BAB 16 | Menguak Sebuah Luka

1550 Kata
KEJADIAN pembantaian dan juga kebakaran itu masih terpatri dengan jelas di kepala Arkana. Tidurnya pun terganggu setiap malam dengan bayang-bayang kejadian beberapa tahun yang lalu. Begitu menyisakan luka dalam untuknya dan mungkin untuk Isabela, juga. Mereka sudah lama menyimpan duka sedalam itu dan tidak saling membicarakannya lagi satu sama lain. Mungkin mereka tahu, luka seperti itu yang akan membuat mereka jatuh pada titik terendah kembali. Arkana tahu jika Isabela seringkali menatap foto kedua orang tuanya, bahkan menangis diam-diam. Saat dirinya melihat Isabela, tidak ada yang bisa dilakukannya selain untuk pura-pura tidak mendengar atau melihat. Jika sampai Arkana tahu, mungkin mereka akan menangis tersedu-sedu lagi berdua. Pastinya sulit untuk berhenti karena sesaknya masih terasa sampai detik ini. Malam ini, Arkana tidak langsung pulang ke rumahnya setelah bekerja di bar. Dia melajukan mobilnya ke sebuah kota yang sudah lama sekali tidak dia kunjungi. Perjalanan itu melewati banyak sekali daerah dan perkampungan. Lalu perjalannya pun disambut dengan lereng-lereng gunung yang gelap namun tidak menyurutkan tekatnya untuk terus sampai ke tujuan. Butuh waktu dua jam untuk sampai di tempat ini—bekas rumah lama mereka. Lahan itu sudah menyatu dengan alam. Rusak karena sudah termakan usia dan ditumbuhi oleh pohon-pohon yang cukup tinggi. Calon-calon paru-paru dunia yang akan tumbuh subur jika tidak ada campur tangan manusia. Arkana merasa miris dengan keadaan bekas rumahnya yang sama sekali tidak menunjukkan bekas rumah. Arkana memutari tempat itu dan menatap hamparan kayu yang menjulang tinggi di mana tempatnya dan Isabela bersembunyi waktu itu. Dia masih ingat dengan jelas ketika Isabela menangis dan Arkana harus menutup mulut Isabela dengan sangat kencang agar tangisannya tidak didengar orang-orang itu. Arkana takut jika Isabela sampai terluka. Parahnya ikut dibantai atau dibakar hidup-hidup seperti kedua orang tuanya yang malang. Memori seram itu tidak akan pernah hilang dalam ingatannya. Tentang semua kejadian menyakitkan yang selalu mengganggu hidupnya. Yang membuat banyak ketakutan dan juga hati yang dipenuhi dengan dendam. Arkana berjanji akan membuat perhitungan dengan orang-orang itu. Membuat mereka membayar semua tangisannya dan Isabela. "Aku akan menyelesaikan misi ini dengan perasaan bebas," ucap Arkana kepada bekas rumahnya. "Ayah dan Ibu tahu, semua ini aku lakukan untuk menebus semua luka di masa lalu. Aku sudah menemukan alasan dari tindakanku sebagai seorang pembunuh bayaran. Aku meminta dukungan kalian. Walaupun aku tahu bahwa kalian tidak pernah menginginkan anak seorang pembunuh bayaran sepertiku." Lanjut Arkana dengan air mata diujung matanya. "Aku hanya sedang bertahan hidup dan membesarkan Isabela dengan baik. Aku tidak ingin membuatnya merasa bahwa orang tuanya sudah tidak ada. Aku ingin dia selalu bahagia." Sambung Arkana dengan menatap seluruh hamparan hutan luas. Betapa bahagianya mereka dulu, walaupun tidak punya kemewahan apapun. Sekarang, dirinya tidak bisa bahagia selepas dulu walaupun Arkana bisa membeli seluruh dunia ini. Selalu ada yang kurang dari dunia ini. Tentu saja karena dirinya tidak punya keluarga yang mungkin akan mendukungnya. Tidak ada sosok Ayah dan Ibu yang menunjukkannya jalan yang benar. Arkana sudah sejak lama belajar berjalan dengan kakinya sendiri. Setelah puas bernostalgia dengan masa lalunya, Arkana bergegas ke dalam mobilnya untuk pulang. Dia harus menemui Isabela sebelum akhirnya melanjutkan misinya. Dia juga harus mengambil benda yang telah mereka curi. Arkana tidak akan pernah memaafkan mereka sama sekali. Selama perjalanan, Arkana hanya diam sambil menikmati suara jangkrik yang berisik. Dua jam berikutnya, dia sudah sampai di rumah. Hari masih cukup gelap dan pintu sudah sepenuhnya terkunci. Pasti Isabela menganggap dirinya tidak pulang. Arkana hendak kembali ke mobil sebelum suara pintu terbuka lebar. "Kakak," panggil Isabela dengan mengenakan piyama tidurnya dan menatap lekat Arkana yang baru saja pulang. "Aku pikir, Kakak tidak akan pulang malam ini." Sambungnya membuka pintu lebar-lebar. Arkana tersenyum dan memeluk Isabela yang tampa masih mengantuk itu, "maafkan Kakak membangunkan kamu." "Tidak! Aku menunggu Kakak tadi, sampai ketiduran." Jawabnya dan menutup pintu setelah Arkana benar-benar masuk ke ruang tamu. Arkana melihat ada bantal dan juga selimut di sofa ruang tamu. Isabela benar-benar menunggunya. "Harusnya kau tidak perlu sampai tidur di sini," ucap Arkana merasa bersalah. Isabela hanya tersenyum, "tidak apa, Kak. Tidak perlu merasa bersalah. Hanya ketiduran kok! Mau Isabela buatkan teh?" "Tidak keberatan?" Tanya Arkana balik. Isabela menggeleng, "tidak! Kalau begitu tunggu sebentar. Aku akan membuatkannya untuk Kakak." Dari arah dapur, Isabela menatap Arkana yang sedang menselonjorkan kakinya. Laki-laki tampak sangat kelelahan. Walaupun Isabela masih merasa mengantuk, namun dia tidak mau mengabaikan Kakaknya begitu saja. Isabela juga merasa bersalah kepada Arkana karena mengabaikan semua kekhawatiran Arkana sejak bertemu dengan teman barunya. Drt Drt Isabela mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam saku piyamanya dan melihat ada pesan masuk dari seseorang yang dia kenal. Orang yang telah Arkana larang untuk ditemui namun malah berteman baik dengan Isabela. Bahkan mereka saling bertukar pesan. Isabela yang ingin berteman pun tidak menghiraukan Arkana yang berusaha untuk memberikan perlindungan kepadanya. "Di minum, Kak." Ucap Isabela setelah meletakkan cangkir berisi teh itu di atas meja. "Terima kasih," "Iya." Arkana meminum teh itu dengan cepat. Dia harus tidur sebentar dan berangkat ke markas sebelum misi dimulai. Setelah menghabiskan minumannya, Arkana pamit untuk masuk ke dalam kamarnya dan meminta Isabela masuk ke kamar juga. Mereka berpisah dengan Isabela yang meletakkan cangkir itu ke wastafel dapur. Perempuan itu menatap ke arah jendela, menatap sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah mereka. Berulang kali Arkana datang dengan mobil pinjaman dari Bosnya. Isabela merasa miris, harusnya kakaknya juga bisa membeli mobil 'kan? Setelah banyaknya pekerjaan yang Kakaknya lakukan selama ini. Isabela ingin membantu dengan bekerja part time, namun Arkana selalu melarangnya. Isabela tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ingin berdebat dengan Arkana. Toh, selama ini Arkana sudah mencukupi kebutuhannya. Hanya saja, Isabela tidak ingin Arkana mengambil banyak pekerjaan dan membuat kondisi tubuhnya menurun. Isabela tidak ingin Arkana sakit apalagi sampai kehilangan kakaknya itu. "Kakak," ucap Isabela saat melihat Arkana sudah keluar dari kamarnya padahal baru setengah jam masuk ke kamar. Arkana cukup terkejut karena melihat Isabela, "kamu ngapain di situ?" "Aku cuma enggak bisa tidur. Kakak sendiri mau pergi kemana lagi?" Tanya Isabela mengerutkan dahinya. "Kakak harus mengantar mobil itu. Bos yang meminta Kakak untuk mengantarnya sekarang." Ucap Arkana. "Tidak bisa besok? Padahal Kakak baru saja pulang," "Tidak apa-apa, lagipula ini bukan milik Kakak." "Baiklah! Apa Kakak tidak apa-apa pergi sendirian?" Arkana mengangguk, "tidak apa-apa." "Aku mengkhawatirkan Kakak." Ucapan Isabela membuat hati Arkana sakit. Dia berulang kali membohongi adiknya dengan alasan-alasan yang terkadang tidak masuk akal. Isabela selalu memberikannya semangat dan terus membuatnya merasa bersalah karena meninggalkan Isabela sendiri di rumah. Setiap kali ingin pergi dari rumah seperti ini, perasaan Arkana campur aduk. Antara ingin segera pergi dan takut terjadi sesuatu di rumah. Terlebih dirinya tidak bisa mengawasi Isabela dua puluh empat jam. Arkana tersenyum tipis, "jaga diri baik-baik, ya." "Oke! Aku bukan anak kecil, Kak. Semuanya akan baik-baik saja." Ucap Isabela yang membuat Arkana sedikit merasa tenang. Arkana berjalan keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Dia melambaikan tangan ke arah Isabela dan melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang. Arkana memang pergi, namun tidak mengantarkan mobil kepada Bos-nya. Namun dia kembali ke markas karena Happy memanggilnya. Happy mengatakan ada masalah dengan beberapa hal karena misi ceroboh mereka tadi. Setelah sampai di sana, Arkana menyesuaikan wajah yang sudah di setting untuknya. Arkana berjalan masuk ke dalam markas dan menemukan Happy yang sedang duduk menatap layar laptopnya. Arkana mengeluarkan beberapa kaleng minuman soda di atas meja dan menyodorkan satu untuk temannya itu. Mungkin, namanya akan berganti menjadi Big Boss ketika masuk ke ruangan ini. Ya, nama yang membuatnya menjadi pemimpin untuk Jendela Kematian. "Kau selalu membawa soda. Tidak adakah agenda meminum alkohol sedikit saja?" Tanya Happy dengan wajah malasnya ketika melihat minuman yang dibawa Big Boss ke markas mereka. Laki-laki itu hanya menaikkan bahunya acuh, "kita dalam misi, dilarang mabuk-mabukan. Kau bisa membeli bar-nya jika ingin mabuk. Jadi jangan menyusahkan tim saat misi berlangsung. Apalagi kau punya andil yang besar. Jika kau salah sedikit saja, matilah kita semuanya." Happy tertawa pelan, "jika aku membeli bar, pasti orang-orang di luaran sana akan bertanya tentang bagaimana aku mendapatkan uang dan menjadi pengusaha kaya raya. Bahkan orang-orang disekitarku menyebutku sebagai orang miskin." "Mereka akan menyesal mengatakan hal itu. Tapi, kau bisa membuat uang itu berputar tanpa menggunakan namamu. Jadi tidak ada yang tahu jika itu semua asetmu. Tinggal kau manfaatkan pengusaha-pengusaha bodoh itu. Manfaatkan saja sesuatu dari mereka. Mudah!" Usul Big Boss sambil menepuk bahu Happy. "Kau benar-benar cerdik sekali. Mungkin akan aku praktekkan setelah aku selesai dengan misi ini." Ucap Happy bangga kepada dirinya sendiri. Mereka tertawa pelan sampai akhirnya kembali memasang wajah serius. "Kembali lagi pada masalah kita." "Apa?" Tanya Big Boss menatap ke arah layar laptop. "Sepertinya King sedikit membuat masalah, ya?" Sambungnya dan mendapatkan anggukan dari Happy. "Sistem mereka semakin diperketat, lihatlah drone ku yang sulit untuk melakukan pemindaan terhadap isi gedung. Drone ku juga tidak bisa memperkirakan berapa orang yang berada di dalam sekarang. Bisa saja mereka menyiapkan pasukan khusus untuk menjaga Prada sehingga kita akan sulit mengeksekusinya." Ucap Happy menunjukkan beberapa jendela yang sudah mereka tunjuk sebagai tempat eksekusi. "Jika drone tidak bisa memindai, maka kita bisa gunakan perempuan itu." Ucap Big Boss menunjuk ke sebuah tanda merah pada gedung. "Kurasa, mereka berhasil memasang alat pengendali itu. Mereka sudah tahu kondisi yang akan terjadi dan menggunakan perempuan itu sebagai alat." Lanjut Big Boss tersenyum senang. "Ah, kita akan menaklukkan permainan mereka." Ucap Happy serius. "Dan aku akan mengambil alat itu kembali!" Batin Big Boss dengan amarah di kedua matanya. ~~~~~~~~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN