Akhir Untuk Awal
Ruangan itu sudah di beri label pada bagian pintu, bertuliskan 'Sany Andriana's make up room' yang di dalamnya adalah orang-orang yang sudah expert dalam bidangnya mereka semua tengah sibuk dengan tugas masing-masing, kebanyakan wanita dan hanya beberapa saja pria yang sebenarnya tampak seperti wanita juga.
"Ra, tolong bawain hape aku dong di sana." Seorang wanita yang tengah duduk di atas kursi itu menunjuk ke arah tas yang tergeletak di sampingnya tanpa menoleh, ia mengenakan gaun tile hitam dengan motif bunga berwarna silver sepanjang tumit dengan bagian dalam gaun berwarna senada yang lebih pendek dari luarannya.
"Thanks Ra!" wanita itu tersenyum setelah menerima benda tipis tersebut tanpa menoleh pada orang yang menyodorkannya, bukan tidak ingin namun ada seseorang yang tengah sibuk memoleskan make up di wajah tirusnya sehingga ia tidak bisa leluasa bergerak.
"Sany 10 menit lagi kita mulai ya." Seorang pria dengan name tag menggantung di lehernya masuk tanpa mengetuk pintu. Dio. Tidak ada yang menjawab, semuanya sudah paham apa yang harus di lakukan.
"Darl, kau tenang saja make-upnya akan selesai bahkan sebelum pria itu datang lagi ... lagi ... dan lagi untuk ketiga kalinya." Ucap lelaki yang tengah sibuk memoleskan lipstik berwarna nude di bibir Sany dengan wajah tampak sedikit jengkel, gaya kemayunya membuat wanita itu tersenyum ketika kegiatan makeup yang dilakukan selesai.
Wanita itu berdiri dan kini semua bisa melihat betapa mempesonanya ia menggunakan gaun tersebut, tingginya 170 cm tanpa heels dengan rambut panjang yang sudah di tata dengan ornamen bunga yang elegan, kemudian seorang wanita yang di panggilnya Ira membawa high heels berwarna gold dengan tergesa-gesa sepatu itu terlihat simple namun ketika digunakan oleh Sany benda tersebut benar-benar menambah sempurna penampilan wanita itu.
"Best ...." Pria yang mendandaninya tadi mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tersenyum membuat Sany mau tidak mau harus bangga dengan dirinya juga.
Ya, wanita itu Sany Andriana seorang model berusia 30 tahun yang sudah menggeluti dunia modeling sejak kecil, karirnya tidak pernah redup ia adalah bintang di catwalk dan kini mulai menjadi aktris yang di perhitungkan dalam industri film layar lebar.
Ia terlalu sempurna dilahirkan dengan wajah asia, kulit putih dan mata sedikit menyipit, rambut lurusnya berwarna dark brown alami tanpa perlu sentuhan hair color lagi dan tubuh seorang model yang membuat wanita manapun iri. Ia adalah pusat perhatian di mana pun dirinya berada.
Tiba-tiba ponselnya yang diletakkan di meja rias berdering kemudian dengan sigap ia mengambilnya membuat beberapa mata memperhatikan wanita yang dengan cuek tersenyum melihat sebuah panggilan masuk dari seseorang yang di tunggunya sejak tadi.
"Udah selesai?" tanya seseorang di seberang sana.
Sany menggeleng sebelum akhirnya menjawab, "Belum Dave!" tangannya meraba membenarkan posisi heelsnya agar nyaman sebelum ia melangkah, dari balik pintu Dio hanya menampakan kepalanya saja memberi isyarat agar wanita itu segera keluar. Dan Sany hanya mengangguk tanpa suara.
"Kita bisa ngobrol nanti aku harus pergi sekarang. Oke!" Sany tidak punya pilihan, ia sangat sibuk bahkan sampai tidak satu suap pun makanan sempat masuk ke mulutnya.
"Yahh, oke!" Pria di seberang terdengar menghela nafas dengan kecewa, ia meluangkan waktunya untuk menghubungi Sany tapi waktu keduanya selalu sama-sama sulit. Ia kembali menarik nafas panjang. "Kapan kamu berhenti dan mulai urus pertunangan kita?" tanya pria itu sebelum Sany menutup teleponnya.
Gadis itu kembali mendekatkan ponselnya ke telinga menarik nafas lelah dan mengurut keningnya sedikit. "Dave please, kita udah pernah bahas ini dan aku gak bisa ninggalin catwalk yang udah besarin nama aku sekarang, aku perlu waktu lagi." Sany hanya dapat mendengar pria itu mendesah terdengar begitu putus asa baginya. "Sorry dear, aku harus pergi sekarang!" Sany tidak menunggu jawaban ia langsung memutus panggilan tanpa permisi.
Ia meletakkan ponselnya lagi di meja sebelum keluar dari ruangan itu untuk pemotretan, pikirannya sedikit terganggu dengan pacarnya barusan. Davin. Atau semua orang lebih akrab memanggilnya Dave. Tidak ada yang salah dengan keinginan seorang pria untuk membuat wanitanya hanya menikmati menjadi ibu rumah tangga berdiam diri di rumah dan memiliki segalanya yang bisa ia dapatkan namun tidak bagi Sany, ia tidak menginginkannya. Baginya menjadi model adalah dunianya, ia suka menjadi pusat perhatian dan melepaskannya untuk harapan orang lain adalah ide yang begitu menggelikan.
Sementara Dave terlihat tengah duduk di kursi besarnya dalam sebuah ruangan dengan dinding kaca yang cukup luas, di depannya bertumpuk berkas juga komputer model terbaru dan tentu saja ponselnya, ponsel yang ia gunakan tadi. Pikirannya pergi entah kemana ia hanya merasa lelah membujuk wanita yang sudah di pacarinya lebih dari 3 tahun itu untuk meninggalkan dunia model dan hanya fokus pada dirinya. Ia hanya ingin teman hidup, namun keduanya selalu memiliki hanya sebagian kecil waktu untuk bersama.
Tidak ada yang salah dengan Sany, karena Dave pun dulu tidak berpikir untuk menikah. Dirinyalah yang kini berubah pikiran dan mulai membujuk Sany untuk keinginannya tersebut.
Seseorang masuk setelah mengetuk pintu kaca tersebut, Kania. Sekretarisnya yang membawa lagi map berisi laporan keuangan dari kantor cabang di Medan. Perusahannya adalah salah satu perusahaan besar di Indonesia dengan lebih dari 11 kantor cabang dan pabrik belum lagi outletnya yang tersebar di semua pulau besar di negara tersebut.
Wanita itu tersenyum sebelum menyodorkan map merah yang dibawanya sementara Dave hanya diam saja mengetuk-ngetuk ball pointnya di meja.
"Lo kenapa lagi, Soal Sany?" tanya Kania sambil menyilangkan tangannya di d**a ia dengan mudahnya dapat menebak apa yang di pikirkan oleh Dave, Kania juga mulai berbicara informal pada atasannya yang sebenarnya teman kuliahnya dulu.
"Gak tahu Kan, gue cuma enggak ngerti apa sesulit itu bujuk dia untuk diem di rumah!" Dave kembali diam ia tampak sedikit putus asa.
"Dave, mungkin bagi Sany enggak mudah. Dunia itu udah buat nama dia besar kayak sekarang. Dia suka ketenaran."
Dave tidak membantah sebab Kania sepenuhnya benar. "Ya gue tahu, tapi dunia yang gue tawarin ke dia juga bukan main-main!" Kania jelas mengerti maksud sahabatnya itu, seharusnya tidak ada yang menolak menjadi istri yang fokus mengurus suami dan tidak kekurangan suatu apapun. Pria di hadapannya ini adalah seseorang dengan penghargaan pengusaha muda paling sukses sejak 10 tahun yang lalu saat ia mendirikan pabrik roti pertamanya dan hebatnya tanpa bantuan nama besar ayahnya.
"Apa tindakan lo selanjutnya?" Kania tampak tidak sabar dengan akhir cerita yang di dengarnya setiap hari ini. "Dan gue enggak ngerti sih kenapa elo jadi mau nikah setelah selama ini kayaknya pernikahan itu sesuatu yang gak jadi tujuan hidup elo gitu?"
"Orang tua gue udah terlalu tua dan gue rasa semua mimpi udah gue capai, mungkin yaa ... menikah adalah cerita akhir gue."
"Sama Sany?" tanya Kania lagi, "Lo yakin mau hidup sama dia?"
"Apa salahnya? gue pacaran 3 tahun dan dia perempuan baik." Bahu Dave mengedik.
"Gimana ibu? apa dia udah bilang oke buat cewek yang setahu gue, dia enggak suka." Tanya Kania, "Dave, Sany itu baik menurut elo tapi semua orang tahu dia gak bisa lepas dari Pub, Clubing, bar dan tentu aja alkohol."
Kania bangkit dari duduknya, setelah Dave mengesampingkan map yang di bawanya tanpa mengecek. Ia punya banyak pekerjaan di mejanya juga. "Pikirin lagi Dave, Sany gak jadiin elo prioritas dia sebaik apapun dia di mata lo tapi dia gak pernah mau ngikutin mau lo. Hubungan lo ama dia itu gak ada tujuan. Ngambang." Jawaban tegas itu adalah saran untuk sahabatnya, "dan sejujurnya menurut gue dia cuma cari keuntungan dari hubungan kalian. Lo ngerti maksud gue kan!"
Kania sudah pergi dari sana, Dave bisa melihat wanita itu sudah sibuk lagi di mejanya sementara dirinya masih berkutat dengan pemikiran yang tidak habis-habis.