[ 01 ] Tersesat Dalam Rindu

1296 Kata
Jika hati ini selembar kertas putih dengan banyak lipatan. Maka dirimulah yang mengubah kertas itu, menjadi berwarna di setiap lipatannya. – Ayla Kosha Hammam –   ***   Angin laut menerpa wajah perempuan yang berusia akhir tigapuluhan itu. Dibiarkan saja rambutnya berantakan. Ia suka angin yang berhembus, selagi ia menikmati hamparan lautan tak berbatas itu. Meski kini perutnya terasa sedikit mual sebab buaian gelombang pada tubuh kapal feri yang sedang melintasi selat pemisah antara Pulau Jawa dan Sumatera itu. Di saat seperti ini hal tepat yang harus di lakukan adalah menggambil foto diri.   Namun, Ayla panik. Ketika notifikasi pengingat daya telepon selular yang tinggal 5%, muncul. Semalam, wanita dengan rambut sebahu itu lupa, telah meninggalkan baterai cadangan dan pengisi daya di atas meja rias. Cepat-cepat ia mengusap layar telepon genggam, membaca ulang pesan terakhir dari Meilia, sebelum ponselnya benar-benar mati total. "Tunggu aja di pintu keluar. Nanti yang jemput lo, pake jaket cokelat."   Ia menyampirkan rambut yang menutupi wajah manisnya, sambil menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran dengan memejamkan mata sambil mengatur napas. “Oke, Ay. Tenanglah. Mei kan sudah bilang, bakal ada yang jemput. Inget! Pake jaket cokelat,” serunya pada diri sendiri. Ia kembali mengambil napas dalam hingga sepuluh kali, sebelum akhirnya membuka mata, dan mulai memperhatikan langkah, karena harus menuruni tangga kapal yang cukup curam.   Kalo pake jaket, apa yang jemput cowok, ya? Tapi, siapa? tanyanya dalam hati. Ayla penasaran, sebab Mei tak menyebutkan nama juga ciri-cirinya. Ia terus berpikir sambil turun dari kapal yang telah membawanya menyeberangi Selat Sunda itu.   Setelah memasuki ruang tunggu pelabuhan, ia mulai mencari-cari. Ketika sosok yang digambarkan tak ada yang sesuai, wanita itu terus berjalan mengikuti petunjuk menuju pintu keluar.    Di luar, suasana cukup ramai, padahal saat itu bukan musim liburan. Ayla menengok arah kanan, lalu menyapu pandangannya 180° ke arah kiri. Memperhatikan beberapa kumpulan orang di sana, tetapi tak ada satu pun yang memakai jaket cokelat. "Duh! Mengapa disaat seperti ini handphone pakai acara nge-drop segala coba?" Ayla mengomel sendiri saking bingung. Mata bulatnya fokus mencari sosok yang tepat. Sampai sebuah tepukan ringan di bahu kiri, membuatnya terperanjat. "Cari siapa?" tanya seseorang. Suaranya terdengar tidak asing. Ayla berbalik dan terperangah. Mendapati pria dari masa lalu, kembali berada di depannya. Wajahnya sama sekali tidak berubah, terutama alis kanan yang mencuat, menghiasi mata tajam bermanik hitam. Juga, tahi lalat di dagu, dan hidung mancung, serta senyum jahilnya yang menghiasi bibir. Sosok yang tak pernah pudar dari ingatan. Orang yang menetap di sudut hati, meski telah lama tidak saling menyapa, dan laki-laki itu memakai jaket cokelat. "Yudha Turangga?" panggil Ayla. "Apa kabar, Ayla?"   Waktu serasa berhenti, mereka saling memandang. Ayla lebih dahulu mengulurkan tangan. Yudha menyambut. Namun, bukan hendak bersalaman. Ia menarik lembut jemari wanita dihadapannya dan mendekap erat. Meski meronta mencoba melepaskan diri, tetapi wanita itu kalah dengan rindu. Ia biarkan dirinya tenggelam dalam pelukan, dan larut dalam kehangatan suasana pertemuan, memanggil satu-persatu memori yang tersimpan rapat.   "Yud,” panggil Ayla pelan. “Hmm,” sahutnya masih mendekap. “Lo, tambah tinggi ya." "Iya dong, gak kayak lo. Masih pendek kayak dulu, di sana … pertumbuhannya mandek ya?" candanya. Ayla merajuk mendengar ledekan pria itu, ia kembali berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, Yudha menahan agar tetap dekat, meletakkan kepala perempuan itu di dadanya. Membiarkan perempuan itu mendengar degup kencang yang semakin tak berirama. "Lima menit lagi, Ay. Biarin gue lima menit lagi. Gue kangen banget sama lo," tuturnya terus terang. Pernyataannya membuat jantung Ayla kini ikut meloncat-loncat bagai katak. Tak ada kata lain yang layak demi menjawab perasaan pria itu, selain. "Gue juga kangen sama lo, Yudha."   Saat itu, rasanya tak ingin waktu berputar. Mereka masih ingin terus melerai rindu yang tak berujung itu. Yudha semakin mengeratkan dekapan, sedang Ayla yang terbawa suasana tak kuasa menolak. Awalnya wanita dengan rambut sebahu itu merasa sesak karena eratnya. Akan tetapi, semenit kemudian, suasana di sekitar mereka menjadi kabur, tak lagi berbentuk dan lebur menjadi bayangan.   Ayla kembali panik, mencoba menarik belakang jaket, pria di depannya. Ia merasakan dekapan laki-laki itu, tidak lagi seerat sebelumnya. Mata Yudha sendu, sosok dirinya semakin memudar, meninggalkan senyum di bibir dan buliran air mata di sudutnya. Ayla mencoba menjamah jemari yang tadi menggenggam itu.   Namun, terlambat! Sosok itu telah menjadi asap pekat yang perlahan musnah, dan hilang tertiup angin. Ayla terdiam, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Ia kini sendirian, mencari bayangan dengan teriakan. “Yudha!!!” Ayla terbangun, sudut matanya basah, mendapati diri yang ternyata kini masih berada di kamar tidur. Hatinya berat dengan perasaan sedih tak terbendung. Ia berusaha duduk, tangisnya tumpah, bahunya bergetar. Mengapa dia lagi? Ayla mencoba mencerna arti pertemuan yang kini berganti dimensi itu. Apakah saat ini ia sedang merindu? tanya hati dalam kegamangan. Wanita yang mudah panik ini, menarik napas dalam, lalu menghapus air mata yang menggantung. Ia berjalan menuju jendela, dan berdiri diam menatap langit malam. Pikiran menjelajah, sedang mata beningnya menyapu setiap senti langit mencari sebuah bayangan semu. Malam itu, bintang bertaburan di sekitar bulan yang bersinar paling terang. Purnama.   Berbagai macam pemikiran berkecamuk. Apakah mungkin saat ini Yudha pun memandang bulan yang sama, dan juga memikirkannya? Ataukah, ia sedang tertidur lelap dan memimpikan dirinya juga? Mungkinkah ia tengah bersimpuh dan menyebut namanya di sela doa-doanya? Ayla mendesah, menikmati rasa rindu yang semakin berat.   ***   Yudha duduk di ruang keluarganya yang mewah, ia baru saja pulang dari kantor. Maura Sachiel—istrinya, keluar dari kamar. Ia duduk di depan suaminya sambil menyilangkan kaki. “Bagaimana? Sudah tertangkap?” tanya Maura segera. “Itu urusan polisi, aku baru saja menyelesaikan urusan dengan orang pajak,” jawab Yudha. “Bisa-bisanya ia melarikan uang pajak dan pulang kampung yang hanya setengah hari perjalanannya dari Jakarta. Bodoh betul.” “Kok kamu tau dia ke sana?” “Kamu lupa, aku tetaplah pemegang saham terbesar di perusahaan kita, Mas. Tidak mungkin aku tidak tahu apa-apa. Lagi pula, pegawai anak perusahaan kita sudah tahu permasalahan ini, karena si tukang tipu ini, ternyata masih keponakan manajer personalia di sana. Besok aku pecat saja om-nya itu.” “Hmm … cepat sekali jika urusan bergosip, lagian yang salah ponakan kenapa om-nya dibawa-bawa, setahuku Pak Dirman kerjanya bagus dan jujur.” “Namanya wanita. Ah, biarkan saja. Siapa suruh masukin kerja ponakan yang ngedableg begitu. Oya, kamu mau langsung tidur atau mandi dulu?” “Aku mau membereskan beberapa dokumen yang harus dilaporkan ke bea cukai besok, kamu tidur duluan saja.” “Baiklah, jangan terlalu malam.” Yudha mengangguk, Maura pun meninggalkannya. Sedang pria itu bangkit dari sofa, mengendorkan dasi, dan melangkah menuju ke ruang kerja di lantai dua.   Di sana, pria itu tidak melakukan apa-apa. Ia seorang pemimpin tertinggi di perusahaan importir mobil mewah. Tentu saja, dokumen yang tadi dijadikan alasan, sudah dibereskan bawahannya sejak sore tadi. Dirinya hanya ingin sendirian, dan ruangan ini satu-satunya tempat pribadi, yang bahkan istrinya sekalipun tak bisa sembarangan masuk.   Ia duduk di depan meja kerja besar dari kayu jati, merebahkan punggung di kursi empuk. Sesungguhnya, hati pria itu masih resah dengan obrolan di grup, siang tadi. Bayangan Ayla di masa ia mengenalnya dulu semakin intens memasuki pikirannya. Perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihnya itu kini hadir kembali. Cinta pertamanya.   Meski saat ini Yudha sangat lelah, tetapi matanya tidak bisa diajak kompromi. Nama Ayla yang sedari dulu terukir dalam hatinya, masih terus terngiang-ngiang. “Hhh ….” Yudha mendesah.   Ia akhirnya bangkit menuju lemari di sudut kanan, membuka laci berisi buku-buku lama. Dari belakang barisan buku-buku tersebut, pria dengan tinggi 178 cm itu, mengeluarkan kotak kayu berukir. Ia berjalan kembali ke depan meja kerja, dan duduk tegak. Mengobrak-abrik isinya, lalu menemukan sebuah foto dirinya semasa SMP bersama seorang gadis manis bernama, Ayla Kosha Hammam. Satu-satunya perempuan yang menjadi pemilik cintanya yang sejati. = = = = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN