BAB 40 | Segalanya dan Semestinya

1516 Kata
PERTAMA kalinya membuka mata, Isabela langsung menangis histeris dan memanggil Arkana berulangkali. Tentu saja Arkana langsung mendekat dan memberikan pelukan hangatnya kepada adik kesayangannya sembari menenangkannya dengan menepuk bahunya pelan. Isabela bisa berhenti menangis setelah setengah jam dan itu saja masih tidak mau melepaskan pelukannya dari Arkana. Perempuan itu melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Arkana, agar Arkana tidak pergi meninggalkannya. Semua ingatan tentang kejadian semalam begitu membekas. Ketika tangannya ditarik-tarik dan tiba-tiba punggungnya terasa sakit karena ada sebuah kayu yang melayang begitu saja tanpa rasa kasihan kepadanya. Isabela masih terdiam, tidak bicara apapun kepada Arkana. Tidak ingin menambah beban Kakaknya. Isabela hanya penasaran, mengapa ada orang jahat yang menyerangnya. Jika boleh Isabela simpulkan, orang-orang itu memang sudah mengincarnya untuk dianiaya. Mereka bukan hanya para preman mabuk yang asal mencomot korbannya. Dia memang polos, masih muda, dan tidak tahu tentang hal semacam itu. Tetapi dia tidak bodoh hanya untuk sekedar membedakan sengaja atau tidak. Bahkan polisi yang datang ke rumah sakit hanya mengatakan jika semua kesalahpahaman semata dan kasus itu tidak perlu dibesarkan—bahkan tanpa mewawancarai Isabela sebagai korbannya. Polisi itu memang tidak tahu bagaimana caranya untuk investigasi atau memang hanya seenaknya saja. Apalagi ketika dirinya mendengarkan permintaan Arkana untuk mencari pelakunya, polisi hanya menganggap Arkana terlalu berlebihan. Isabela sangat kesal, ingin marah, namun akhirnya dia hanya bisa menangis meraung-raung untuk meredakan amarahnya. Dia juga sangat merasa bersalah kepada Arkana karena telah membuat kakaknya menjadi semakin ketakutan. Isabela bisa merasakan getaran dan debaran yang berasal dari detak jantung Kakaknya ketika memeluknya. Isabela tidak tahu bagaimana rasanya kecemasan yang terasa membunuh. Namun ketika merasakan tubuh Arkana yang menggigil dan detak jantungnya yang begitu kencang, membuat Isabela merasa bahwa kehidupannya lebih penting daripada hidup kakaknya. Isabela merasa jika dirinya adalah satu-satunya alasan hidup kakaknya. Mungkin sebelum ini, Isabela selalu menganggap jika kakaknya egois. Tetapi ketika sekali lagi; Arkana takut kehilangan nyawa terakhirnya, Isabela. "Sudah tenang?" Tanya Arkana yang mengelus rambut Isabela. Isabela menganggukkan kepalanya, menatap Arkana yang memberikan senyuman ke arahnya. Apakah tidak ada sisa kemarahan semalam ketika mereka bertengkar? Apakah Arkana selalu berusaha untuk mengalah saat Isabela sakit, terlebih. Apapun demi kebahagiaan Isabela adalah sebuah usaha yang selalu Arkana usahakan setiap harinya. "Kakak tidak marah?" Tanya Isabela yang menatap Arkana dengan kedua mata yang memerah, menahan agar air mata tidak jatuh membahasi pipi. Arkana mengelus kepala Isabela dan beralih mencium kening adiknya itu. Sudah lama Arkana tidak memberi ciuman di kening Isabela karena dia tidak mau membuat Isabela merasa tidak nyaman. Tetapi ternyata, Isabela sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. "Apa mereka benar-benar adik dan kakak?" Tanya perempuan itu kepada Gala yang berada di depan ruangan rawat Isabela. Gala menghela napasnya panjang. Sudah berapa kali dia tak menjawab ucapan perempuan disampingnya itu. Namun tetap saja perempuan itu terus mengajaknya bicara tanpa berhenti sama sekali. Kadangkala Gala menatapnya tajam, namun tidak ada respon yang signifikan dari perempuan itu kecuali menatap matanya balik dan kembali bicara tentang hal tidak penting. "Lihatlah, ... Arkana bahkan memberi ciuman di kening adiknya. Apa kamu pernah melakukannya? Sejauh apa hubunganmu dengan adik Arkana? Bukankah adiknya terlihat polos dan sangat pendiam. Bagaimana bisa dia menyukaimu? Ah, pasti kamu sudah mempengaruhinya, 'kan?" Tuduh perempuan itu dengan asal. Gala meremas tangannya sendiri dengan kesal, "apakah kamu tidak bisa menutup mulut? Apakah kamu tidak lelah dicueki? Aku sudah lelah mendengarkan ocehanmu. Apakah kamu tidak lelah?" "Tentu saja tidak!" Jawabnya dengan senyuman mengejek. Dia benar-benar kewalahan ketika menghadapi manusia satu ini. Dan lebih parahnya lagi, dirinya sudah bertemu dengan perempuan ini tiga kali. Menyebalkan! Gala melirik ke arah perempuan itu ketika tak terdengar lagi ocehannya. Sedangkan yang dilirik hanya diam saja sambil mengamati wajah Gala. "Siapa namamu?" Perempuan itu tertawa pelan, "ah, ... pada akhirnya ada yang bertanya tentang namaku juga! Baiklah, kita mulai dengan berjabat tangan saja, bagaimana?" "Terserah!" Jawab Gala dengan cepat. Tidak mau membuang waktunya yang berharga hanya untuk membahas hal tidak berguna bersama dengan orang yang berada disampingnya itu. Perempuan itu menyodorkan tangan kanannya kepada Gala dan disambut laki-laki itu dengan malas. Tatapan mereka beradu, seperti ada sesuatu yang menarik dari kedua mata indah milik perempuan itu. Walaupun tidak tertarik sama sekali, Gala hanya tidak ingin melewatkan melihat kedua bola mata biru cerah yang jarang sekali dimiliki oleh orang-orang di negara ini. Tentu saja itu bukan softlens yang seringkali dipakai untuk sekedar bergaya. Itu bola mata asli, Gala sangat yakin. "Kana," ucap perempuan itu yang akhirnya memperkenalkan dirinya secara resmi setelah mereka semua tidak tahu namanya. Kana, perempuan itu tersenyum ke arah Gala dan melepaskan tangannya karena mendapatkan respon dingin dari laki-laki itu. "Aku melihat seorang yang tulus dan begitu menyayangi keluarganya dari mata Arkana. Aku mungkin baru saja mengenalnya, walaupun dia tak mau menjabat tanganku. Tapi aku melihat ketulusan yang amat besar dari cara menatapnya kepada adiknya. Aku iri ketika melihat orang yang begitu disayang oleh keluarganya. Aku selalu bertanya kepada diriku sendiri, mengapa aku tidak mempunyai keluarga yang seperti itu. Kenapa tidak ada yang tulus padaku!" Curhat Kana sambil menatap lurus ke depan. Dia tidak peduli jika Gala tidak mendengarkannya. Dia hanya buruh membuka mulutnya dan mulai berbicara. Gala menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, "tidak ada orang yang peduli padamu karena terlalu menyebalkan dan menggangu hidup orang lain seenaknya!" "Arkana," ucap Kana ketika melihat Arkana yang keluar dari ruang rawat inap Isabela. "Kamu mau makan? Aku lapar sekali." Sambungnya dengan tatapan memelas, andalannya saat menatap Arkana. Arkana melirik ke arah Gala yang duduk di kursi tunggu, "dia ingin menemui kamu. Aku akan menunggu di luar. Jadi, masuklah!" Gala hanya menganggukkan kepalanya dan masuk ke dalam ruangan Isabela tanpa mengatakan apapun. Mereka sedikit canggung dan tidak enak satu sama lain. Terlebih Arkana yang terang-terangan tidak suka dengan hubungan keduanya. Mungkin Gala akan berpikiran lainnya tentang dirinya, menurut kekhawatiran Arkana. "Aku lapar!" Rengek Kana ketika Gala sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan Isabela. "Aku bilang pulang!" Tandas Arkana sekali lagi dengan nada kesal. "Tolong mengertilah! Aku sudah sangat lelah hari ini. Jangan menambah beban di dalam hidupku lagi. Kita tidak saling mengenal dan maksudku menolong kamu itu baik. Bukan karena hal lain yang ada di dalam pikiranmu. Kamu tahu 'kan kalau adikku sedang sakit dan aku tidak bisa meladeni semua omong kosongmu. Jadi berhentilah untuk membuatku memperhatikan apa yang kamu lakukan. Aku tidak mau menyakitimu dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulutku." Sambung Arkana memberikan penjelasan kepada Kana. Kana memegang pergelangan tangan Arkana, "maaf jika kamu terganggu karena kehadiranku. Tapi aku tidak ingin pergi begitu saja. Apakah kita bisa bertemu kembali? Aku menjadi kekasihmu! Kamu mau, 'kan? Aku akan melakukan apapun untuk bisa bersama denganmu." Ungkapan macam apa itu? Arkana ingin sekali mengeluarkan kata-kata kasarnya yang sudah tertata dengan rapi di dalam kepalanya. Namun dia masih mempunyai hati nurani untuk tidak melukai perasaan perempuan. Namun bertemu dengan Kana adalah hal tidak masuk akal yang pernah dia alami. Mereka bertemu di sebuah club' malam, di mana tempat itu adalah tempat yang bisa dikatakan tidak baik. Terlebih mereka baru bertemu beberapa jam yang lalu. Bagaimana mungkin perempuan itu mengungkapkan rasa sukanya hanya dalam waktu singkat? "Arkana—" genggaman tangan Kana dilepaskan dengan kasar. Kali ini dia tidak lagi berkata dengan halus, tapi dengan kata-kata sedikit kasar dan penuh penekanan. "Aku benar-benar bosan dengan semua keanehan ini. Aku bukan bahan permainan atau taruhan, jika memang kamu melakukan semua itu demi bertaruh dengan temanmu. Kamu pikir aku tidak tahu tentang mobil sport yang dikatakan salah satu temanmu ketika berada di dekat meja bartender? Mereka pasti mengira jika aku mabuk berat! Tapi kalian salah! Aku sama sekali tidak mabuk dan aku juga tidak tertarik dengan apapun yang kamu tawarkan padaku. Apa aku terlihat begitu menyenangkan?" Tanya Arkana dengan menatap ke arah Kana yang diam saja. Kana menundukkan kepalanya dan tidak lagi membuka mulutnya untuk bicara kepada Arkana. Laki-laki itu pun mengambil ponsel yang berada dalam tas Kana dan memperlihatkan layar ponsel perempuan itu yang tengah merekam pembicaraan mereka untuk diperlihatkannya kepada teman-temannya. "Kamu boleh melakukan apapun! Tapi jangan pernah menggunakan perasaan untuk mempermainkan orang lain. Hati bukan mainan yang bisa kamu permainkan. Dan aku tidak menyenangkan untuk dijadikan bahan senang-senang." Tandas Arkana dan mengembalikan ponsel Kana kembali. Setelah itu, Arkana meninggalkan Kana begitu saja. Sedangkan Kana sendiri hanya berdiri mematung di depan ruangan Isabela. Sebenarnya dia tidak bermaksud melakukannya, dia hanya penasaran. Namun semua keapesan itu terjadi kepadanya dan membuat Arkana langsung menolak dirinya mentah-mentah. Terkadang apa yang terjadi di dalam film yang seperti ini, membuatnya merasakan perasaan aneh. "Ah, sial! Belum apa-apa saja, aku sudah dicampakkan. Bagaimana dia bisa tahu tentang taruhan itu? Aku yang berpura-pura tapi dia yang sangat jago acting. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia mau pergi kemana?" Ucap Kana kepada dirinya sendiri. Apa yang diucapkan Arkana seperti sesuatu yang nyata. Gala pun hanya termenung ketika mendengar apa yang Arkana katakan kepada Kana tentang jangan mempermainkan perasaan. Orang-orang pun sering mengatakan bahwa tidak baik jika bermain dengan perasaan. Bisa jadi, kita yang akan terjebak sendiri. Lalu, apakah dirinya juga terjebak dalam hubungannya sendiri? Gala melirik ke arah ranjang Isabela dan mengusap wajahnya kasar. Sepertinya dia mulai terjebak dengan permainan yang dimainkannya sendiri. Kita bisa berencana, namun perasaan mana bisa dikendalikan? ~~~~~~~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN