Melihat kedatangan Afi dengan Nusa disebelahnya membuat Thunder sudah ketar ketir. Dia tak suka jika Afi dekat dengan lelaki yang sudah pasti menguarkan aura sukanya pada perempuan itu. Meski hingga sekarang, tak ada perubahan penampilan dari Afi yang mengindikasikan bahwa dirinya perempuan dimata para kru lainnya, Thunder tetap bergerak dari kursi dan mendekati Afi yang sudah berjalan menuju mobil.
Begitu dekat, Thunder tak menahan tangannya untuk menarik lengan Afi dan tentu saja langsung berjarak dengan Nusa. "Sudah selesai?" ucap Thunder lebih kepada memberi peringatan pada Nusa, karena pria itu melontarkan kalimat tersebut dengan tatapan menusuk pada Nusa.
"Ya, Bang. Gue udah selesai." Afi mencoba melepaskan kaitan jemari besar nan panjang Thunder dari lengan atasnya, tetapi tak bisa. Jika begini, Afi menjadi ingat bagaimana Thunder mencengkeram lengannya ketika bergulat dan Thunder tak mau membiarkan Afi mendapatkan apa yang dia mau secepatnya.
"Bang...."
"Masuk, Fi." Tekan pria itu.
Tak biasanya Thunder begitu defensif dengan rekan kerja Afi. Bahkan sebegitu dekatnya mereka tak akan membuat Thunder menjadi sangat membatasi setiap keinginan Afi dalam bergaul atau bahkan berjalan dengan siapapun.
"Pamit bang Nusa dulu—"
"Masuk!" Kali ini Thunder benar-benar tak mau dibantah lagi. Afi-pun menatap ke arah Nusa yang masih tak melepaskan tatapannya pada perempuan androgini tersebut, bahkan hingga Afi duduk manis di dalam mobil, Nusa tak melepaskan tatapannya yang seolah mendamba Afi.
"Belum pernah matamu lepas dari kelopaknya, huh?" tegur Thunder.
Nusa mendengus. "Bukan masalah mata saya lepas dari kelopaknya kalo itu adalah Afi penyebabnya." Balas Nusa.
Meski tahu bahwa ucapan itu adalah sengaja untuk memancingnya, Thunder tetap meladeni dan memberikan peringatannya pada Nusa.
"Jangan lanjutkan ini. Saya tahu kamu bukan lelaki dari keluarga sembarangan. Saya juga tahu kamu bukan lelaki sendiri yang bisa mendekati perempuan lain. Jaga jarak dari Afi. Kalo kamu hanya tahu anjing galak biasa menjaga rumah, sekarang ada anjing galak yang menjaga manusia."
*
"Ngomong apa sama bang Nusa?"
Thunder menghentikan gerakannya untuk mulai mengemudikan mobil. Kepalanya berdengung ketika Afi menyebut bang Nusa yang tiba-tiba saja membuat Thunder tergelitik untuk memiliki panggilan yang tak sama dengan lelaki tak berpendirian itu.
"Nusa... apa dia selama ini deketin kamu dengan cara begitu?" tanya Thunder dengan nada jengkel.
Bagaimana tak jengkel, dia tak ingin mendengar apapun yang bersangkutan dengan Danusa, tetapi Afi malah menambah daftar kejengkelan Thunder lagi.
"Deketin gue dengan cara begitu, maksudnya apa?"
"Ya—dengan cara begitu. Dia deketin tanpa sadar diri." Thunder tidak memedulikan lagi akan pertanyaan Afi, dia menjalankan mobil dan menatap kesebelah sesekali. "Dia enggak seharusnya deketin kamu, Fi."
"Menurut bang Unde dia lagi deketin gue?"
Sengaja mempertanyakan pada Thunder mengenai Nusa memang mengasyikkan. Menggoda pria berotot yang tidak cukup berotot juga otaknya itu memberikan pelepasan akan obrolan.
"Kamu ini bukan perempuan bodoh, Fi. Saya tahu kamu akan menghindari masalah dengan anak super kaya Roedjati itu. Jangan dilanjutkan." Jawaban Thunder yang terkesan menghindari pertanyaan Afi itu tidak mendukung sama sekali.
Maka dari itu sengaja Afi menambahkan pertanyaan yang membuat Thunder sadar dan agaknya kelimpungan. "Sekarang lo udah anggep gue perempuan, Bang?"
Untung sekali Thunder memiliki pengendalian diri yang baik. Jika tidak, mungkin saja dia membawa Afi menjadi celaka.
Menoleh kesamping, Thunder memberikan tatapan tajam. "Mulut kamu itu, Fi. Jangan sampai bikin saya hilang kendali di jalanan."
Oh, Afi jelas lebih suka menggoda pria itu. "Aku suka bikin kamu hilang kendali." Bisik Afi mendadak membuat bulu tengkuk Thunder berdiri.
*
Membuat konsentrasi Thunder hilang, Afi sukses memengaruhi pria itu untuk segera mencari hotel terdekat. Tidak peduli berapa uang yang akan dirinya habiskan untuk hal tersebut. Yang ada dikepala Thunder saat ini adalah menjamah Afi, perempuan yang dengan percaya dirinya terus menarik perhatian Thunder.
"Jangan macam-macam, Fi." Kata pria itu sembari membuka kaus yang dia pakai.
Sedangkan Afi dengan sensualnya mencari celah untuk membuat Thunder semakin hilang akal. Berlama-lama menurunkan celana denimnya, Afi membalik tubuhnya menjadi tengkurap. Celana dalam G-string yang biasanya tak begitu menarik bagi Thunder, tiba-tiba saja menjadi sangat agresif dimata pria dengan otot liat ditubuhnya itu.
Menaiki ranjang, Thunder tidak serta merta mengambil tubuh kecil Afi. Dia membuka dompet dan melemparkan k****m pada Afi. Tatapan jahil dari perempuan itu menambah ketidaksabaran Thunder. Namun, sengaja ditahannya habis-habisan.
"Nanti gue pakein. Sekarang gue kasih servis gue dulu buat ini, ya." Kata Afi merangkak mendekatkan wajahnya guna sejajar dengan milik Thunder.
"Afi." Desis Thunder begitu ujungnya merasakan jilatan dari lidah perempuan androgini itu.
Dengan instingnya, Thunder menekan kepala Afi yang sudah mulai pada inti permainan mulut itu. Menarik sejumput rambut guna menjambaknya ketika Thunder berniat menahan cairannya, lalu memaksa masuk kembali pada mulut Afi dengan geraman serta hembus napas berkejaran.
Meski pemula, Afi nyatanya tak muntah. Hal itu semakin membuat Thunder gemas. Diacaknya rambut pendek perempuan itu hingga terlihat kusut, wajahnya yang memerah dengan airmata yang sedikit keluar justru membuat Thunder semakin tak tahan.
Sesi pertama Thunder sampai, setelah sekitar lima belas menit dihabiskan untuk saling mempelajari tehnik tersebut.
"Telan." Kata Thunder memaksa cairannya dihabiskan oleh Afi. Ibu jarinya menekan masuk setiap cairan kental yang jatuh pada wajah Afi.
Lagi dan lagi Afi tak terlihat seperti amatiran dalam hal tersebut. Thunder tak ambil pusing masalah bibir Afi perawan atau tidak, toh dia bisa mendapatkan Afi seutuhnya sekarang ini.
"Wow!" seru Afi saat dengan cepat dan mudahnya Thunder membalikkan tubuhnya untuk kembali tengkurap. "Slow down, Baby."
Thunder menaiki ranjang, setelah kondomnya sudah terpasang rapi oleh Afi. Dirapatkannya tubuh hingga d**a Thunder menempel pada punggung Afi, juga miliknya yang menggesek b****g seksi Afi.
"Pantes aja kamu selalu pakai celana oversize. Ternyata bokongmu ini sintal sekali. Saya baru menyadarinya." Bisik Thunder seraya menamparnya hingga meninggalkan jejak kemerahan berbentuk telapak pria itu.
Merasakan perih, tapi entah bagaimana Afi menyukainya. Tak percaya bahwa dari tamparan pria itu, getarannya sampai bagian depan milik Afi. Perempuan itu mendesis, satu jemari Thunder mengikuti garis bokongnya dan perlahan turun pada kewanitaannya. Wajah Afi sontak dibenamkan pada bantal.
"Kamu suka?" bisik Thunder kembali.
"Ehm—ya... hhh. Jangan berhenti...." ucapnya begitu satu jemari Thunder masuk pada liang kesenangan pria itu, saat ini. Dua jari menembusnya hingga Afi semakin keras meneriaki nama Thunder. Hingga tiga jari sengaja dipaksa masuk dan digerakkan berirama seperti ketika milik Thunder berada di sana, Afi mulai belingsatan seperti tak pernah diberi kepuasan. Menginginkannya terus menerus, mendesahkan nama pria itu lagi dan lagi, hingga pelepasannya datang dan membasahi jemari Thunder.
Dijilatnya cairan tersebut oleh Thunder. Dia bersiap memasukkan miliknya dari posisi Afi yang tengkurap. Begitu masuk, Afi seperti tak bisa bernapas. Rasanya memang lebih ketat dan kuat begitu Thunder mendorongnya dengan hentakan yang tak asal. Pria itu paham untuk bergerak, Afi suka gerakannya, dan itulah yang menyebabkan satu masalah ketika mereka begitu menggebu serta bersemangat; k****m rusak.
*
"f**k!"
Umpatan yang pertama kali muncul dari bibir Geografi begitu Thunder memasang wajah bingung menatapi miliknya.
"Gimana bisa?!" teriak perempuan itu resah.
Segera menyapu pakaiannya kembali, kepalanya terasa sangat sakit tiba-tiba. Afi tidak berpengalaman untuk hal yang seperti ini. Memang, untuk urusan b********h Afi bisa menyesuaikan bagaikan pro. Namun, untuk urusan kebobolan sungguhlah dia amatir.
Menatap kembali milik Thunder, perempuan itu berteriak tak suka.
"Saya juga baru kali ini, Fi. Biasanya..."
"Biasanya apa?!"
"Biasanya... enggak."
Afi menjambak rambutnya sendiri. Kekesalan menumpuk pada diri Afi sekarang ini. Dia tidak mau mengandung dalam waktu dekat, setidaknya bukan pada saat Thunder masih gamang akan pekerjaannya sendiri. Apa bisa dia hidup bersama dengan anak mereka nanti dalam keadaan suami yang dijamah orang lain? Apa bisa Afi membiarkan anaknya mengetahui pekerjaan ayahnya yang menjadi bintang p***o?
Oh, enggak! Afi tidak akan membiarkan hal tersebut. Hidupnya sudah lama sekali dibangun dalam ketragisan serta ruang biadab. Afi tak mau anaknya mengalami hal yang sama. Meski dalam segi ekonomi, anak itu akan lebih merdeka. Afi tetap tak mau calon anaknya memiliki hidup tak menentu.
"Afi, saya bukan Tuhan yang bisa memperkirakan ini. Maaf."
"Lo gila, ya, Bang?! Lo mau bikin gue hamil?!"
Thunder menggeleng dengan super cepat. Bagaimana bisa dia membiarkan Afi hamil, sedang dirinya begitu takut untuk memiliki keluarga. Pria itu tak mau memiliki hubungan dengan yang namanya keluarga.
"Kamu tahu sendiri sejarah hidup saya bagaimana, Fi. Saya enggak akan sengaja membuat kamu hamil. Saya juga enggak menyangka akan rusak begini."
Geografi memang tahu bagaimana Thunder dibesarkan. Pria itu tak memiliki kisah keluarga bahagia, datar, maupun broken home. Melainkan kisah bersama keluarga b******n. Jika tidak, mana mungkin Thunder sekarang ini menjadi bintang p***o terkenal. Dijual sejak kecil, dilecehkan oleh orang-orang yang disebut keluarga... Afi tahu bahwa hidup pria itu lebih buruk dari keterpurukan yang Afi rasakan.
Mendesah napas lelah. Afi mendekati pria itu berada. Ranjang mereka yang sudah berantakan, tidak memberikan Afi ketenangan—sebenarnya. Sayang, dia bukan perempuan yang tega untuk membiarkan pria yang sudah menyelamatkannya dari kemiskinan itu sendirian.
Memeluk Thunder, Afi memberikan kecupan pada bahu pria itu. Sesekali menyematkan bibirnya pada d**a Thunder, karena dirasakannya degup yang kencang disana. Entah untuk alasan apa degupan tersebut, Afi tak peduli. Yang pasti, ekspresi ketakutan Thunder menjelaskan bahwa pria itu membutuhkan dukungan.
"Sori, Bang. Gue keterlaluan kalo nyalahin lo doang. Seharusnya kita bisa atasin ini berdua." Mengusap peluh pria itu, Afi kembali melihat sisi Thunder yang begitu lemah. Tak seperti ketika pria itu gagah menghujamnya di atas ranjang. "Besok kita ke rumah sakit langganan, ya. Selain untuk cek, kita akalin supaya gue nggak hamil. Terus juga kita cek kesehatan kelamin dan lainnya. Gue tetep pengen steril."
Thunder memandangnya paham, meski begitu pria itu tetap memberi jawaban pada Afi. "Saya rajin cek, Fi. Bersih. Steril. Kamu harus percaya itu."
"Ya, ya, ya. Gue percaya, Bang. Kan gue yang selalu nganterin lo periksa. Masalahnya, gue pengen semuanya tetep terkendali. k****m yang lo beli mahal-mahal aja bisa rusak, apalagi kesehatan orang yang enggak kelihatan dengan kasat mata."
Pria itu mengangguk. Ditangkupnya wajah Afi dan memagut bibir itu keras.
"Bentar." Tahan Afi.
"Kenapa?"
"Tadi keluar di dalem berapa kali, Bang?"
Thunder berpikir sesaat. "Duh, Fi. Saya enggak inget. Tapi saya masih pengen kamu, gimana ini?"
Sialan bang Thunder. Gue jadi kepingin lagi juga.
Mengingat ada morning after pill yang dirinya masih simpan untuk berjaga-jaga, Afi mengangguk.
"Gue minum pil aja. Lo bisa puas hari ini."
*
Kabar baiknya memang hanya sementara. Mereka bisa tenang kali ini karena usia kehamilan belum bisa terdeteksi beberapa jam setelah berhubungan intim. Afi tetap memakai pengamannya sendiri, dokter menjelaskan ini dan itu sesuai yang Afi inginkan. Mengenai kssehatannya juga Thunder. Namun, Afi tak begitu saja puas dengan hasil kesehatan Thunder yang memang menunjukkan sehat wal afiat. Dia memerlukan pria itu menjaga diri akan insiden seperti semalam.
Begitu sampai di rumah, Afi langsung menodong pria itu dengan pertanyaannya.
"Masih belum mau putusin?"
Thunder yang sedang membuka satu persatu kancing kemejanya menatap ke arah Afi. Perempuan itu duduk bersial di tengah ranjang sembari mengamati kegiatan Thunder.
"Putusin apa?"
"Kita lanjut atau enggak."
Dahi pria itu mengerut. "Bukannya kamu yang bilang enggak akan maksa hubungan semacam itu dengan saya, Fi?" tanya balik Thunder.
Begitu tubuh bagian atasnya sudah terbebas dari pakaian apapun. Thunder menaiki ranjang guna mendekati Afi dan menyematkan ciuman. Tak ditolak, Thunder membaringkan tubuh si perempuan androgini tersebut. Begitu dadanya ditahan, barulah Thunder merasa perlu berhenti.
"Apa lo enggak punya capek, Bang? Lagian, gue sebel banget. Lo nyalahin gue karena gue bilang enggak bakalan rusuhin lo sam hubungan semacam itu, tapi lo manfaatin gue yang enggak bisa nahan deket-deket sama lo, Bang."
"Salah saya, kalau gitu?" balas Thunder dengan nada yang Afi sulit sekali dibantah.
"Ya, bukan salah lo, sih, Bang. Emang gue-nya b**o demen banget lo sentuh-sentuh. Tapi masalahnya..."
Thunder membuat Afi semakin bergidik karena sikap pria itu yang sengaja membuat Afi goyah. Kecupan basah dibalik daun telinganya membuat Afi mendenguskan napas berat.
"Bang, bisa enggak, sih... berhenti bikin gue napsu?"
Pria itu mengekeh karena ucapan Afi. Memang bukan gaya Afi sekali jika menahan diri. Perempuan itu pasti dengan cepat mengutarakan apa yang diinginkannya.
"Kamu juga harus berhenti bikin saya mupeng terus ke kamu, Fi."
"Duh, kan! Salah gue aja kalo gitu."
Kembali Thunder dibuatnya tertawa. Buru-buru Afi menjelaskan pada Thunder mengenai maksud pembicaraan tadi.
"Serius, Bang. Gue enggak bisa terus jalan sama hubungan semacam ini. Lo mau enggak monogami sama gue? Kalo enggak, gue bakalan mulai serius buat jaga jarak, deh sama lo."
"Saya udah pernah bilang, kan, jangan macam-macam dengan yang lain. Selama saya belum memberikan keputusan apapun ke kamu."
"Ya, kalo gitu lo harus cepet kasih keputusannya ke gue."
Thunder menyentuhkan permukaan hidungnya dengan milik Afi. "Kamu enggak sabaran sekali. Saya juga butuh waktu, Fi. Enggak bisa seenaknya. Projek terakhir sebelum saya memutuskan keluar, ya naskah hitam kemarin. Kamu menolak, ya... pasti diganti yang lain."
"Gue bukannya enggak mau, tapi enggak bisa. Mana ada begituan musti diatur-atur. Capek!"
Dikecupnya pipi perempuan itu. "Betul. Sekarang kamu tahu pekerjaan seperti itu melelahkan. Apa masih juga kamu memandang sebelah mata? Pekerjaan saya penuh risiko, bikin capek—seperti katamu. Itu jelas menambah beban berat hidup saya, Fi. Kalo kamu tambah menuntut saya... apa kamu enggak mikir gimana rasanya? Saya kesulitan—"
"Justru itu gue mau lo berhenti." Kata Afi seraya menangkup wajah Thunder yang memiliki rahang kokoh. "Gue mau lo punya kehidupan normal. Lo juga makin tua, apa mau nge-seks ganti-ganti pasangan terus? Apa lo enggak capek ngabisin stamina lo buat kerjaan yang—secara enggak langsung—bikin lo jadi hyper gini."
"Fi—"
"Denger. Gue mau lo paham kalo gue siap jadi sasaran lo. Gue siap jadi satu-satunya pasangan dan partner ranjang lo. Berhenti nyiksa diri lo dengan ganti-ganti pasangan terus. Ini demi badan lo dan kesehatan lo sendiri. Berhenti, Bang. Bukan buat gue, tapi buat diri lo sendiri."
Mata mereka bertemu dengan intim. Thunder belum pernah sebegini dipedulikan oleh seseorang. Itu sebabnya dia menyukai Afi yang selalu peduli padanya meski sikap perempuan itu cuek.
"Ya, oke. Tapi projek terakhir saya harus tetap dilakukan, supaya saya enggak kena pinalti kontrak."
"Gue tahu caranya."
*
Tanda bahwa Geografi begitu memuja Thunder adalah dengan menciumi d**a telanjang pria itu sebelum dan sesudah mereka tidur. Pagi ini, dia merayu Thunder habis-habisan karena perlu bertemu dengan Nusa.
Kemarin, begitu Afi menyatakan dia mengetahui caranya dengan meminta bantuan Danusa pria itu menolak keras. Mereka tidak membicarakannya lagi selama beberapa saat. Namun, Afi tahu bagaimana meluluhkan Thunder yang sedang marah.
Mendorong pria itu ke tempat tidur adalah salah satu caranya. Toh, memiliki niatan untuk bertemu Nusa adalah untuk kebaikan mereka. Jadi, kembali meniduri dan ditiduri bersama Thunder tak akan menjadi masalah. Yang ada, pria itu malah belum mau menghentikan hujamannya ketika Afi meminta pria itu melepaskan miliknya supaya tidak kelepasan.
Setelah pria itu bisa lebih tenang, Afi kembali menyarangkan bujukannya agar Thunder mau untuk menemui Nusa dan meminta bantuannya.
"Geografi. Berhenti membujuk seperti ini. Saya enggak suka dengan Danusa—"
Afi buru-buru menghentikan ocehan Thunder yang selalu mengeluh soal ketidaksukaannya pada Nusa. Membuka bibirnya kembali, Afi memberikan penjelasan pada Thunder dengan berkata, "Jangan bahas soal enggak sukanya bang Unde ke bang Nusa. Ini untuk masa depan lo juga, Bang. Jangan dibahas terus menerus soal bang Nusa gimana."
Thunder masih menggeleng, keras kepala akan opininya. "Enggak perlu. Saya akan melanjutkan prosedur terakhir dan—"
Melepaskan diri setelah memeluk tubuh Thunder. Afi menghela napas kesal, memutuskan keluar dari kamar dan segera pergi dari sana.
"Afi!"
Menjauh dari setiap panggilan Thunder, perempuan itu sengaja membentuk protes dengan hanya memakai celana dalam serta kemeja kebesaran milik Thunder.
"Afi! Jangan macam-macam keluar dengan pakaian seperti itu!" seru Thunder keras.
"Kenapa?! Lagian bang Unde juga bisa enggak, sih mikir sedikittt aja. Ini, tuh buat kebaikan bang Unde!"
Menyasarkan tangannya ke kepalanya sendiri, Thunder memiliki pemikiran sendiri mengapa tak ingin berurusan dengan Nusa. Sedangkan Afi memiliki jalan pemikiran yang percaya bahwa Danusa bisa melancarkan urusan mereka dengan cepat.
"Oke! Kamu bicara dengan Danusa, saya enggak mau ikut campur. Tapi saya tetap ikut saat kalian berdua bicara."
Senyuman Afi terukir. Dia suka dengan Thunder yang penurut begini. Semakin cepat mereka menghubungi Nusa, maka semakin cepat pula pria itu akan lepas dari dunia perfilman dewasa.
"Aku hubungin bang Nusa kalo gitu. Kita janjian tempatnya, terus—"
Thunder kembali menyarangkan lumatan keras pada bibir Afi. Tak ditolak, bahkan terkesan menerima dengan lapang, mereka berciuman dengan langkah tak beraturan menuju tempat mana saja yang bisa menampung tubuh mereka.
Menjatuhkan diri pada sofa, Afi menjilati bibir Thunder begitu si pria duduk mengapit kaki Afi.
"Kenapa bang Unde tiba-tiba cium? Kepengen lagi?"
"Di kamar tadi kita enggak jadi, Fi. Saya menagih jatah dari kamu. Sebelum bertemu dengan Nusa, saya mau kamu membuat saya tenang lebih dulu."
Dengan gemas Afi menggigit bibir pria itu dan mencubit p****g milik Thunder. Perempuan dengan gaya tomboi itu terkesiap begitu Thunder melepas bibir mereka dan menyematkan bibirnya pada bagian bawah Afi. Lenguhan panjang Afi terdengar dan Thunder puas melihatnya dari bawah.
"Aku kesal lihat kamu super sexy begini. Aku gelisah membayangkan orang lain melihat kamu yang begini." Thunder menggelengkan kepalanya sendiri. "Enggak akan kubiarkan orang lain melihat kamu."
"Stop to talk and let your 'thing' in me."