Prolog

1215 Kata
__________________________ //JENDELA KEMATIAN// __________________________ Pedoman "Kami tidak jahat, tetapi kami hanya sedang menjalankan perintah dari orang-orang jahat. Kami tidak berkuasa, tetapi kami hanya sedang menjalankan perintah dari orang-orang berkuasa. Kami hanya orang biasa, tetapi kami hanya menjalankan tugas dari orang-orang luar biasa." Peraturan 1. Wajib memiliki nama panggilan rahasia (boleh nama binatang, benda, sifat, apapun, selain nama orang). 2. Memakai topeng wajah yang sudah dirancang. 3. Menggunakan baju khusus, sepatu khusus, dan peralatan khusus standar dari Jendela Kematian. 4. Membawa senjata (wajib). 5. Dilarang memberi tahu identitas pribadi kepada siapapun (termasuk anggota lainnya). 6. Menggunakan jaringan khusus dari Jendela Kematian untuk menerima panggilan telepon. 7. Keuntungan setiap kali eksekusi dibagi rata. 8. Wajib datang tepat waktu. 9. Semua anggota wajib untuk observasi bersama dan menentukan di jendela mana eksekusi akan dilakukan. 10. Sebelum misi dilakukan, harus dalam keadaan sehat, tidak menggunakan obat apapun, tidak mabuk, fokus. 11. Harus mempunyai pekerjaan lain (selain pembunuh bayaran). Waktu Libur Libur tanpa tugas, tanpa misi, tanpa telepon, dan tidak menerima job ketika libur. Setiap tanggal 20-23. Struktur Kepemimpinan Ketua : Big Boss Rekan Utama : 1. King 2. Bear 3. Happy 4. Beauty ###################### SUARA klakson bersahutan—seakan tidak sabaran dengan kondisi lampu merah yang enggan berubah hijau. Asap-asap kendaraan membumbung tinggi, membuat polusi semakin parah saja. Aroma keringat karena teriknya matahari pun bercampur menjadi satu di jalanan. Terlebih ketika ada dua anak pedagang asongan yang lewat, baunya tidak karuan. Beberapa tukang koran beraksi, saling berebut untuk menawarkan korannya yang lusuh. Sayangnya tidak ada yang tertarik. Mana ada yang mau membeli kertas bertinta setelah munculnya alat canggih nan praktis di era modern ini? Brum... Tepat ketika lampu berubah hijau, semua kendaraan yang berada di jalan berlomba-lomba tancap gas agar tidak terjebak lampu merah untuk kedua kalinya. Jika ada yang apes pun, mau tidak mau berhenti karena ada beberapa petugas yang siap mencatat pelanggaran sedikit saja. Suara cempreng pedagang krupuk pun menggema—membuat beberapa orang terusik dan memilih untuk pura-pura tidak mendengar saja. Setelah kendaraan-kendaraan itu terbebas dari kejamnya lampu merah selama 45 detik, mereka harus bersabar kembali di persimpangan kota. Sebuah gedung putih berlantai dua, dengan pilar-pilar putih seperti istana—gagah, tinggi, kokoh, dan menawan hati—sedang ramai oleh lautan manusia. Gedung itu berada di pusat kota dan sedang digunakan untuk menggelar sebuah acara penting di dalamnya. Sayangnya, acara di gedung itu, membuat pengalihan jalur utama ke jalur alternatif. Terdengar umpatan kasar dari pengemudi kendaraan bermuatan. Mereka merasa rugi waktu dan tenaga karena harus lewat jalur alternatif yang nyatanya tidak efektif. Karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' pun berjajar di depan gedung. Rangkaian bunga yang mewah dan cantik pun menjadi keunggulan nama-nama perusahaan yang tertempel di sana. Di depan gedung itu mulai berjajar mobil mewah dengan banyak versi dan rata-rata keluaran terbaru. Tidak ada yang membawa kendaraan roda dua, semuanya beroda empat dan mewah. Harganya fantastis, entah cash atau kredit—yang penting bisa bergaya di depan kamera. Ada banyak wartawan dari semua stasiun yang hilir-mudik seperti burung yang mencari mangsa. Mobil dengan logo stasiun televisi itu pun terparkir disisi utara—memisahkan diri dari mobil-mobil tamu undangan. Mereka sibuk menyiarkan secara langsung acara itu dengan sangat antusias. Tidak jarang ada beberapa orang yang diwawancarai di depan kamera. Tamu-tamu yang datang pun dari kalangan yang tidak bisa dikatakan biasa saja. Laki-laki mengenakan tuxedo dan perempuan mengenakan gaun mewah—tentunya rancangan desainer kondang di negara ini. Dan yang paling mencolok dari semua itu adalah gedung yang dihias sedemikian rupa untuk acara megah siang ini. Sebuah acara pernikahan seorang pengusaha kaya raya yang memiliki perusahaan di mana-mana. Terlihat dengan jelas, pasangan pengantin yang sangat serasi itu sedang berdiri berdampingan, saling membaur dengan tamu undangan yang datang. Bukannya sibuk bicara soal pernikahan, mereka lebih sibuk membahas tentang pembangunan perusahaan baru sang pengantin laki-laki. Ruangan itu hanya penuh dengan gerombolan orang-orang yang terus membicarakan pekerjaan dan juga hartanya. Tidak jarang mereka saling memamerkan apa yang saat ini melekat di tubuh mereka. Perhiasan atau pakaian dengan harga ratusan juta. Benar-benar manusia-manusia tamak dan sombong. "Perusahaan kami akan membuka cabang di kota sebelah, Pak. Kalau untuk soal kerjasama, nanti kita bahas lebih lanjut." "Rumah yang di pulau itu? Saya menghadiahkan untuk pernikahan putri saya." "Mobil yang kemarin sudah tidak saya pakai lagi. Mobil untuk orang-orang seperti kita ini 'kan hanya sekali pakai saja. Setelah itu masuk garasi dan beli yang baru." "Ah, perhiasan itu, sudah tidak jaman lagi. Makanya saya beli yang baru. Ini perhiasan mahal yang limited edition lho! Tidak semua orang bisa membeli, apalagi memakainya." Dan masih banyak lagi cuitan kesombongan yang keluar dari mulut-mulut tamu undangan itu. Beberapa diantaranya memilih diam sambil menikmati hidangan dengan rakusnya—seperti tidak pernah menikmati makanan enak selama hidupnya. Bahkan, pelayan dengan seragam warna hitam-putih itu pun keluar dengan membawa nampan-nampan berisi makanan. Mengisi setiap wadah yang hampir kosong. Lalu beberapa orang datang lagi, menyerbu makanan itu sampai habis setengahnya. "Pernikahan sampah..." Pengantin perempuan berjalan sendiri, menyeret gaunnya pelan menuju ke gerombolan yang datang. Perempuan-perempuan sosialita dengan gaya elegan berdiri di dekat jendela. Saling bicara, mengangkat gelas masing-masing dan tertawa tanggung. Mereka semua hanya menggunakan topeng—saling berteman tetapi saling iri juga. "Kunci sasaran..." Dorrrr... Sebuah peluru berhasil bersarang di tubuh pengantin perempuan, membuatnya sedikit oleng dan jatuh keluar jendela. Semuanya panik, tamu undangan berusaha untuk menjangkau jendela dan melihat siapa yang jatuh dari lantai atas dan siapa yang telah menarik pelatuk sampai membuat tubuh orang itu terjengkang ke belakang. Orang-orang yang berada di jalan kaget setengah mati, melihat tubuh tanpa nyawa yang mungkin sudah patah tulangnya. "Arel..." Teriak pengantin laki-laki dari jendela, memperhatikan pengantinnya telah mati mengenaskan di sana. "Panggil polisi!" Suara berisik itu kembali terdengar—bukan lagi suara orang-orang saling pamer kekayaan. Tetapi orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri, takut terkena amukan peluru dari orang yang tidak dikenal. Mereka tidak mencari siapa pelakunya, apa motifnya. Karena mereka terlalu takut dan memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Bukankah orang-orang jaman sekarang lebih peduli kepada diri sendiri daripada orang lain? Tidak hanya begitu, mereka menonjolkan kemampuan diri dan merendahkan orang lain sampai serendah-rendahnya. "Heh, jangan kabur kamu!" Pengantin laki-laki itu menunjuk ke arah atap gedung seberang, melihat seseorang dengan senapan berdiri tanpa bergeming sama sekali. Tidak ada ketakutan atau keraguan, bahkan tidak ada lari-larian untuk segera menghindari orang-orang. Seseorang di atap gedung itu seperti sedang menunjukkan diri—aku ada! Begitu kurang lebihnya. Pengantin laki-laki itu terdiam, memandang orang yang telah menembak pengantinnya sampai meninggal di tempat. Membuatnya menjadi duda sebelum mencicipi nikmatnya malam pertama. Ah, atau sebelum itu sudah tidur seranjang pun tetap saja namanya bukan malam pertama ketika sudah menikah. Aneh! Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tetapi tidak mau membuka mulutnya. Hanya ada praduga yang membuatnya semakin takut. Langkahnya mundur, tidak jadi menunjuk-nunjuk ke arah orang yang masih memegang senapannya. Tamu undangan saling bertabrakan, berusaha untuk segera keluar dari gedung dan kabur ke kendaraan masing-masing. Beberapa wartawan mencoba mengambil gambar sang penembak yang berada di atas gedung, seperti sedang menikmati pemandangan yang kacau karena ulahnya. Beberapa wartawan lagi memotret-motret ke bahu jalan, melihat jasad pengantin perempuan yang sangat mengenaskan. "Apa ... apa yang terjadi?" Tanya salah satu orang kepada pengantin laki-laki itu. "Itu..." Ucap pengantin laki-laki itu sambil menunjuk ke arah atap gedung di mana orang bersenjata itu masih berdiri di sana. "Jendela Kematian, kembali..." #####
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN