bc

Bad Wife

book_age18+
253
IKUTI
1.3K
BACA
possessive
drama
male lead
city
betrayal
coming of age
civilian
like
intro-logo
Uraian

Panji seorang lelaki biasa, hanya bekerja sebagai penjaga toko dan bekerja serabutan lainnya. Menikah dengan seorang wanita lulusan sarjana ekonomi. Menjabat menjadi manager keuangan di sebuah perusahaan properti. Karena pekerjaannya yang rendah, Panji tak pernah dihargai sebagai seorang suami oleh Cintya. Kegamangan selalu menyertai Panji, apalagi ditambah dengan sikap kedua mertua yang memandang remeh, membuat hidup Panji benar-benar tersiksa. Akankah Panji sanggup mempertahankan rumah tangga yang sudah berjalan selama tujuh tahun? Ataukah akan menyerah dengan cobaan yang tiada henti menimpa rumah tangganya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Tak Dihargai Sebagai Suami
Seperti biasa, setiap pagi Panji selalu menyiapkan semuanya sendiri. Meskipun ada istri, tapi dia tak pernah melayani Panji. Panji tak pernah dihargai menjadi seorang suami oleh istrinya, karena pekerjaannya yang lebih rendah dari sang istri.   “Ma, aku berangkat dulu, ya,” pamit Panji pada Cintya, sang istri, setelah semuanya sudah siap.   “Hemmm, aku juga mau berangkat ini. Kamu sekalian bawa Arkhan, Yah,” sahut Cintya dengan nada ketus sama setiap harinya.   “Loh, kan, tempat kerja Ayah nggak sejalur dengan Arkhan, Ma.” Panji berusaha berkata dengan lembut meskipun selalu dipandang rendah oleh Cintya.   “Halah, nggak usah banyak alasanlah, aku sudah terlambat ini. Pagi ini ada meeting dengan klien. Kalau kamu telat, kan, nggak masalah orang Cuma kerja di pasar!” Cintya berkata dengan sinis. “Lagian semua ini gara-gara kamu, nggak bangunin aku lebih awal!” bentak Cintya.   Panji menghela napas dalam, selalu begini setiap hari. Panji tak pernah benar di depan Cintya. Entahlah. Dari dulu Cintya selalu begini, apalagi ketika jabatannya naik dan gajinya lebih besar, dia bersikap seenaknya. Walau memang dari dulu, tak pernah menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang istri. Semua pekerjaan rumah diserahkan pada Bi Inah, pembantu mereka. Bahkan untuk menjemput Arkhan, tak ada waktu. Panji selalu menyiapkan semua sendiri, karena merasa bukan dia yang menggaji Bi Inah. Panji tak mau selalu diungkit-ungkit masalah itu.   “Aku nggak mau tahu, pokoknya antar Arkhan dulu, bye.” Cintya melenggang tanpa rasa bersalah.   Memang beginilah nasib seorang penjaga toko sembako. Gaji yang tak seberapa membuat tak dihargai oleh istri. Namun, memang inilah pekerjaan halal yang bisa Panji dapatkan. Seorang lulusan SMA memang tidak bisa mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Walau dulu, Panji sempat bekerja sebagai OB di salah satu perusahaan properti, tapi Cintya memintanya keluar, entah karena apa, Panji tidak paham.   Panji menghela napas dalam. Lalu, dia terkaget karena ajakan Arkhan untuk segera berangkat.   “Ayah, ayo, Arkhan nanti telat.” Arkhan, anak Panji, ternyata sudah siap.   Bi Inah yang selalu menyiapkan keperluan Arkhan. Mamanya tak pernah peduli.   “Ayo, Sayang,” ucap Panji sambil menggendong jagoannya yang sudah berusia lima tahun itu.   Tak terasa dia sudah tumbuh besar, rasanya baru kemarin belajar berjalan. Panji mendudukkan Arkhan di jok belakang sepeda motornya.   “Pegangan yang kuat, ya, jagoan,” kata Panji sambil mengacak rambutnya pelan.   Arkhan mengacungkan jempol kanannya sambil tersenyum. Hati Panji terasa sejuk melihat senyum Arkhan. Lalu, Panji pun memacu motor dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang padat. Banyak kendaraan berlalu-lalang di hari kerja seperti ini.   Tanpa terasa mereka sudah sampai di sekolah Arkhan. Panji menurunkannya dan mengantar sampai ke depan kelas.   “Bu Iffah!” Arkhan langsung menghambur memeluk seorang wanita, yang bisa dipastikan itu gurunya.   Wanita berhijab lebar dengan wajah yang teduh. Senyumnya sungguh memesona. Panji beristigfar.   “Pagi, Pak,” sapanya pada Panji.   Panji mengangguk dan tersenyum.   “Titip, Arkhan, ya, Bu?”   “Pasti, Pak, sudah tugas saya,” jawabnya sambil tersenyum.   “Arkhan jangan nakal, ya, Ayah kerja dulu.” Panji mengacak rambut Arkhan dengan halus.   Lalu, Panji berpamitan pada Bu Iffah. Setelah itu, dia melangkah menuju tempat parkir dan memacu motor. Panji segera melesat meninggalkan sekolah Arkhan.   ***   Di tempat lain, Cintya marah-marah karena macet. Dia sudah kesiangan, ditambah kemacetan yang panjang, membuatnya uring-uringan.   “Sial! Ini semua gara-gara suami yang nggak becus itu! Coba dia bangunkan aku lebih awal, nggak mungkin macet gini! Malah ada meeting dengan klien lagi!” Cintya memukul setir di depannya. Dia benar-benar kesal dan marah.   Lalu, ponselnya pun berdering. Di layar tertera nama sekretarisnya yang menghubungi.   “Halo! Ada apa?” tanya Cintya dengan kasar.   “Maaf, Bu, Ibu di mana? Klien sudah datang dari tadi,” ucap Rina, sekretaris Cintya, dengan gemetar.   “Lagi di jalan, macet ini dari tadi! Kamu suruh tunggu aja!” sentak Cintya.   “I-iya, Bu. Terima kasih,” sahut Rina dengan nada takut.   Tanpa menjawab ucapan Rina, Cintya langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia benar-benar sudah berada di ambang batas kesabaran. Dengan perlahan mobilnya bisa maju. Kemacetan mulai teratasi. Sampai akhirnya, dia bisa melajukan mobilnya dengan lancar.   “Fiyuh, akhirnya.” Cintya mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya.   Cintya segera melajukan mobilnya dengan cepat. Dia tak mau kliennya menunggu lebih lama lagi. Akhirnya, tak perlu waktu lama, sampailah dia di kantor. Sebelum turun, dia memperbaiki make up-nya. Setelah memastikan semuanya sudah ok, maka dia pun turun dan melenggang dengan angkuh memasuki kantor.   Dia datang sangat terlambat sehingga menjadi perhatian beberapa karyawan. Namun, saat Cintya menatap tajam para karyawan itu, mereka langsung menunduk. Ya, mereka takut pada Cintya.   Cintya segera menuju ruangannya. Setiba di sana, dia segera menghubungi sekretarisnya.   “Rina, antar klien saya ke ruangan saya!” perintah Cintya.   Tak perlu waktu lama, pintu ruangan Cintya diketuk.   “Masuk!” perintah Cintya.   Lalu, muncullah Rina sambil menunduk.   “Loh, mana kliennya? Bukannya saya suruh kamu untuk mengantar ke sini?” tanya Cintya dengan wajah yang memerah.   “Maaf, Bu, tadi saya mau menjelaskan lewat telepon, tapi sudah Ibu tutup teleponnya.” Rina menjawab sambil menunduk. “Klien Ibu sudah pulang karena menunggu lama, besok siang katanya mau ke sini lagi,” lanjut Rina.   Cintya menggebrak meja membuat Rina berjingkat karena kaget.   “Ya sudah kamu kembali lagi bekerja!” perintah Cintya.   Rina pun mengangguk, lalu dia berpamitan untuk keluar.   Pagi ini, Cintya merasa benar-benar mengalami sial. Semua berawal dari rumah. Dia menyalahkan Panji.   “Semua memang gara-gara Mas Panji! Dia akar dari semua masalah ini! Andai saja dia punya kerjaan yang lebih tinggi dariku, aku nggak mungkin kerja keras kayak gini!” Cintya marah-marah seorang diri.   Semua kejadian yang menimpanya pagi ini, membuat Cintya menjadi badmood. Dia jadi malas mengerjakan semua kerjaannya yang menumpuk. Sampai jam makan siang pun mood Cintya masih buruk. Akhirnya, dia pun keluar untuk mencari makan. Dia memutuskan untuk mencari makan di luar, supaya bisa mengembalikan mood-nya.   Saat Cintya berjalan hendak ke kantin kantor, tiba-tiba ada yang masuk ke ruangannya tanpa permisi. Membuat mereka bertabrakan.   “Gimana, sih, masuk ruangan orang tanpa permisi!” sentak Cintya tanpa melihat orang tersebut.   “Maaf, deh, Bu, soalnya biasanya juga bebas keluar masuk sini,” sahut orang tersebut.   Mendengar suara yang begitu familiar, Cintya langsung mendongak.   “Astaga, Samuel! Kirain siapa. Ya udah masuk dulu sini.” Cintya langsung berubah moodnya ketika melihat Samuel.   “Nggak jadi marah-marah ini?” Samuel menggoda Cintya.   Cintya tidak menanggapi kata-kata Samuel, dia langsung kembali ke tempat duduknya.   “Kamu ada apa ke sini mendadak?” tanya Cintya.   “Udah waktunya makan siang, kan? Ya jelas mau ngajak kamu makan siang. Kita cari makan di luar ajalah, jangan di kantin kantor. Kulihat kamu kayaknya lagi badmood.” Samuel menatap Cintya.   Cintya pun menyetujuinya. Mereka lalu pergi berdua. Saat bersama Samuel, Cintya sama sekali tak ingat kalau sudah berkeluarga. Baginya Samuel lebih baik dari Panji, suaminya. Entah, dia merasa apes karena menerima Panji sebagai suaminya. *** Bersambung  

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Beautiful Pain

read
13.6K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.8K
bc

Oh, My Boss

read
386.9K
bc

MY LITTLE BRIDE (Rahasia Istri Pengganti)

read
19.3K
bc

Revenge

read
35.4K
bc

Penghangat Ranjang Tuan CEO

read
33.6K
bc

Hati Yang Tersakiti

read
6.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook