.
“Apakah aku mengganggumu?” tanya Samuel datar.
Vivian terpaku. Ia menatap Samuel dengan bibir setengah terbuka, seolah Samuel adalah mimpinya di siang bolong.
“Apa aku begitu memesona hingga kamu harus terpaku seperti itu?”
Vivian tersadar. Seketika wajahnya terasa memanas menahan malu.
“Eh, iya... eh, maksudku tidak,” jawab Vivian gugup. Wajahnya terasa makin memanas. Debar di dadanya juga semakin menjadi-jadi.
Apa yang salah dengan dirinya? Bagaimana mungkin hatinya bisa berdebar pada dua pria berbeda di hari yang sama?
“Ehm!” Samuel berdehem untuk mencairkan suasana yang kaku, ia berusaha tidak menanggapi kegugupan Vivian. “Tidak ingin menyuruhku masuk dan duduk? Minimal di teras,” kata Samuel sambil melirik kursi santai yang ada di teras rumah.
Wajah Vivian merona. Bagaimana bisa pria ini membuatnya salah tingkah seperti gadis remaja?
“Ah ya, maaf, silakan duduk,” kata Vivian akhirnya. “Aku akan mengambilkan minuman untukmu,” kata Vivian sambil beranjak meninggalkan Samuel.
“Tidak perlu,” sahut Samuel cepat. “Sebenarnya jika kamu tidak ada acara, aku ingin mengajakmu jalan,” lanjutnya lagi, masih dengan nada yang sama dinginnya.
Vivian berbalik dan menatap ragu pada Samuel. Ia memang tidak ada acara apa pun hari ini, tapi berduaan dengan Samuel bukanlah pilihan bijak. Ia takut sepanjang siang ini ia akan menunjukkan sikap bodohnya di depan Samuel dengan terus melamun dan bersikap tidak menentu hanya karena sibuk menenangkan debar di d**a.
“Diam berarti iya, aku ingin bertemu orangtuamu dan berpamitan.”
Vivian terpaku melihat sikap Samuel. Tidak menyangka pria muda ini begitu dominan, mengontrol semuanya sesukanya.
***
Samuel melirik sekilas pada Vivian yang duduk diam di sampingnya. Mereka sedang berada di dalam mobil yang melaju menuju sebuah pantai yang sangat indah.
Samuel tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Tiba-tiba saja, setelah makan siang dan bergelut dengan pekerjaan di kantor, bayangan Vivian muncul begitu saja di benaknya. Dan sebuah dorongan yang sangat kuat datang menguasai hati dan akalnya saat itu juga.
Ia tidak tahu penyebabnya apa, tapi yang jelas, dorongan itu membuatnya meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan melaju menuju rumah orangtua Vivian.
Dan keberuntungan berpihak padanya. Saat ia tiba di rumah keluarga Henry, Vivian terlihat sedang melangkah menuju rumah, mungkin dia baru pulang jalan-jalan.
Dan di sinilah mereka sekarang, meski suasana di antara mereka terasa masih kaku, tidak dimungkiri, salju yang selama ini menyelimuti hati Samuel, perlahan mulai mencair. Entah mengapa, melihat wajah Vivian yang cantik terus-menerus merona, membuatnya makin terpesona. Vivian begitu alami walau dandanannya persis artis Korea.
Samuel membelokkan mobilnya memasuki sebuah pantai berpasir putih dengan air lautnya yang terlihat sangat jernih.
Ia ingin mengenal Vivian lebih dalam, ingin meyakinkan dirinya, bahwa getar-getar yang ia rasakan ini bukanlah khayalan semata.
Dan ia mendapatkan jawabannya. Hatinya masih bergetar halus saat kembali bertemu dengan calon istrinya ini. Apakah ini artinya hatinya sudah kembali siap untuk menyulam benang-benang asmara?
***
Vivian berdiri kaku di bawah sebatang pohon kelapa yang dedaunannya melambai-lambai tertiup angin laut. Samuel membawanya ke sebuah pantai yang sangat indah. Pantai dengan pasir putih dan air yang terlihat berwarna biru jernih. Samuel berdiri di dekatnya dan menatap laut lepas.
Vivian mengerut kening. “Mengapa membawaku ke sini?” tanya Vivian heran. Sepertinya ini kalimat pertamanya setelah sepanjang jalan ia hanya diam membisu karena sibuk menenangkan debar di d**a.
Samuel menatap Vivian sejenak, lalu kembali menatap laut. Pantai ini sedang sepi pengunjung mengingat sekarang adalah hari kerja. “Aku sedang tidak sibuk di kantor, jadi kurasa menemuimu bukanlah pilihan yang buruk.”
Vivian terdiam dan kembali menatap laut. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh pantai. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat satu batang pohon kelapa yang condong hampir menjejak pantai. Sepertinya, itu tempat yang nyaman untuk bersantai karena cukup teduh oleh pohon-pohon di sekitarnya.
Tanpa memberitahu Samuel, Vivian melangkahkan kaki menuju pohon kelapa itu.
Samuel mengikuti Vivian.
Vivian duduk di pohon kelapa yang condong itu dan meresapi embusan angin laut yang membelai wajahnya. Rambut panjangnya yang ikal tergerai tertiup angin.
“Mengapa kamu tidak menolak perjodohan ini?” tanya Vivian tanpa menoleh pada Samuel yang juga sudah duduk di sampingnya. Ia berusaha bersikap normal dan menutupi kegugupannya.
Samuel mengangkat bahu. “Aku tidak punya pilihan.”
Vivian terdiam dan hanya menatap debur ombak yang menghempas pantai.
“Dan kenapa kamu juga tidak menolak?” Samuel balik bertanya.
Vivian menoleh. Seketika dadanya berdebar saat matanya beradu dengan mata yang dingin itu. Secepat kilat Vivian memalingkan wajahnya dan kembali menatap laut.
“Sama sepertimu, aku juga tidak punya pilihan,” kata Vivian sambil mengangkat bahu.
Samuel di sampingnya hanya diam.
Vivian menarik napas panjang dan menghelanya dengan pelan. Menatap air laut yang berombak tertiup angin.
Bila obrolan mereka kaku seperti ini, bisakah mereka menjadi sepasang kekasih?
***
Samuel melangkah masuk ke dalam kamar kakaknya, lalu duduk di sofa di mana Freddy terlihat sedang duduk santai menonton TV dengan segelas kopi dan sepiring kacang rebus.
“Bagaimana kencan pertamanya? Sukses?” tanya Freddy tanpa menoleh pada adiknya.
Samuel meraih beberapa biji kacang rebus, mengupasnya dengan cekatan lalu memasukkannya ke dalam mulut.
“Ya, cukup sukses untuk taraf permulaan, ternyata dia juga dipaksa oleh orangtuanya,” jawab Samuel sambil mengunyah kacang. Tentu saja dipaksa. Tidak mungkin wanita secantik Vivian mau begitu saja dijodohkan bila tidak dipaksa. Pastinya wanita secantik dia telah memiliki kekasih.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink