Enam: The Reason To HateYou

1339 Kata
“Ochi, kamu gak capek jadi cadangan terus?” Kepala Ochi tertunduk dalam, tak berani menatap pembinanya. Bu Emile memijat pelipisnya, sebenarnya tak tega juga memarahi anak muridnya yang satu itu. Apalagi hanya karena hal sepele, yang sayangnya dibesar-besarkan oleh anggota ekskul lain yang dibinanya. “Saya sebenarnya gak tega untuk ngelarang kamu untuk makan Ochi.” Bu Emile memutar kursinya, meraih salah satu bungkus coklat dari dalam kantung plastik di depannya. “Tapi kamu tau betul, saya gak bisa belain kamu soal berat badan. Apalagi kalau kamu kepergok makan kalori sebanyak ini, ketika teman kamu yang lain mati-matian menjaga berat mereka.” “Maaf bu,” ucap Ochi pelan masih dengan kepala tertunduk. Namun, tak lama kemudian dia mendongak. Menunjukkan cengiran bodoh khasnya, tak lupa mengusap tengkuknya pelan. “Saya lapar soalnya.” “Chi dengar ibu ya,” ucap Bu Emile melembutkan ekspresi mukanya. “Saya benar-benar mau kamu maju kali ini. Bukan jadi tim cadangan lagi. Saya mau kamu ikut bawain koreografi yang udah kamu buat sama Yona. Kamu gak capek hanya jadi pilihan kedua? Membiarkan orang lain bersinar di panggung yang kamu buat sendiri?” Tangan Bu Emile bergerak, menyentuh kedua tangan Ochi erat. Menyalurkan rasa semangat yang sama kepada anak muridnya itu. “Tolong tahan sedikit lagi ya.” Ochi tak menjawab, ia sempat terpaku beberapa saat. Melunturkan ekspresi ceria yang sebelumnya tak pernah menghilang dari wajahnya. Ia meneguk ludah gugup, membalas genggaman tangan Bu Emile tak kalah erat. Mencoba menyalurkan rasa frustasi, yang ia harap bisa dirasakan pelatihnya itu. Beserta kegelisahan yang selama berapa hari ini menggerogoti dirinya. Tapi, tetap saja Bu Emile hanyalah manusia biasa. Perasaan itu tak tersampaikan, membuat pelatihnya terus merasa bahwa Ochi baik-baik saja. “Kamu memang gak pernah mengecewakan Alwan.” Seruan penuh kegembiraan itu, lantas membuat pandangan Ochi teralih. Dari tempatnya dia bisa melihat Bu Myria sudah tersenyum lebar seraya memegang sebuah kanvas. Tepat di depannya, berdiri seorang pemuda yang membelakangi Ochi. Hanya dengan melihat bagian belakang ditambah Bu Myria sudah menyebutkan nama pemuda itu, membuat Ochi yakin betul siapa yang berhasil membuat Bu Myria bersorak kegirangan. Alwan. Murid kesayangan seluruh guru. Si cowok sempurna,yang tak terkalahkan siapapun. Seandainya, Ochi bisa seperti pemuda itu. Tak terkalahkan, mungkin kisahnya sekarang berbeda. Bukan sebagai pemeran pembantu bahkan di kisahnya sendiri. *** “Kamu Alwan kan?” Alwan membalikkan badannya, sedikit mengernyit ketika mendapati sosok pemuda yang tampak asing di matanya. Ia menutup pintu klub debat sesaat, sebelum berhadapan dengan pemuda yang menatapnya datar. Sorot matanya redup, seolah mengatakan bahwa hanya jantungnya yang berdetak tapi jiwanya sudah berhenti untuk hidup sejak lama. “Lo?” tanya Alwan mengernyitkan dahi. Bingung kenapa pemuda itu menemuinya, dia mencoba acuh akan tatapan murid-murid yang menatap mereka penuh minat. Seolah berharap hal seru ketika mereka berhadapan. “Oh ya, kenalin namaku Al, anak XI Ips 1.” Kenyitan dahi Alwan semakin terlihat jelas. Sedikit tak menyangka bahwa pemuda di depannya akan menggunakan panggilan aku-kamu. Alih-alih membalas jabatan tangan itu, Alwan memilih memasukkan tangannya ke saku celana. Kini menatap pemuda bernama Al, berharap ada sesuatu yang bisa ia lihat dari kedua matanya. “Terus?” tanya Alwan tanpa berniat bersikap ramah. Menatap tanpa ekspresi Al yang sudah menarik kembali tangannya dengan canggung. Otaknya baru menyadari bahwa pemuda di depannya adalah salah satu murid yang juga berada tingkat teratas peringkat sekolah mereka. “Aku mau gabung tim debat, tapi karena syaratnya harus punya tim, jadi aku mau daftar masuk tim kamu.” Rasanya Alwan ingin tertawa saat itu juga. Entah harus menilai Al terlalu polos atau tak bisa berstrategi. Dia bahkan tak mengenal pemuda itu, tapi sekarang menawarkan diri masuk tim yang sama dengannya. Harusnya Al tau betul, Alwan sudah pasti akan menolaknya. Alwan itu perfeksionis mana mungkin dia menerima seseorang masuk ke dalam timnya, yang bahkan tak ia tau kemampuannya. “Lo mau masuk tim gue? Yakin?” Alwan tak peduli kalau ucapannya kini terdengar kasar. Ia bisa melihat raut wajah tak paham yang ditunjukkan Al padanya. “Emang ada yang salah dengan itu?” Sudut bibir Alwan terangkat, membentuk senyum penuh kesinisan akan balasan Al. Mencoba sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan kata-kata pedasnya untuk mengomentari Al yang kelewat polos. “Gue gak kenal lo. Wajar kan kalau gue nggak bisa asal-asalan milih orang untuk tim gue.” Alwan bisa menangkap raut wajah tersinggung dari pemuda di depannya. Apalagi ketika Alwan tertawa kecil, ketika mendengar alasan yang ia rasa cukup untuk menyakinkannya. Menyebutkan kata kerja keras, yang ingin Alwan tertawai dengan keras. Cowok di depannya, belum tau betul bagaimana mekanisme dunia bekerja. “Sorry, gue cuman lihat hasilnya. Bahkan kalau lo seorang pekerja keras pun gue gak bisa nerima lo. Dunia gak pernah peduli sama kerja keras, yang mereka perduliin cuman hasil. Begitupun gue.” Cowok di depannya nampaknya benar-benar tersinggung sekarang. “ Aku akan bikin kamu nyesel nggak milih aku dan aku bakal buktiin seberapa kompeten aku.” Alwan menganggukkan kepalanya dengan gaya menyebalkan, merasa ancaman yang dilakukan cowok itu sebagai angin lalu. “Kalau gitu lawan gue, kita lihat siapa yang bakal menang,” ucapnya memberi tepukan singkat di pundak Al sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Al yang terpaku di tempat. Langkahnya terhenti ketika ia melewati ruang cheers, mendapati Ochi yang berdiri di dekat ruang ekskulnya dengan tatapan tertuju tepat kearahnya. Alisnya sedikit mengkerut, samar-samar dia bisa melihat bibir Ochi bergetar seolah menahan sesuatu. Ekspresi ramah benar-benar hilang dari wajahnya. “Lo emang sekejam itu ya?” ucap Ochi tak habis pikir, melirik ke arah Al yang masih terpaku di tempatnya tadi. “Wah, gue gak nyangka bakal lihat langsung maksud orang ‘mulut pedas’ seorang Alwan itu.” “Lo marah?” balas Alwan tenang, begitu tenang hingga membuat Ochi dibuat gregetan oleh nada bicaranya. “Lo marah sama ucapan gue tadi? Dunia memang bekerja seperti itu.” “Kenapa di dunia ini, orang kayak lo gak dimusnahin aja?” sinis Ochi, menahan dirinya untuk tidak mengumpati Alwan. Apalagi ketika cowok itu tersenyum tipis, yang seolah-olah mengejeknya. Dan ucapannya selanjutnya berhasil menyentil ego Ochi. "Faktanya kemanapun lo pergi, orang-orang kayak gue akan selalu lo temuin. Untuk nyadarin diri lo, kalau dunia gak seindah itu." *** “Ini minumnya bos.” “Catatan lo udah kelar kan?” “Pulpen jangan lupa.” Bagas dan Nindi sudah sama-sama heboh di depan ruang auditorium , memberi semangat kepada Alwan yang lebih terlihat tenang daripada kedua sahabatnya. Tak seperti kedua sahabatnya yang riuh, mempastikan tak ada yang ketinggalan dan hal aneh di seragamnya. Alwan justru bersandar pada dinding auditorium, menatap murid-murid DHS yang akan menjadi juri seleksi kali ini. Tatapan tajam Alwan teralih ke arah lain, namun seketika meneduh ketika mendapati Ochi berdiri di salah satu barisan. Menunggu untuk mengisi absen sebelum masuk ke dalam auditorium. Alisnya sedikit berkerut, menyadari kalau wajah Ochi lebih pucat dari terakhir kali ia melihatnya. Ia terdiam, apa perempuan itu kini patuh akan jadwal dietnya? Sudah berapa kali dia mengurangi porsi makannya? Atau justru menunda jadwal makannya? Pikiran rumit Alwan terhenti, ketika matanya dan mata Ochi tanpa sadar bertatapan. Alwan menghela napas, pasrah ketika tubuhnya terasa ditarik ke belakang. Menerima fakta kalau dia kembali diajak takdir untuk menyelami masa lalunya yang membingungkan. “Yah...” Badan Alwan membeku, menyadari kalau dia tak tertarik pada masa kecil penuh misteri dia dan Ochi. Tapi, justru ia tertarik ke masa lalunya. Tepat dimana, dia berada dalam kecelakaan itu. Tanpa sadar tangan Alwan mengepal, merinding ketika ia melihat langsung bagaimana posisi mobil di depannya terbalik persis berhenti di dekat jurang. Dan ia bisa melihat Alwan kecil, terbaring pelan di jalanan. Nampaknya terlempar dari dalam mobil. Ia menarik napas kasar, ketika mobil yang masih berisi ayahnya itu mendadak meluncur jatuh ke dalam jurang.Bersamaan dengan dirinya kembali ke waktu sekarang. Apa itu tadi? Bagaimana bisa menatap mata Ochi, membuat kenangan akan kecelakaan itu kembali datang. Kenangan yang selama berbelas tahun, terkunci oleh alam bawah sadarnya. Kenangan yang bahkan tak bisa dikeluarkan para psikiater, dari alam bawah sadarnya selama ini. Kenangan yang akan membawanya untuk membuka kembali kasus sang ayah. Dengan dirinya sebagai saksi kunci kecelakaan itu. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN