Chris membuka matanya dan bergerak menjauh dari tubuh Lexa. Dengan malas dia melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamar tamu yang Lexa tiduri saat ini.
"Masih jam 7 pagi, Chris." Lexa berucap manja.
"Aku harus ke kantor." Chris mulai terduduk di atas kasur.
Lexa berdecak tidak suka, "Kau bekerja di perusahaanmu sendiri, kau bisa datang semaumu."
Wanita itu mulai bangkit dan memeluk Chris dari belakang. Tangannya bergerak membuat Chris memejamkan matanya kesal.
"Berhenti Lexa." Bukan Lexa namanya jika langsung menurut.
Wanita itu dengan cepat berpindah ke hadapan Chris. Lexa mendorong Chris agar kembali berbaring.
"Lexa berhentilah."
"Ayo lah, Chris. Satu kali lagi," rengek Lexa kembali membuat Chris kesal.
Suara notifikasi pesan pada ponselnya membuat Chris kembali mendorong Lexa dari atas tubuhnya. Dia tidak bisa bersabar lagi, suara ponsel yang terus berdering membuatnya tidak tenang.
"Chris!" Lexa kembali merengek saat Chris mendorongnya menjauh.
"Diamlah!" bentak Chris keras. Dia mulai muak dengan tingkah Lexa.
Chris mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya sedari tadi. Pria itu mengerutkan keningnya ketika melihat nomor yang tidak dia kenal. Ada satu pesan yang masuk dari nomor tersebut dan Chris langsung membukanya.
Maaf sudah mengganggu waktumu di pagi hari. Aku hanya ingin memberitahu jika aku tertarik dengan penawaran tentang beasiswa yang kau tawarkan. Apa kita bisa bertemu di taman jam 8 nanti? Hanya saat itu saja aku punya waktu luang. Terima kasih.
- Madeline Cindy.
Chris mengumpat dan segera bangkit dari kasur. Dia keluar dari kamar Lexa tanpa memperdulikan tubuh polosnya.
"Chris! Kau ingin ke mana? Kita belum selesai! s****n kau Chris!" Lexa berteriak ketika Chris meninggalkannya begitu saja.
Chris menutup pintu kamarnya cepat dan menguncinya dengan harapan agar Lexa tidak mengganggunya. Dia juga sudah menghubungi Anton untuk segera datang ke penthouse-nya. Dengan cepat Chris membersihkan tubuhnya dan segera bersiap.
Dia melirik jam dan kembali mengumpat, "s****n! Aku akan terlambat dan kenapa juga aku bisa seheboh ini hanya karena Cindy ingin bertemu?" Chris merutuk dirinya sendiri, tapi dia juga tidak melambatkan gerakannya. Dia memasang dasi dengan cepat tanpa memperdulikan suara ketukan serta teriakan Lexa di luar sana.
Chris membuka pintu kamarnya begitu telah selesai dengan urusannya. Dia berlalu begitu saja melewati Lexa tanpa peduli dengan wanita itu. Lexa mendengus dan dia mulai mengikuti langkah Chris yang akan keluar dari penthouse-nya.
"Demi Tuhan, Chris! Jika kau tidak berhenti, aku akan memberitahu Nenek!"
Dengan tidak peduli, Chris mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam lift. Matanya menatap Lexa yang masih berdiri dari kejauhan.
"Katakan saja, aku tidak peduli. Aku harap jam 10 nanti kau sudah pergi dari tempatku. Anton yang akan mengantarmu." Setelah mengucapkan itu, pintu lift tertutup membuat Lexa menggeram kesal.
Lexa sudah terlampau sabar menghadapi sikap Chris. Pria itu memang tunangannya, tapi itu hanyalah sebuah status karena selama ini Lexa tidak pernah merasa jika Chris melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang tunangan kepada pasangannya.
Wanita itu memang kesal, tapi dia benar-benar telah jatuh pada pesona Chris.
***
Chris menghentikan langkahnya begitu melihat punggung kecil yang membelakanginya. Cindy sedang duduk di bangku taman seperti biasa, lengkap dengan buku sketch-nya. Setelah berhasil merubah raut wajahnya menjadi tenang, Chris kembali berjalan menghampiri Cindy.
"Menggambar lagi, eh?"
Mendengar suara itu, Cindy terlonjak kaget dan menatap Chris tidak suka. Kenapa pria itu selalu muncul secara tiba-tiba seperti ini?
"Seperti yang kau lihat, Tuan." Cindy menoleh sebentar dan kembali fokus pada bukunya, sesekali ia juga menatap Violet yang tengah bermain di tengah taman.
"Aku pikir kau yang memintaku datang, tapi kenapa kau yang diam?" Chris dengan angkuhnya berbicara tanpa menatap Cindy.
Seolah tersadar, dengan cepat Cindy melipat bukunya dan menggeser duduknya untuk Chris, "Maaf."
"Tidak masalah." Chris mulai mengambil duduk di sebelah Cindy, "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
"Seperti pesanku tadi, aku menerima beasiswa yang kau tawarkan. Ah tidak, maksudku seleksi beasiswa yang kau tawarkan."
Chris mengangguk paham tanpa menatap Cindy, "Baiklah, mulai minggu depan kau bisa langsung masuk."
"Apa katamu? Minggu depan? Apa aku tidak mengikuti seleksi terlebih dahulu?"
Chris menatap Cindy dan membenarkan posisi duduknya agar dapat berhadapan dengan gadis itu, "Tidak perlu, aku sudah memasukkan namamu ke dalam daftar mahasiswa."
"Bagaimana bisa?" gumam Cindy pelan.
Cindy merasa terintimidasi dengan pria di hadapannya. Tubuh yang besar itu berbanding terbalik dengan tubuh kecilnya. Ketika ditatap seperti ini, nyali Cindy menjadi menciut, dia takut akan kekuasaan Chris. Apa boleh dia berpikir jika Chris adalah pria yang berbahaya?
Bagaimana tidak jika tanpa hujan badai tiba-tiba pria itu datang bagai malaikat dan menawarkan sesuatu yang Cindy inginkan selama ini? Apa dia bisa mempercayai Chris begitu saja?
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Cindy tergagap dan kembali menunduk, "Aku merasa aneh, kenapa kau melakukan ini padaku? Bahkan kau tidak pernah melihat hasil karyaku dan ka—"
"Tidak perlu," Potong Chris cepat. Matanya beralih menatap gadis kecil yang berlari menghampiri mereka.
Violet datang dengan nafas yang terengah. Keringat telah membanjiri tubuhnya. Cindy berdecak melihat itu, dengan cepat dia meraih tisu dan mengusap wajah Violet.
"Kau harus ke sekolah setelah ini, Violet. Kenapa kau mengotori pakaianmu?"
Violet tertawa, tapi tawa itu langsung terhenti begitu melihat seorang pria berbadan besar yang duduk di samping Cindy, "Dia siapa Cindy?"
Cindy menatap Chris sekilas dan tersenyum, "Dia Paman baik, Sayang."
"Paman baik?" Violet menatap Cindy bingung, tapi setelah paham, dia langsung bertepuk tangan senang, "Apa kau benar Paman baik? Jika benar, bisakah kau memberiku lollypop?"
Cindy terkejut dan menarik Violet untuk menjauh dari Chris, "Violet kau tidak bisa seperti itu pada orang yang baru kau kenal."
"Katamu dia orang baik, Kak." Violet menatap Cindy kesal.
"Iya, Paman Chris memang orang bai—"
"Kemarilah," ucap Chris tersenyum tipis pada Violet.
Cindy terdiam begitu Violet mengejeknya dan berlari masuk ke pelukan Chris. Cindy hanya bisa diam melihat interaksi dua orang itu.
"Siapa namamu?"
"Violet, Paman!" jawab Violet semangat.
"Kau ingin lollypop, Violet?" Ucapan Chris mendapat anggukan senang dari Violet.
"Kau ingin mengantar Violet ke sekolah setelah ini?" tanya Chris pada Cindy.
Cindy mengangguk dan melirik jam tangannya, "Iya, aku harus mengantarnya setelah ini."
"Kalau begitu biar aku yang mengantar kalian," ucap Chris sambil kembali menatap Violet, "Aku akan mengantarmu le sekolah dan setelah sampai, aku akan memberimu banyak permen."
"Kau serius?" tanya Violet dengan mata yang berbinar.
"Tidak perlu, Tuan—"
"Panggil aku Chris." Potong Chris cepat.
Cindy mengangguk patuh, "Baiklah, Chris. Tapi sungguh kau tidak perlu melakukan ini. Aku bisa mengantar Violet sendiri."
"Aku tidak menerima penolakan Cindy," ucap Chris dan mulai berdiri. "Ayo Violet!"
Cindy terdiam melihat punggung Chris dan Violet yang mulai menjauh.
Apa semua akan baik-baik saja setelah ini? Batinnya terus bertanya.
"Apa kau akan tetap diam di sana, Cindy?!"
Dengan cepat Cindy membereskan bukunya dan berlari mengikuti langkah Chris yang telah berhenti di depan mobil mewah yang tidak pernah Cindy sentuh, dan sekarang dia akan menaikinya. Apa ini nyata? Cindy tidak tahu, apa ini termasuk nasib baik atau buruk?
Chris terlihat berbicara sebentar dengan seorang pria, sampai pria itu memberikan kunci mobil dan berlalu pergi meninggalkan mereka bertiga.
Chris mulai masuk ke dalam mobil diikuti oleh Cindy dan Violet. Belum sempat Cindy masuk, suara Chris membuat langkah kaki Cindy terhenti.
"Kau duduk di depan. Aku bukan supirmu."
Mendengar nada itu, Cindy mendengus kesal dan langsung berputar untuk duduk di samping kemudi. Setelah duduk, entah kenapa dia malah teringat dengan kasurnya. Bahkan kursi mobil pun sama empuknya dengan kasur miliknya.
Oh ayolah, Cindy! Bisakah kau tidak bertingkah kampungan?!
Cindy terdiam dan berusaha untuk menikmati perjalanan. Telinganya tidak henti mendengar celotehan Violet. Terjadi interaksi kecil antara Chris dan Violet yang membuatnya terkejut.
Dia pikir Chris adalah tipe pria yang kaku, tapi ternyata jika sudah dihadapkan dengan anak kecil dia juga bisa berubah lembut, meskipun wajah angkuhnya masih tetap ada.
Cindy tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Dia paham betul jika Chris merupakan orang asing yang baru saja memasuki hidupnya, tapi Cindy tidak pernah tahu jika kedekatan mereka bisa berkembang begitu cepat. Baru kemarin dia bertemu dengan Chris dan sekarang dia sudah duduk di samping pria itu. Tidak! Cindy tidak tertarik dengan Chris, bahkan dia merasa takut dengan aura pria itu. Dia hanya penasaran, iya hanya penasaran.
***
TBC