4

1237 Kata
4 Samuel mengernyit tidak suka saat menyadari ada rasa tidak nyaman menyentuh hatinya ketika membayangkan Vivian bersama kekasihnya. “Sepertinya dia gadis yang baik,” kata Samuel lagi saat Freddy hanya diam membisu tidak menanggapinya. Freddy mengerut kening, lalu tersenyum lebar. “Sebuah keberuntungan lagi,” goda Freddy. Samuel tersenyum tipis. Ya, sebuah keberuntungan. Cantik dan baik adalah paket lengkap, bukan? Hanya saja, seperti apa hubungan mereka ke depannya nanti? “Kak Freddy kapan menikah dengan Karin?” tanya Samuel sambil kembali mengambil kacang rebus. Freddy mengangkat bahu. “Sejujurnya kakak sama sekali tidak merasakan apa pun pada Karin, rasanya datar,” ucap Freddy pelan. Ia menoleh menatap adiknya. “Tidak ada cinta?” tanya Samuel balas menatap kakaknya. Freddy menggeleng tak acuh. Ia turut mengambil kacang rebus dan mengupasnya. “Bila memang tidak bisa diteruskan, mungkin ada baiknya katakan sejujurnya pada Karin dan Papi,” kata Samuel. Ia mengunyah kacang dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana nanti hubungannya dan Vivian? Akankah mereka menemukan cinta dalam perjodohan ini? Samuel menghela napas panjang. Sepertinya sejak perjodohan ini dimulai, ia jadi sering bertanya pada sendiri, bertanya sesuatu yang hanya waktulah yang bisa menjawabnya. Benarkah hubungannya dan Vivian akan berakhir di pelaminan seperti keinginan orangtua mereka? “Kasihan Karin, dia memujaku,” gumam Freddy lesu. “Tapi menikah tidak bisa hanya berlandaskan rasa kasihan, Kak, itu akan menyakitkan,” kata Samuel dengan mata menerawang, membayangkan seperti apa kehidupannya dan Vivian nanti. Semoga saja hubungan mereka tidak berlandaskan rasa kasihan, karena pasti sangat menyakitkan. Freddy menghela napas dan mengangkat bahu. “Kakak tidak tahu apa yang harus kakak lakukan. Saat ini, kakak hanya bisa menjalaninya, hingga suatu saat nanti, jawaban itu akan datang,” jawab Freddy pelan dan juga menerawang. Samuel terdiam dan menghela napas pelan. Mereka harus menjalani perjodohan ini hanya karena obsesi orangtua mereka. Sebenarnya mereka tak kalah kaya dari keluarga Vivian atau pun Karin. Samuel punya perusahaan sendiri yang sedang berkembang pesat, begitu juga dengan Freddy. Mereka termasuk pria-pria muda yang sukses. Ayahnya juga memiliki beberapa jaringan usaha yang tak kalah hebat sebenarnya. Hanya saja, obsesi ayahnya untuk dipandang dunia membuat mereka harus menjalani perjodohan ini. Tidak tahukah ayahnya, semua ini membebani anak-anaknya? *** Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Vivian masuk ke sebuah ruangan yang terlihat dirancang dengan sempurna dan mewah. Andros yang melihat kedatangan Vivian, segera menghentikan pembicaraan dengan pria yang sedang duduk berhadapan dengannya di dekat meja kerjanya. “Maaf, Vin,” ujar Andros pada Gavin, sahabat merangkap rekan bisnisnya. Gavin hanya tersenyum tipis dan menoleh pada sosok yang baru saja masuk ke ruangan Andros. “Budayakan mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk, Nona Vivian,” sindir Andros pada Vivian. Vivian yang disindir kakaknya hanya bisa menyengir dengan wajah memanas saat mendapati ada sosok lain di ruangan itu. “Maaf bila mengganggu, silakan dilanjut, Pak Andros, saya akan menunggu Anda,” kata Vivian sok formal dengan senyum menggoda. Ia berjalan menuju sofa yang ada di ruang kantor kakaknya yang luas. Gavin menatap Vivian sambil mengerut kening. Vivian begitu memesona dengan tubuh langsing dan ideal. Wajahnya yang cantik dan dandanan yang modis membuat penampilannya terlihat sangat berkelas. “Adikku, Vin,” kata Andros pelan saat menyadari tatapan penuh tanya di mata Gavin. Gavin berdehem pelan, lalu kembali menatap Andros. “Kenapa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?” tanya Gavin heran. Sekian lama ia berteman dan bekerja sama dengan Andros, baru kali ini ia melihat Vivian. Sesekali, ia melirik Vivian yang terlihat duduk santai sambil memainkan ponselnya. “Dia kuliah di Korea, baru pulang seminggu ini,” jelas Andros ringan. “Sudah, biarkan dia di situ, jadi bagaimana dengan proyek ini?” tanya Andros serius pada Gavin. Gavin menatap kertas-kertas yang berserakan di meja Andros. Lalu mulailah mereka membicarakan bisnis. Namun begitu, pikiran Gavin sudah tidak seratus persen memikirkan pekerjaan, sebagian dari otaknya sudah memikirkan Vivian, adik perempuan sahabatnya yang begitu memesona. Sepuluh menit kemudian, Gavin dan Andros sudah mencapai kata sepakat. Diskusi mereka selesai. “Ya sudah, aku temui adikku dulu,” kata Andros pada Gavin. “Ehm! Tidak mau mengenalkannya padaku?” Gavin melirik Vivian. Andros mengerut kening, tapi kemudian mengulum senyum. “Boleh-boleh saja.” Dari cara Gavin, Andros tahu bahwa sahabatnya yang satu ini mulai tertarik pada adiknya. Meskipun Vivian sudah dijodohkan dengan Samuel, selama janur kuning belum melengkung, bukankah kesempatan masih terbuka? *** “Sepertinya dia tertarik padamu, Vi,” goda Andros begitu Gavin keluar dari ruangannya. Vivian melotot pada Andros dengan wajah merona. “Vivi tidak merasa seperti itu,” kata Vivian sedikit ketus, gusar dengan sifat kakaknya yang sangat suka menggoda. “Kita buktikan, percaya atau tidak, dia akan mendekatimu,” kata Andros sambil mengulum senyum, senang melihat Vivian merona malu. Vivian merengut, berpura-pura marah, membuat Andros tergelak. “Jadi, ada apa menemuiku, Sayang?” tanya Andros pada adik perempuannya. Tidak ingin Vivian sampai benar-benar marah. “Bosan di rumah,” kata Vivian manja sambil makin merapatkan duduknya pada Andros. Andros mengerut kening, merasa akan ada sesuatu setelah kata bosan itu. “Bukankah sekarang kamu sudah punya Samuel? Kenapa tidak memintanya menemanimu?” goda Andros. Sekali lagi Vivian melotot pada Andros. Kakaknya tahu pasti kalau hubungannya dan Samuel masih sedingin dan sekaku gunung salju. Andros tergelak pelan mendapati pelototan Vivian. Sepertinya sebentar lagi rumah mereka akan didatangi pria yang berbeda setiap harinya mengingat adiknya ini begitu memesona. “Temani Vivi belanja ya, Kak.” Vivian menatap kakaknya penuh harap. Berharap Andros mau meluangkan waktu untuk menemaninya. Andros tersenyum kecut. Benar apa yang ia duga, Vivian akan menyibukkannya hari ini. “Vivi traktir makan siang,” kata Vivian lagi. Andros meringis melihat usaha Vivian untuk mengajaknya jalan-jalan. Traktir? Bahkan uang belanja Vivian setiap bulan darinya. “Mau ya, Kak,” bujuk Vivian lagi, manja dan penuh kelembutan. Andros menarik napas panjang lalu mengangguk. Kapan ia bisa menolak permintaan adiknya yang cantik ini? *** Samuel duduk santai menunggu pesanan makan siangnya di sebuah kafe, di salah satu pusat perbelanjaan. Matanya tiba-tiba menajam saat melihat sepasang manusia masuk ke dalam kafe yang sama. Terlihat kedua sosok itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kafe, seolah mencari meja yang cocok untuk mereka tempati. Pandangan Samuel beradu dengan salah satu sosok itu, dan seketika hatinya berdebar halus, debar yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi ia rasakan. Samuel melambaikan tangan dengan harapan kedua sosok itu mau bergabung dengannya. Dan benar, sosok yang satunya lagi juga telah menangkap bayangannya dan tersenyum lebar. Kedua sosok itu terlihat berjalan mendekatinya. “Samuel? Kebetulan sekali. Sendirian?” tanya Andros dengan senyum lebar. Samuel tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mengalihkan tatapannya pada Vivian yang terlihat berdiri kaku di samping Andros. Andros menarik kursi untuk Vivian, lalu ia menyusul duduk tepat di depan Samuel. “Dari mana?” tanya Samuel sambil menatap Vivian dan Andros silih berganti. “Mau makan siang. Setelah itu, Bidadari ini minta ditemani belanja,” jawab Andros ringan sambil melirik Vivian. Samuel memperhatikan wajah Vivian yang spontan merona. Ia mengernyit saat sekali lagi debar itu menyapa hatinya. Seorang pelayan datang untuk memberi mereka buku menu. Samuel menatap Vivian yang terlihat gugup. Bahkan setelah pesanan mereka tiba, terlihat sekali Vivian begitu menjaga imej di depannya. Makan dengan pelan-pelan dan hati-hati. Apakah Vivian sedang salah tingkah? Samuel tersenyum geli dalam hati. Untuk apa menjaga tingkah? Bahkan bila Vivian makan dengan lahap pun, dia masih terlihat cantik. Sekali lagi Samuel mengernyit kening saat sebuah kesadaran menghantamnya. Mengapa ia jadi terlalu banyak memikirkan Vivian? Apa ini pertanda bahwa... *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN