BAB 3

3176 Kata
Bagi Thunder yang tak pernah membahas masalah ini dengan siapapun, sangat aneh mendengar pertanyaan Afi yang terkesan menilai buruk pada pekerjaan pria tersebut. Namun, ketimbang membuat keadannya keruh, Thunder memutuskan memberikan kecupan pada bibir Afi dan berkata, "Apa kita harus bahas pekerjaan disaat begini, hm?" Afi tahu Thunder sedang berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Sayangnya bagi Afi, dia tak mau menunggu jawaban dengan metode tarik ulur yang tak jelas kepastiannya. "Aku mau kejelasan aja. Bang Unde enggak jawabpun aku enggak maksa." Balas Afi dengan tenang. Tak ada pembawaan Afi yang membuat Thunder kecewa. Terlalu tak bertele-tele membuat Thunder memang tertarik lebih dalam pada Afi. "Kamu mau jawaban yang gimana? Saya enggak paham kenapa kamu tiba-tiba menanyakan orientasi seks saya sekarang. Apa setelah kamu merasakan berhubungan dengan saya yang sudah berpengalaman, sangat aneh bagi kamu?" "Enggak aneh. Aku cuma mau jawaban jujur. Bang Unde boleh memilih diam, kok." Geografi bukan memaksa dengan cara yang biasanya perempuan lain lakukan. Bentuk paksaannya adalah membuat lawan bicaranya tak enak hati, meski Afi terlihat biasa saja. Akan sangat kekanakan bila membuat hal seperti ini menjadi perdebatan keduanya. "Afi... saya enggak merasa menyukai sesama jenis sejak dulu." "Tapi bang Unde main sama cowok juga divideo." Balas Afi sedikit tak sabaran. "Iya... itu tuntutan pekerjaan. Saya enggak main dalam adegan seks sebenarnya, untuk beberapa lawan main, terkadang itu hanya permainan kamera dan teknik editing yang hebat. Kamu tahu sendiri, agensi saya bukan milik orang asia. Video barat lebih banyak setting-an tentu saja." "Itu berarti... sebagian lagi ada yang real?" tambah Afi. Tebakan perempuan itu tak salah, karena Thunder mengiyakan melalui anggukan. Harapan Afi mendapatkan Thunder yang bersih sepertinya tak bisa dilanjutkan. "Oke. Kalo gitu bang Unde bisex." "Saya enggak mengatakan kalo saya bisex. Enggak ada jaminan kalo saya menikmati permainan dengan sesama jenis." "Terus? Bang Unde sebenarnya gimana?" "Afi, saya enggak tahu. Ini murni saya enggak paham kenapa kita membahas ini." "Ini untuk kelangsungan kesehatanku sendiri, Bang. Kalo bang Unde terlalu sering ganti pasangan, aku enggak bisa jamin diriku aman. Aku enggak bisa lanjut dengan kebiasaan bang Unde yang itu." "Kamu mau mengakhirinya? Bahkan sebelum kita sepakat akan seperti apa menjalaninya?" tanya Thunder sarat akan keberatan. "Hm. Aku enggak bisa lanjut hanya karena aku suka dan ketagihan cara main bang Unde. Aku akan mengurus diriku sendiri, dan semuanya berjalan seperti semula." "Geografi!" seru Thunder kesal. "Kenapa kamu suka sekali membuat saya kesal?!" Afi menghela napasnya sendiri. Dia tidak suka dengan pemikiran bahwa Thunder akan tetap berganti pasangan ranjang sedangkan diri Afi sendiri baru merasakan satu ciri bermain pria, yaitu Thunder. "Bang, aku enggak mau membatasi pekerjaan itu. Bagaimanapun pekerjaan itu yang membesarkan bang Unde dan memberikan penghasilan yang diluar nalar juga. Jujur, aku enggak suka dan enggak akan pernah suka kalo laki-laki yang tidur denganku juga memberikan dirinya buat orang lain saat enggak ada kendala apapun bagiku untuk menjadi satu-satunya pasangan tidurnya. Aku enggak mau berbagi barang kesayanganku dengan orang lain." Thunder meraba kepalanya yang seketika pening. "Jadi, kamu mau saya mundur dari pekerjaan kalo ingin hubungan ini berlanjut?" Dahi Afi mengerut. "Aku enggak bilang begitu. Udah aku bilang, kalo bang Unde punya nama besar disana--" Thunder tak bisa membiarkan Afi meneruskan kalimatnya. Pria itu ingin mengecap dan melumat habis bibir Afi hingga perempuan itu tahu, tak akan pernah mudah melepaskan seorang Thunder Kaisar dalam hidup perempuan itu sendiri. * Ciuman yang jelas Afi rasakan tidak membuat perempuan yang sudah banyak mengalami banyak rintangan dalam hidupnya itu berhenti untuk mengatakan pada Thunder bahwa dirinya keberatan. Apapun bentuk bujukan Thunder, Afi juga akan membuat bujukan yang sama. Tak ingin dirinya terjerat akan kebodohannya sendiri. Ini bukan zaman dimana Afi merasa perlu mengatakan iya dan melakukannya. Afi bisa menjadi seorang penghianat tanpa perlu merasakan rasa bersalah apapun. "Didn't you like it?" tanya Thunder dengan wajah memerah setelah melepaskan ciumannya. Geografi tak pernah mengatakan jika dirinya membenci sebuah ciuman. Dia bahkan sudah berkali-kali merasakan ciuman dari pria yang kini berdiri dan Afi yang duduk di atas meja makan. Mereka tak memiliki tempat yang proper setiap bersama dan ingin membuat setiap situasi membaik. Seperti sudah digariskan untuk melakukan banyak hal yang tak masuk akal saja. "Yeah, aku enggak pernah bilang bahwa aku membenci ciuman yang kamu berikan. Tapi itu enggak menjadi satu jaminan untuk membuatku percaya hubungan ranjang kita akan berjalan bagus seperti cara kita berciuman." Thunder mengecup pipi Afi, membuat perempuan itu memejamkan mata karena hangat sekaligus dingin yang menyapa. Sebagai perempuan Afi tahu bahwa setiap desah yang keluar dari mulutnya adalah jawaban dari apa yang perempuan itu rasakan sebenarnya. Namun, Afi tetap memikirkan dirinya sendiri sebagai manusia yang sudah banyak belajar dari pengalamannya sendiri. "Gimana saya harus meyakinkan kamu, jika kamu membatasi diri begini, Afi? Bukannya kamu juga paham kalau saya bekerja untuk mengurus diri saya sendiri serta kamu selama ini? Bagaimana bisa dengan mudahnya saya melepaskan pekerjaan saya hanya demi kamu?" Bagi sebagian perempuan, mungkin akan sangat menyakitkan ucapan Thunder dibagian terakhir kalimat pria itu. Untungnya bagi Afi yang memahami betul sedang berhadapan dengan siapa, dan apa yang diinginkannya, Afi tak akan menjadi perempuan penuh drama dan membuat Thunder kesal hanya karena kelakuan manja dan tak bermutunya saja. "Oke. Enggak perlu bang Unde bujuk segala. Gini aja, bang Unde bisa tidur denganku, begitu juga sebaliknya. Tapi aku mau peraturan aku tidur dengan yang lainnya juga berlaku. Bukan hanya bang Unde yang boleh berhubungan dengan yang lain." Rahang Thunder jatuh karena ucapan Afi yang ketika dibayangkan saja oleh pria itu sudah membuat marah, apalagi jika benar-benar ada yang mendekati dan tidur dengan Afi? "Apa kamu enggak memikirkan bahwa saya berhubungan dengan banyak lawan main itu tuntutan pekerjaan? Jangan samakan dengan apa yang ingin kamu dapatkan dengan setara itu. Kalau kamu meminta setara, maka kamu harus lakukan untuk pekerjaanmu juga." Afi menegakan punggung. Dia mengangkat kedua tangannya seperti orang menyerah. "Oke, oke." Ditariknya napas lebih dulu. "Gini aja. Aku enggak meminta apapun untuk setara, aku enggak akan menuntut apapun itu ke bang Unde. Tapi seperti ucapanku diawal, enggak perlu ada hubungan lebih lanjut diantara kita berdua. Gitu aja." Thunder mendengkus. Pria itu tak membalas ucapan Afi, meninggalkan pembicaraan mereka tidak menemui titik terang. Afi hanya mengamati kepergian pria itu. Tak mau memanggil hanya untuk memperpanjang pembicaraan. Bagi Afi sendiri, ketika penjelasannya tak dibantah sama sekali oleh Thunder, tak ada yang perlu dilanjutkan untuk diperdebatkan. Turun dari meja makan. Afi berjalan menuju kamarnya sendiri dan mendapati Thunder telanjang di ranjang milik perempuan itu. Kening Afi mengerut dalam. "Baca isi naskahnya. Saya akan mencoba mempraktikannya sama kamu. Kalau ternyata kamu memang kandidat terbaiknya, maka saya akan menyetujuinya." "Setuju apa?" tanya Afi membalas. "Setuju untuk tidak bermain dengan orang lain. Hanya kamu, tapi dengan ketentuan saya enggak keluar dari agensi." Afi tak paham, dia kembali mempertanyakan apa maksud Thunder. "Maksudnya gimana, Bang? Kalau enggak keluar dari agensi akan sama aja, bukan?" Thunder menggeleng. "Enggak akan sama. Dengar, Afi. Ini kesempatan kamu membuat saya percaya bahwa dengan bermain dengan kamu seorang tetap akan membuat pekerjaan saya tetap. Dan dengan kamu sebagai pasangan saya yang tetap, maka penghasilan saya akan tetap ada." Memulai berpikir bahwa semua ini adalah mengenai kesepakatan, Afi mencoba memberanikan diri membuka lembar naskah yang selama ini Thunder berikan padanya, tetapi tak pernah benar-benar dibuka apalagi dibaca oleh Afi. Disana, tertera bagaimana skenario sebuah film dewasa terlaksana. Afi bisa membayangkannya dengan jelas. Dia sudah bisa meraba bagaimana Thunder akan mendominasinya dalam naskah tersebut. Lalu pandangannya yang naik bertemu dengan milik Thunder yang sudah siap ditengah ranjang. "Kalau aku mau menerima tawaran ini, dan bang Unde suka... apa yang terjadi?" "Kamu akan seterusnya menjadi pasangan saya, dalam semua film yang akan saya bintangi. Saya tetap bertahan di agensi, bekerja, begitu pula kamu. Dengan catatan, kita hanya melakukan monogami dalam film maupun diluarnya." Afi menggaruk kepalanya. Susah banget mau bikin kesepakatan sama bintang p***o. * Afi mengambil kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya b******a dengan skenario yang sengaja dibuat. Bukan nikmat yang dirinya dapat, justru Thunder terus menerus berhenti untuk mengingatkan Afi mengenai skenario yang berjalan. Rasa kesal menjalari Afi. Dia tak suka dengan rancangan yang seperti ini. "Berhenti, deh, Bang." Kata Afi membuat Thunder membelalak. "Kenapa?" "Gue enggak enjoy lagi!" Thunder melihat Afi dengan tatapan tak suka. Perempuan itu kembali menyebut dengan gue dan lo yang Thunder tak sukai. "Apa itu, Fi? Saya udah bilang, kan untuk enggak pakai panggilan itu!" Geografi memandang Thunder yang tak suka dibalas pandang dengan datar. Afi tak peduli, yang jelas dirinya kini tak suka dengan setiap gerakan Thunder yang terlalu diatur. Afi menginginkan hubungan ranjang yang lepas, tidak dibatasi dan dihentikan sewaktu-waktu seolah mereka tak bisa menikmati momen itu. "Sori, Bang. Gue enggak suka main yang begini. Gue kesel lo main ngadet-ngadet dan berisik soal adegan selanjutnya. Gue enggak suka diginiin!" balas Afi. Didorongnya tubuh Thunder dengan paksa. Tak peduli pria itu memang masih berdiri menatap Afi. "Afi—" "Gue kasih tahu, Bang. Gue enggak akan bersikap manis sama lo tanpa ada hubungan apapun. Kalo lo terima syarat dari gue, panggilan semacam ini bisa gue ubah. Tapi kalo enggak, gue enggak minat dibegoin sama napsu doang!" Melangkah menuju kamar mandi, Afi mengabaikan Thunder dengan frustasinya akan sikap Afi. Perempuan itu tak mau menuruti kemauan Thunder, memiliki sifat keras yang tidak pernah Thunder ketahui akan sejauh ini. Mereka bisa membicarakannya dengan baik-baik tanpa harus saling adu urat dan menyalahkan sebenarnya. Namun, Afi tak suka dengan gagasan bicara kembali dengan Thunder yang masih berat memutuskan hal besar—bagi Afi—yang akan mereka jalani. "Afi! Geografi!" Tak menuruti ucapan Thunder. Afi tetap mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Mungkin kebanyakan orang akan berpikir bahwa cara itu akan hanya dilakukan oleh pria, tapi Afi tak keberatan mendinginkan kepalanya yang sebelumnya terpenuhi dengan bayangan Thunder berada di atasnya. Afi sedikit tersentak karena Thunder memeluknya dari belakang. Mengusap d**a Afi pelan, serta memberi kecupan pada tengkuk perempuan yang tidak ingin menyebutkan gender- nya pada semua orang disekitarnya. Membiarkan semua yang melihat Afi bertanya dalam hati hingga penasaran. Meski ada juga yang bodoh saja, seperti Thunder ini. Jika belum membuka celana dalam Afi, dan merasakan milik Afi yang sebenarnya, mana mungkin peka dengan semua yang diam-diam Afi lakukan sebagai perempuan di rumah pria itu. "Kita perlu bicara, Fi." Afi menghela napasnya kesal. Dia merasa kesal dan bisa dikatakan moody karena keinginannya mendapatkan pelepasan tak tercapai. Jadi, membiarkan saja mulut Thunder bicara adalah keputusan terbaik bagi Afi. "Oke. Aku minta maaf. Sama sekali enggak bermaksud membuat kamu enggak nyaman. Tapi tadi memang murni untuk percobaan, kan? Dan ternyata kamu enggak cocok dengan hal itu. Aku yang harusnya enggak maksa kamu." "Giliran gini aja, bang Unde bisa ngomong baik-baik." Keluh Afi yang mulai mematikan keran shower dan berbalik menghadap Thunder. "Gue enggak mau langsung terima gitu aja, sih, Bang. Tapi emang lo perlu gue akuin, bikin ketagihan." Thunder tak sungkan mengecup bibir Afi. Didorongnya pelan d**a Thunder agar tidak dulu melayangkan serangan lainnya. Afi sedang tak ingin tanggung untuk kedua kalinya. Ketika tatapan Thunder ingin kembali memprotes, Afi tidak tanggung-tanggung berkata, "Mungkin bang Unde akan lebih baik seperti semula. Kalo masih kita terusin... enggak akan ada kata sepakat. Gue juga enggak berniat membuat lo milih, Bang. Udah, cukup jangan dipaksain." Thunder terdiam. Begitu Afi kembali sibuk untuk benar-benar mandi, Thunder memang merasa ada yang aneh. Dia tak bisa begitu saja putus akan dunia yang membesarkan namanya, dia juga belum sepenuhnya mengenal Afi secara—pria dan wanita—pasangan. Memilih mundur dan pergi dari sana adalah pilihan terbaiknya saat ini. Sedang Afi, dia tahu kalau Thunder akan lebih berat meninggalkan dunia itu ketimbang dirinya. Tarik ulur yang terjadi hanya membuang waktu saja. Meski ada yang membuatnya kesal, Afi tak ingin membatasi Thunder. Itu pilihan pria tersebut. Bahkan Afi sudah hidup enak tanpa sadar dari hasil Thunder yang seperti itu. Jadi, tak ada keadilannya jika Afi memaksa Thunder memilihnya. Mungkin memang hanya seperti itu saja hubungannya dengan Thunder. Tak akan ada perubahan apapun. Mereka tetap partner kerja dan Afi tetaplah bagian di rumah Thunder yang selalu diberi perhatian lebih ketimbang orang terdekat pria itu lainnya.  Walau setelah ini akan sangat perlu menahan keinginannya membawa Thunder mendominasinya, Afi akan tetap bertahan. Atau... gue pindah aja dari sini, ya?   * Pagi-pagi sekali Afi bangun dan tidak mendapati Thunder di rumah itu. Ya, sejak pembicaraan mereka di kamar mandi Afi tidak berakhir dengan baik, mereka tak memutuskan saling menyapa. Alasan Afi karena Thunder yang menghindar, sedangkan alasan pria itu tak Afi ketahui mengapa menghindari Afi yang biasa saja. Entah siapa yang salah saat ini, Afi tak mau ambil pusing. "Paling juga olahraga." Afi mengangkat bahunya tak peduli. Perempuan itu bersiap-siap menuju lokasi pemotretan yang sebenarnya. Bukan lagi pemotretan semacam yang Nusa inginkan. Meskipun, ya... bayaran yang Afi dapat memang tidak main-main. Bisalah untuk membeli satu unit apartemen untuk dirinya tinggal sendiri. Mulai mandiri, tanpa mengandalkan Thunder terus menerus. Baru saja mengikat rambutnya asal. Thunder sudah berdiri dibelakang tubuh perempuan itu yang berbalik tanpa mengira adanya keberadaan pria itu disana. "Astagaaa! Kenapa ngagetin, sih, Bang???" "Kamu mau kemana rapi sekali?" "Kerjalah. Mau kemana lagi emangnya? Nge-j****y?" balas Afi membuat Thunder membelalakan matanya. "Kamu bahkan bisa membalas dengan lebih sopan." Kata Thunder yang membuat Afi mau tak mau menghela napas. "Terserah lo, deh, Bang." Kata terserah dan sikap Afi yang begitu saja mengabaikan Thunder membuat pria itu semakin kesal. "Geografi." Afi membalikkan badannya. Menatap Thunder yang sulit sekali memberi jarak diantara mereka. Tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan sekarang, Afi tahu betul kalau Thunder tak membuat hubungan diantara mereka seperti biasanya. "Bang. Kan, kita udah sepakat buat balik lagi kayak biasanya. Enggak ada yang perlu—" Thunder menggantikan ucapan Afi dengan menciumnya cepat. "Siapa bilang saya akan menerima itu?" "Terus bang Unde udah sepakat buat keluar dari..." "Enggak secepat itu juga. Harus ada proses yang harus dilakukan sebelum benar-benar keluar." Thunder mengusap pipi Afi. "Selama itu, jangan membuat keputusan untuk tidur dengan pria lain." * "Oiiii, Defiiii!" Seperti biasa, Dego akan langsung menyambar Afi untuk langsung mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Apa lagi jika bukan jawaban akan hasil dari pulang bersama Danusa Roedjati. "Gimana hasilnya? Dia ngapain lo aja?" tanya Dego begitu saja. "Apaan, sih? Hasil apaan?" Balas Afi tanpa susah melihat kearah Dego. "Hm... pura-pura b**o, deh sekarang. Kemaren aja, waktu pemotret—" Afi segera membekap mulut Dego yang sangat lancar sekali ingin membuka rahasia didepan Thunder. Ah, kenapa Afi sampai mau menutupi mulut Dego itu karena Thunder sendiri yang tadi memang memaksa untuk mengantarkannya. Pria itu berjalan pelan menuju Afi dan Dego. "Kenapa?" tanya Thunder dengan pandangan aneh dengan kedua orang itu. "Kalian membicarakan saya?" tebak Thunder. Dego menggeleng. "Siapa yang lagi ngomongin bang Unde. Kita lagi ngomongin yang lain." Celetuk lelaki itu. Pandangan Thunder seutuhnya berganti pada Afi. Menginginkankan jawaban yang jelas dari ucapan Dego. "Siapa, Fi?" Dego merasakan tensi yang naik disana. Dia menarik Afi, dan mencoba mencairkan suasana. "Hahaha. Bang Unde bisa gampang kepancing, ya. Kenapa, nih? Kayak orang cemburu aja." Afi semakin memejamkan mata karena mulut Dego yang tidak bisa diatur dengan baik. Mana bisa bicara seperti itu didepan Thunder yang sangat posesif pada Afi sekarang ini. Sudah pasti Thunder makin akan meminta penjelasan. "Saya tunggu kamu do mobil, Fi. Selesai disini, langsung ke mobil." Dego menatap bingung. Matanya melebar saat melihat Thunder sangat marah, tetapi memilih diam pada Afi. "Defi... dia tahu lo cewek???" * Geografi tidak bisa berbicara mengenai apa yang sekarang sedang terjadi. Pertanyaan Dego mengenai apakah Thunder tahu atau tidak sengaja Afi tak jawab. Membiarkan si mulut besar itu tidak tahu mengenai apa yang sedang terjadi. Memangnya jika Afi membagi tahu, masalahnya akan selesai? Bekerja dan membiarkan Dego adalah cara paling ampuh. Tidak memikirkan mengenai Thunder yang sudah dipastikan akan menodongnya mengenai apapun yang tadi pria itu curi dengar sekilas tadi. Baru selesai menata pikiran sebelum menghadapi Thunder masalah lain datang tanpa diundang. Danusa yang menatap Afi dari ujung studio pemotretan membuat Afi kebingungan sendiri. Berharap semoga Thunder tidak masuk dan mendapati gelagat Nusa yang berbeda pada Afi. Dego yang memang selalu siap siaga untuk mengganti set menilik pada Nusa yang sudah seperti binatang haus akan mangsa. Sebenarnya, Dego iri dengan keberhasilan Nusa mendekati Afi, walau hanya sebatas fisik. Setidaknya, Afi memang cantik dan memiliki aura sendiri untuk dikagumi—bahkan dimiliki. Walau memiliki mulut lemes, Dego tetap mengagumi Afi dan berharap saja bisa mendapat kesempatan untuk merasakan khilaf bersama perempuan yang ketat sekali menjaga citra sebagai model androgini saja itu. "Oke. Thank you buat hari ini!" Afi berseru pada semua kru yang bertugas hari ini. Sama sekali tak mau membuang waktu lama. Buru-buru dia keluar studio dan berencana mengganti pakaian casual- nya. Nusa mengambil kesempatan tersebut untuk mengikuti Afi. Perempuan itu tidak terlalu peduli pada siapa yang berjalan di belakangnya. Afi lebih peduli agar tak melalui perdebatan panjang lagi dengan Thunder, itu saja. Menutup pintu gantinya, Afi tahu kalau dia akan menghadapi masalah walau sebenarnya tak ingin. Keluar dan mendapati Nusa duduk dengan santai dan elegan di ruangannya berdandan, Afi hanya mengerling tak paham. "Ngapain lo?" tanya Afi santai. "Buat lihat kamu." Afi menatap ngeri pada Nusa yang mengganti panggilan pria itu padanya. Aku dan kamu adalah panggilan yang terlalu ekstrem bagi Afi. "Ngapain buat lihat gue? Kurang kerjaan lo, ya! Sana, deh! Gue lagi enggak pengen adu urat, Bang Nusa." Sengaja Afi tekankan panggilan serta nama Danusa diakhir ucapannya. "Kamu memang beda dari perempuan lainnya, Fi. Itulah kenapa aku enggak bisa menghentikan pikiran ini akan kamu." Nusa berdiri mendekati Afi. "Apa ciuman waktu itu enggak membuat kamu menyukainya? Aku jelas menyukai semua yang berhubungan dengan kamu." Afi menahan d**a Nusa yang mengikis jarak diantara mereka. Afi sendiri memang harus membersihkan sisa riasan diwajahnya, bukan untuk diganggu oleh Nusa seperti ini. "Bang... gue enggak ada niatan buat ladenin permainan lo. Gue lagi buru-buru." "Siapa? Thunder?" Afi mengernyit. "Apaan maksudnya Thunder?" "Dia nungguin diluar. Aku lihat dia ngerokok di taman deket parkiran. Kamu yakin dia enggak lagi stres? Karena setahuku Thunder enggak toleran sama rokok. Dia penganut hidup sehat buat kelangsungan tubuh dan kerjaannya." Nusa menyeringai ketika mengucapkan kalimat yang berhubungan dengan tubuh serta pekerjaan Thunder. Afi yakin sekali kalau seorang Danusa Roedjati akan memiliki kartu AS mengenai Thunder. Afi menunduk sekilas. Dia tahu bahwa memanfaatkan orang lain sangatlah tidak baik, tapi dia butuh menjadi jahat saat ini. "Lo punya kenalan sama agensinya Thunder?" tanya Afi tiba-tiba. "Hm... secara enggak langsung gue punya saham di agensinya. Kenapa? Kamu minat ikut agensinya? Mau main juga jadi bintang AV?" Afi kembali berpikir sejenak. Dia tidak berniat membuat Thunder keluar begitu saja, tapi dia akan mencoba cara lain supaya Thunder lebih peka bahwa ketika pasangannya di ranjang menyentuh dan disentuh orang lain, meski tak menggunakan perasaan, akan sama membuat rasa tak terima yang besar. "Kasih gue lawan main buat dipercobaan salah satu video. Gue enggak minat main beneran, tapi gue mau lo bikin Thunder hadir pas skenario itu bakalan berjalan, Bang." Senyuman Nusa lenyap seketika. Panggilan manisnya-pun langsung lenyap untuk Afi. "Lo lakuin itu... demi Thunder?" Afi membalas tanpa ragu. "Iya. Gue lakuin itu buat Thunder. Supaya Bintang p***o macam dia nyadar aja, gue juga enggak akan terima dia main sama perempuan lain." Danusa seketika saja merasakan lututnya lemas. Afi benar-benar perempuan yang berbeda dari yang lain. Ini buktinya, Afi tak main-main untuk langsung menyakiti Nusa.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN