12. Pertemuan Ruslan dengan Mira

1220 Kata
Pagi itu setelah Ruslan berangkat kerja, Halimah berakitivitas seperti biasa, beres-beres rumah. Hatinya sedang dilanda rasa bahagia. Ia terus saja membayangkan sesuatu yang indah yang ia dapatkan dari Ruslan semalam. Halimah ingin waktu cepat berlalu. Andai saja ada mesin waktu, ia ingin mempercepat waktu hingga malam tiba, kembali merasakan keindahan yang ia rasakan sebelumnya. Wajah Halimah berseri, sepanjang hari ia berdendang. Rumah sudah rapi, jemuran sudah berkibar tertiup angin. Matahari yang bersinar sedikit garang tak menyurutkan halimah berjemur pagi itu. Ia tak mengindahkan pesan Ruslan untuk mengenakan kerudung meski hanya ada di halaman rumah. Halimah pikir ia sedang berada di halaman belakang yang sepenuhnya dikelilingi tembok tinggi . Tak ada pula rumah bertingkat yang memungkinkan orang melihat Halimah dari lantai dua. Saat itu Halimah mengenakan celana kulot di atas lutut dan t-shirt dengan lengan agak pendek. Kulitnya yang kuning langsat sepenuhnya tersiram cahaya matahari pagi. Hangat menjalar di tubuhnya. Ia duduk di kursi, menantang matahari dengan mata terpejam. Sekali lagi, peristiwa indah tadi malam kembali menari-nari di pelupuk mata Halimah. Alangkah senangnya jika tiap melakukan permainan indah itu Ruslan mampu segagah tadi malam. Halimah menarik napas dalam. menenangkan perasaannya. Berusaha meredam sesuatu yang dirasakannya terlalu berlebihan. Ruslan, suami tercintanya hanyalah manusia biasa. Manusia tak ada yang sempurna. Baik Ruslan begitu juga dengan dirinya. Selama ini hidupnya teramat nyaman dengan cinta dan kasih sayang Ruslan. Meski hidupnya sederhana. Namun Halimah tak pernah kekurangan. Semua tercukupi. Tidak kurang tidak juga berlebih. Terngiang ucapan Ruslan, " Adek, kita harus selalu bersyukur atas sekecil apapun nikmat yang Tuhan beri. Jangan sering mengeluh. Jika Adek selalu mensyukuri apapun yang Adek terima, yang Adek rasakan, InsyaAllah, hidupmu akan terasa tenang dan damai." Halimah meresapi ucapan Ruslan. Saat ini, ia bersyukur, akhirnya Ruslan mampu memberinya sesuatu yang selama ini ia rindukan. Ruslan pun tak pernah menuntutnya karena belum jua hamil. Itu sudah anugerah untuknya. Jadi kenapa harus menuntut sesuatu yang Ruslan belum mampu untuk memenuhinya setiap saat. Halimah membuka mata, bajunya basah oleh keringat. Ia masuk ke dalam rumah. Meminum segelas air hangat. "Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih untuk nikmatnya berjemur pagi ini. Juga nikmatnya minum air hangat ini, semoga tubuhku selalu sehat, bugar dan prima. Semoga Bang Ruslan selalu setia pada Limah," doa Halimah setelah menghabiskan segelas air hangat. *** Sang hari di pabrik. "Rus, dipanggil bagian keuangan ke office!" ujar Boni, leadernya di Pabrik. "Bagian keuangan? Ada apa?" tanya Ruslan heran. "Entah. Tadi aku ke atas, ke office. Pak Hardiman titip pesan, saat makan siang kau diminta ke bagian keuangan." "Pak Hardiman bukankah manager HRD? Lalu kenapa aku dipanggil bagian keuangan? Oh...." Ruslan akhirnya ingat dengan Mira. Pasti Mira yang memanggilnya. "Kenapa?" tanya Boni. "Tak apa-apa. Aku ke bagian keuangan dulu, ya!" Ruslan segera melepas hand glove dari karet yang ia kenakan. Ruslan bertanya-tanya, seperti apa penampilan Mira sekarang. Kawannya sekaligus saingannya di sekolah dulu. Ruslan naik ke lantai dua, mengetuk pintu ruangan bagian keuangan. "Maaf, Bu. Saya Ruslan. Tadi saya dapat titipan pesan dari Pak Hardiman HRD diminta ke bagian keuangan," ucap Ruslan sopan pada karyawan yang ada di bagian keuangan. "Oh, diminta langsung menemui Ibu Mira. Silakan masuk saja ke ruangannya!" jawab salah satu karyawan ramah. Ruslan mengangguk sopan lalu mengetuk pintu ruangan Mira. "Masuk! Terdengar suara Mira dari dalam ruangan. Ruslan masuk, lalu menutup pintu kembali. Saat ia berbalik, Mira menyambutnya dengan menghampiri dirinya. Belum sempat Ruslan menyapa, Ruslan dibuat terkejut dengan pelukan Mira. "Apa kabar kawan lamaku? Senang bertemu lagi denganmu!" Mira memeluk Ruslan erat. Ruslan mematung. Ia merasa tegang mendapat perlakuan Mira yang sangat jauh dari dugaannya. "Hei, kenapa bengong?" Mira melepaskan pelukannya lalu meraih lengan Ruslan menyuruhnya duduk. Ruslan duduk di kursi yang berada di depan meja Mira. "Sudah makan siang?" Mira duduk di lengan kursi sebelah kanan, tangannya menyentuh bahu kiri Ruslan. "Be, belum," sahut Ruslan gugup. "Kau ingat aku, bukan?" Mira mendekatkan wajahnya ke wajah Ruslan. Seketika wajah Ruslan memerah, lekas Ruslan menunduk. Mira, kawannya dulu semakin cantik mempesona dengan riasan wajah dan rambut panjangnya yang ditata bergelombang. Setelan kerja yang tampak sangat modis dipadu perhiasan emas ciri khasnya sejak SMU, gelang dengan rantai hati. "Kau semakin malu-malu. Tapi justru aku menyukai sikap malu-malumu sejak dulu," bisik Mira di telinga Ruslan. Hati Ruslan bergetar mengingat Halimah. Ia terus memanggil nama istrinya. Menguatkan hati agar aroma parfum Mira yang menggoda tak akan menembus pertahanan hatinya pada Halimah. Dulu, Ruslan sempat sedikit menaruh hati pada Mira. Namun karena perbedaan status sosial yang teramat jauh, Ruslan mengubur dalam-dalam perasaannya untuk Mira. Ia sudah cukup senang menjadi teman berdebat Mira saat mengerjakan tugas-tugas pelajaran sekolah. "Rus?" panggil Mira yang kini sudah duduk kembali di kursinya, tepat di depan Ruslan. Ruslan mengangkat wajah perlahan. "Iya, Mir. Maaf, Bu Mira!" sahut Ruslan masih gugup. "Ya, ampun. Ibu? Memang aku terlihat sudah ibu-ibu?" Mira terbahak. "Ibu panggilan hormat untuk seorang wanita. Apalagi saat ini, saya adalah bawahan Ibu. Jadi sudah selayaknya saya memanggil Ibu Mira dengan sebutan Ibu." Mira kembali terbahak. "Masih malu-malu. masih kaku seperti dulu. Helo, panggil aku Mira seperti dulu!" pinta Mira. Ruslan menggeleng lalu kembali menunduk. "Ah, tidak. Sekarang tambah malu-malu dan tambah kaku. Tidak asyik, ayolah!" protes Mira. Ruslan tersenyum tipis. Aroma parfum Mira yang menguar nyaris membuatnya limbung. Aroma parfum yang sama, seperti saat sekolah dulu. Ya, gelang hati dan aroma parfum Mira tak berubah. Sifat agresif Mira juga tidak berubah malah semakin terlihat agresif. Ruslan bingung harus bagaimana menghadapi Mira. "Kau tidak senang bertemu denganku?" tanya Mira pelan. "Senang," sahut Ruslan pendek. Ya, jauh di sudut hatinya ia merasa ada letupan rasa senang bertemu kembali dengan Mira. "Tapi, Mira yang kukenal dulu terlihat berbeda dengan Mira yang sekarang." "Terlihat semakin cantik?" ucap Mira. Ruslan mesem lalu kembali menunduk. "Aih, selalu begitu. Kita sedang tidak membahas pelajaran sekolah lagi, hei!" Mira mengetuk-ngetuk meja. "Lihat aku!" Ruslan mengangkat kembali wajahnya. Ia menatap Mira, Mira yang pernah membuatnya gelisah setiap malam. Dulu. "Makan siang denganku, yuk!" ajak Mira. "Pasti kau belum makan siang karena saat bel makan siang berbunyi, kau langsung menemuiku." Ruslan melirik jam dinding di belakang Mira. Jam satu kurang sepuluh menit. "Saya belum salat Dhuhur. Sepuluh menit lagi jam masuk kembali," sahut Ruslan. "Kau betah kerja di sini?" tanya Mira. Ruslan mengangguk. "Ya, sudah. Kau salat Dzuhur dulu lalu setelah itu kita makan siang." "Tapi saya harus kembali bekerja, Bu!" jawab Ruslan. "Sudahlah. Mulai minggu depan, kau aku tarik kerja di bagian keuangan. Besok kau tidak perlu kerja di bagian produksi. Pagi-pagi langsung naik ke lantai dua. Nanti staf aku di luar akan mengajarimu pekerjaan di bagian keuangan ini. Bagaimana?" "Tapi...." "Percuma kau bekerja di bagian produksi. Isi otakmu lebih sepadan kerja di bagian keuangan. Dulu kita selalu mengerjakan tugas sekolah sama-sama. Kini, kita bisa bekerjasama mengelola keuangan perusahaan ini. Seru, bukan?" Wajah Mira berbinar senang. "Maaf, Bu Mira. Ini terlalu cepat bagi saya. Saya harus...." "Aku tak suka penolakan!" potong Mira cepat. Mira berdiri, mendekati Ruslan. Kembali duduk di lengan kursi. "Aku senang bertemu denganmu lagi, Rus. Kau tahu, aku menyukaimu sejak dulu," bisik Mira di telinga Ruslan. "Tapi, Bu. Saya, saya sudah menikah," jawab Ruslan mantap. "Kenapa dengan statusmu yang sudah menikah? Memangnya aku tak boleh menyukaimu hanya karena kau sudah menikah?" Mira berdiri kembali. Kali ini ia bersender pada tepian meja. Ruslan mendadak merasa kepalanya berat sebelah. Wajah dan suara Halimah istri tersayangnya semakin hebat memenuhi isi kepalanya. Halimah, tolong Abang!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN