Bagi Alwan, kesepian adalah teman sejatinya. Sudah menjadi hal biasa untuknya mendapati rumahnya gelap gulita saat pulang. Walau sebenarnya rumahnya tak pernah sepi, karena banyak pekerja yang mengurusi rumah besar itu. Rumah yang sudah kehilangan arti untuk pulang sejak lama.
Alwan menyalakan saklar lampu, menerangi setiap sudut rumah yang semula gelap. Ia merebahkan badannya ke atas sofa, hanya mengangguk singkat ketika salah satu pekerja rumahnya baru saja keluar dari arah dapur. Sedikit terkesiap mendapati 'tuan muda'nya sudah pulang.
Hanya segelintir orang di sekolah yang mengetahui kalau Alwan adalah orang kaya raya. Fakta bahwa dia terlalu tergila-gila akan lomba-lomba semakin menguatkan penilaian orang tentangnya. Seorang penerima beasiswa yang mati-matian mempertahankan beasiswanya agar tidak di cabut.
Padahal itu semua salah.
Ibunya adalah CEO dari perusahaan teknologi yang sedang berkembang di kawasan Asia. Menyebabkan beliau lebih sering berpergian ke luar negeri, melanjutkan usaha suaminya yang telah dibangun susah payah. Membangun perusahaan itu semakin besar, setelah kepergian sang ayah.
Mata Alwan terbuka, menatap langit-langit ruangan berwarna krem. Dia mengigit bibir, memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak karena rasa sepi yang menyeruak. Secepat kilat ia membuka ponselnya, menyetel lagu rock dengan suara paling kencang. Berusaha memenuhi isi kepala dan hatinya, menyingkirkan rasa sepi itu. Ia tak pernah bisa berdamai dengan kesepian.
Semenjak kepergian ayahnya saat dia kelas 1 SD, Alwan seolah kehilangan segalanya. Kehangatan keluarga, pelukan sang ibu, dan jati dirinya. Merubah sosok Alwan menjadi tak tersentuh, dingin, dan memiliki mulut tajam. Setiap kesepian, rasa sesak selalu membuatnya kepayahan. Dan jika diteruskan, ingatan saat kecelakaan itu akan memaksa masuk dalam ingatan. Alwan membenci itu.
Lantas bagaimana selama ini Alwan mengatasinya? Apalagi kalau bukan dengan belajar. Seolah-olah kerasukan, Alwan menjadikan soal-soal sebagai pelarian. Berbagai macam les dia ikuti, membuatnya ahli dalam berbagai hal. Alasan kenapa dia menjadi tak terkalahkan.
Getaran dari ponselnya, penanda telpon masuk mengalihkan perhatian Alwan. Pemuda itu meraih ponselnya mendapati nama 'Si Bodoh 1' tertera di layar. Siapa lagi kalau bukan Bagas.
"Kenapa?" tanya Alwan datar, bahkan tak ingin repot-repot mengucapkan salam.
"Jalan yuk bos, gue sama Nindi udah depan rumah lo. Besok gak ada PR ini."
"Gue-"
"Cepat keluar, atau lo gue seret."
Ucapan Nindi menjadi penutup panggilan itu. Alwan berdecak, selalu malas mengikuti kedua sahabatnya yang senang berjalan-jalan mengitari kota. Masih tak mengerti apa bagusnya pemandangan ibukota saat malam, hingga mereka menjadi penggilanya.
Diam-diam Alwan menipiskan bibir. Sahabatnya memang selalu tau waktu yang tepat untuk bersamanya.
***
"Tumben banget rame."
Alwan mengamati ke sekeliling taman yang entah kenapa lebih ramai dari biasanya. Es kopi yang berada di tangannya sesekali ia minum, menikmati suasana keramaian yang berada di sekitarnya. Berbanding terbalik dengan Bagas dan Nindi yang sibuk berebut makanan yang baru mereka beli.
"Gas ah, gigitnya jangan besar dong. Gue masih mau," Nindi berseru sebal, mengambil alih corndog yang tersisa seperempatnya itu. Sementara Bagas hanya menaikkan alis tak peduli, seraya mengunyah dengan pipi menggembung.
"Kenapa gak beli dua aja sih? Udah tau kapasitas perut sama-sama besar, malah sok patungan." Alwan mencibir, mencoba menengahi kedua sahabatnya yang hendak ribut kembali. Matanya kembali melihat ke sekitar, sedikit mengernyit ketika melihat satu titik yang sedang dikerumuni banyak orang.
"Cover dance."
Seolah menyadari arah tatapan Alwan, Bagas berujar pelan. Ia diam sejenak, menelan makanannya yang sudah terkunyah dengan baik. "Baru beberapa hari ini sih, mau lihat?"
"Hm, gue aja. Lo berdua mending lanjut makan." Alwan bangkit berdiri, meninggalkan Bagas dan Nindi yang sudah melirik ke sana ke mari. Mencari stand makanan lain untuk dicoba.
Suara musik yang semakin kencang, serta lampu taman yang menyorot begitu terang seolah menyorot sekumpulan kelompok yang sedang menari mengikuti irama. Entah bagaimana ceritanya, hingga ia berakhir terpaku ke satu titik. Tanpa sadar berdiri di barisan terdepan dari kerumunan.
Satu orang berhasil menarik perhatiannya. Seorang perempuan yang sedang menari penuh semangat. Tubuhnya bergerak lincah, menonjol diantara penari lain. Meski wajahnya tak begitu terlihat karena topi yang ia kenakan, Alwan seolah bisa melihat ekspresi perempuan itu. Sesekali dia bisa melihat senyum misterius yang seolah menggambarkan lagu yang ia bawakan.
Alwan tertarik ke dalam pesona asing itu. Untuk pertama kalinya, senyum tulus merekah di wajahnya. Senyum terlebar yang pernah seorang Alwan keluarkan, setelah bertahun-tahun tertarik dalam dunia kelabu. Dan ketika penampilan itu selesai, Alwan tak sadar ikut bertepuk tangan meriah. Membuatnya terlihat seperti seorang anak kecil untuk beberapa saat. Ia menunduk, meraih topi milik penari yang tak sengaja terjatuh di depannya ketika dilempar tadi. Gerakan penutup yang membuat kerumunan di dekatnya berseru antusias. Ketika ia menunduk untuk mengambil topi putih itu, ia bisa melihat sepatu berwarna pink hitam di depannya. Menandakan sang pemilik topi sudah menghampiri.
"Alwan?"
"Ochi?"
Mata Ochi sedikit melebar, terkejut akan kemunculan cowok aneh yang punya mulut pedas itu. Dia meneguk ludahnya, dengan cepat meraih topi di tangan Alwan yang terpaku. Tak pernah menyangka bahwa akan ada anak sekolahnya yang melihat dia menari seperti tadi. Padahal dia sudah sengaja ikut tim dari akademi tarinya yang melakukan pertunjukkan yang jauh dari tempat sekolahnya.
"Jangan kasih tau siapapun," ucap Ochi dengan raut wajah serius. Tangannya tanpa sadar meremat topi di tangannya. Aura ceria yang biasanya menguar darinya berubah drastis. Menunjukkan ekspresi sedikit ketakutan yang tak dipahami Alwan.
Panggilan dari grup tarinya, sukses membuat Ochi berbalik. Dia menghela napas, menatap Alwan yang masih terdiam. Untuk pertama kalinya cowok itu seolah dibuat bungkam. Entah apa yang ada di pikirannya. Ochi mengenakan topinya, beranjak menuju grupnya sampai ucapan Alwan membuatnya terhenti.
"Tarian lo bagus."
Tidak ada kata-kata menyindir, melainkan pujian yang Ochi dapat. Ochi tak pernah tau, ia menjadi orang pertama yang mendengar pujian dari sosok Alwan.
***
"Kenapa kumpul di kantin sih?"
Keluhan dari Dinda, tak dihiraukan oleh Alwan. Cowok itu sibuk menatap ke jalan masuk menuju kantin, mengabaikan jus mangganya yang mulai tak dingin. Entah apa yang ia cari, tapi untuk pertama kalinya Alwan tak fokus saat ini. Riko yang menyadari kalau ketua klubnya sedang tak fokus, menurunkan ponselnya. Ia mengetuk meja di depannya pelan, hingga perhatian Alwan teralih. "Mohon maaf Pak ketua, kita disini mau rapat bukan bengong."
Alwan sendiri hanya memasang wajah datar, membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia menatap kedua orang yang berada di tim yang sama dengannya tiap perlombaan itu lamat-lamat. Dua orang yang melengkapi timnya untuk selalu menjadi juara.
Klub debat, punya satu tim paling kuat yang tak pernah diragukan kemampuannya. Tim yang berisi Alwan, Dinda dan Riko menjadi tim yang berhasil mengantarkan klub debat ke jajaran ekskul dengan prestasi terbanyak. Bahkan di awal-awal tim mereka terbentuk, mereka bertiga tak pernah berhenti membuat kagum. Dan faktanya, ketiganya juga menjadi orang terpenting dalam kepengurusan klub debat.
Alwan sebagai ketua, Dinda sebagai sekretaris dan Riko sebagai ketua tim disiplin. Sifat mereka bertiga yang sama-sama kritis dalam menghadapi suatu permasalahan, membangun kekuatan tim itu tersendiri. Bergabung menjadi satuan kuat, meski berasal dari kelas dengan jurusan berbeda. Alwan dari IPA, Dinda dari IPS dan Riko dari Bahasa.
"Seleksi nanti ada mekanisme baru," ucap Alwan memberikan kertas untuk dilihat ketiga temannya itu. "Kita harus ubah rencana, kita gak boleh ada di satu tim yang sama."
"Loh memangnya kenapa?" tanya Dinda mengernyitkan dahi masih belum paham. Sementara Riko yang tadinya terdiam, sudah menjentikkan jari seolah paham.
"Setiap tim hanya akan dipilih satu orang untuk lolos tahap seleksi. Meski salah satu tim tersebut nanti kalah dalam debat. Satu orang sebagai pembicara yang terbaik diantara anggota timnya." Alwan menunda ucapannya sesaat. "Dan kalau kita berada di tim yang sama, itu artinya kita gak bisa jadi satu tim akhirnya."
"Oke, kita pisah tim." Dinda menyahut setuju sudah paham akan arah pembicaraan yang dibawa Alwan. "Tenang aja Wan, kita bakal tetap jadi satu tim."
"Gue sih percaya sama lo, Din." Tatapan Alwan menajam ke arah Riko yang mencoba tak acuh seraya meminum es tehnya. "Tapi Riko yang gue khawatirin, dia lagi lengah."
"Duh Wan. Santai aja sedikit oke? Walaupun gue lagi sedikit malas, gue gak akan pernah ngecewain kalian," ucap Riko menyakinkan. "Gue belum mau mati, diamuk ketua kita ini."
Alwan hanya diam, tak menanggapi. Mencoba berharap ucapan Riko benar. Dan penglihatannya tadi tak terjadi.
TBC