Dear Theresa,
Kami minta maaf meninggalkanmu, tapi jangan khawatir kami akan mengunjungimu dua minggu sekali. Kami sudah membuat kesepakatan dengan Firio, dia berjanji akan menjagamu.
Saat kembali nanti, akan kubawakan pakaian dari dalam dinding.
Penuh cinta,
Aisla, Castriel, Eoghan, Lachlan, Yadiel. Penghuni distrik 122, dinding Eve.
“Bagaimana bisa mereka meninggalkanku disini— di— dimana ini?” Theresa kesulitan bernapas karena penasaran.
Dia terdiam selama beberapa menit, tanpa bisa berpikir apapun— seingatnya dia sedang berdebat dengan makhluk buas bernama Porfirio itu, tapi nyata sekarang, dia terbangun di atas ranjang kamar usang.
Dimana ini? Sebenarnya jam berapa sekarang?, Ia terus bertanya-tanya pada diri sendiri seraya menatap keluar jendela— cahaya mentari bersinar terik.
Kedua mata coklatnya itu mulai mengamati situasi tempat ini.
Ruangan yang sempit, cat temboknya yang seharusnya putih— kini menjadi keruh, sebagian areanya telah mengelupas, atapnya penuh sarang laba-laba. Di dalam sini hanya ada satu ranjang kecil berseprei coklat polos, berselimut tebal, lalu meja dari besi, semuanya sudah berkarat, tapi terlihat masih kokoh. Ada semacam bola lampu di atasnya, mirip lampu taman, hanya saja tidak ada tombol apapun di permukaannya.
Belum puas mempelajari tempat ini, pintu sudah digedor dua kali, lalu dibuka paksa. Firio. Dia sepertinya marah tanpa alasan jelas, kemarahan itu makin besar saat melihat Theresa masih di atas ranjang.
Theresa terperanjat, nyaris loncat. Baginya ini adalah sikap paling tidak sopan. Bagaimana bisa dia masuk ke kamar seorang wanita seperti ini?
“Hei Tomat, berapa lama lagi kau akan di sini? Ini sudah mau siang!” sergah Firio kasar.
“Tomat?” ulang Theresa tak terima. “Namaku Theresa, bukan tomat!”
“Menurutku rambut merah jelekmu mengingatku pada tomat—” ledek Firio masih bersikap defensif. Dia memandang rendah wanita itu, lalu mengatakan, “ayo bangun— kau pikir siapa dirimu? Ratu? Kau itu b***k— ini bukan tempat asalmu, kalau kau ingin kembali ke masamu yang kau pikir sangat bahagia itu, layani aku.”
“Suaramu tak perlu ngotot begitu,” dasar orang gua, lanjut Theresa dalam hati.
“Dengar Tomat, kali ini kumaafkan, tapi besok— kalau kau tidur lebih lama dariku, aku akan mengguyurmu dengan air dari bisa ular.”
“Sudah kubilang namaku Theresa!”
“Aku tidak sudi menyebut nama itu terlalu sering, jadi aku akan memanggilmu tomat.”
Dia pergi keluar tanpa berkata apapun lagi. Theresa berlari mengejarnya, ingin melampiaskan kekesalan.
Firio duduk di atas sofa ruang depannya, tempat dimana mereka sebelumnya berkumpul— akan tetapi saat ini kondisinya jauh lebih bersih, ada bau bunga lavender menyebar disini. Aroma yang mengingatjan Theresa akan selimut di tenda kaum nomaden saat itu.
“Kau pikir kau siapa?” Theresa ingin mengamuk saja saat melihat Firio sedang membersihkan deretan pisau di atas mejanya.
“Aku pemimpin di distrik ini, kau numpang perlindungan padaku, sadar posisi?”
“Tuan Serigala, ini bukan salahku, tolong jangan membenciku! Aku yang terjebak disini— kau tidak ingat kemarin hampir membunuhku, lalu seenaknya memaksaku tinggal denganmu? Kau pasti mengusir Aisla—”
“Aku tidak rela melihatmu dipermainkan ilmuan dalam dinding Adam—” potong Firio memperlihatkan wajah dinginnya, “jangan salah, bukan berarti itu karena aku mencintaimu— tapi kalau mereka tahu kau dari masa lalu, mereka pasti akan mengincarku juga, dan itu berbahaya bagi kaumku.”
“Kepala Suku, aku tidak peduli denganmu atau siapa dirimu, aku hanya ingin pulang, aku tidak mau menjadi budakmu.”
“Tomat, kalau kau tidak mau menurutiku, aku akan— memberikanmu ke distrik kanibal, bagaimana?”
“Apa?” Theresa panik.
Firio menyeringai. “Mereka akan menyukaimu, daging wanita muda yang empuk dan mulus—”
Theresa muak dengan pria ini. Entah mengapa dirinya yang lain menyukainya. Tidak mungkin, orang ini terlalu primitif dan jauh dari standarnya. “Kau menjijikan.”
“Jadi Yang Mulia, cepat gantilah baju, aku sudah siapkan di kamar mandi— karena aku muak melihat baju totolmu yang mirip jamur beracun,” ucap Firio bernada sindiran berat sembari menuding ke salah satu ruangan disana, “lalu bersihkan daging buruanku di belakang rumah, dan beri makan para serigalaku.”
“Kau pikir aku petugas kebun binatang?”
“Mereka bukan binatang biasa, mereka keluargaku—” Firio menekankan pernyataan ini, tak suka ada yang menyamakan para serigalanya dengan binatang biasa.
“Oh tentu, Mowgli, mereka keluargamu,” ejek Theresa masih sewot kala terpaksa memasuki ruangan yang disiapkan.
Firio kembali sibuk dengan berbagai pisau berburunya. Tidak hanya berbilah putih, ada pula yang kehitaman. Yang pasti— semuanya tajam.
Dengan penuh hati-hati, dia memasukkan mereka ke sarung masing-masing. Satu per satu dia mengikatnya di sabuk celananya. Tak hanya itu, ternyata sebagian lagi dia selipkan di balik mantel hitam yang ia pakai.
Dia menguncir rambut panjangnya dengan seutar tali, membiarkan sejumput rambut depan saja yang menggantung di sekitar mata kanan.
Sambil menyandarkan punggung, ia menghela napas panjang— kelelahan, sudah beberapa hari dia harus berseteru dengan kelompok misterius. Namun suasana hati lah yang membuatnya tampak lemah, Theresa—
Selama bermenit-menit lamanya, dia memijat kening, bertanya-tanya apakah keputusan membiarkan wanita itu tinggal dengannya adalah benar? Kenapa malah seperti ini?
Ia meremas gagang pisaunya, marah, tapi kemudian rasa cinta membuatnya lemah lagi.
Tanpa ia sadari, Theresa sudah berjalan keluar kamar mandi. Wanita ini sudah cukup segar dalam balutan mantel hangat berwarna hitam, modelnya sama dengan dirinya.
Ia bergumam, “kenapa disini baunya lavender—”
Firio kaget, ia spontan melemparkan pisau ke samping telinga wanita itu, membuatnya diam membatu selama beberapa detik.
Pisaunya menancap di dinding, iya, saking tajamnya sampai bisa menembus tembok batu.
“Bagus, kau sudah seperti orang masa kini—” kata Firio memperhatikan penampilan Theresa.
Theresa menoleh ke pisau barusan, lalu marah-marah, “apa maksudnya itu? Kau pikir aku papan dart? Kau berniat membunuhku lagi?”
“Aku tidak tahu Theresa bisa se-cerewet dan se-mengganggu ini, kenapa kau menjadi sangat banyak bicara? Kurasa menjadi pencari berita membuat mulutmu lebih aktif ketimbang otakmu.”
Sindiran itu langsung menusuk d**a Theresa. Itu memang benar, sejak menjadi jurnalis, dia memang diwajibkan kritis pada suatu peristiwa, ia terbiasa mewawancarai orang.
Dia menegaskan lagi, “aku hanya ingin pulang— dan hidup di dunia modern yang sesungguhnya, Kepala Suku barbar.”
“Ya sudah, turuti perintahku, jangan membantah,” kata Firio dengan nada culas, lalu pergi keluar rumah, “kukenalkan dulu pada wargaku, jangan bersikap tak bersahabat, orang dewasanya ada empat puluhan, kupastikan kau tercabik tak karuhan kalau membuat mereka marah dan akan kubiarkan.”
“Kelihatannya kau memang sangat tak suka padaku, padahal harusnya kau minta maaf—” gumam Theresa mengekor di belakang. “Aku bukan istrimu, jangan lampiaskan marahmu padaku, bisakah kau berhenti kekanak-kanakan begini?”
Firio tak peduli, masih memasang wajah datar. “Ya, aku sangat membenci wajah dan baumu, jiwaku terbakar dan memaksaku ingin menancapkan pisau ke tubuhmu.”
Theresa tak percaya. “Itukah perlakuanmu pada orang asing?”
“Kau bukan orang asing, kau tetap Theresa, tubuh kalian sama— bedanya—” Firio menoleh untuk mengendus Theresa sesaat. “Kau tidak pernah tidur denganku.”
“Kalau saja di era primitif ini ada polisi, aku akan melaporkanmu atas tuduhan pelecehan.”
Firio tak berkata lagi karena sudah berada di teras rumah, bersama wanita itu, di hadapan warga distriknya. Ada puluhan dari mereka, lengkap dengan para binatang buasnya berjaga di antara puing-puing sekitar.
Theresa gugup, takut dengan wajah dingin dan sorot mata warga yang tak bersahabat itu. Secara fisik, mereka tak jauh berbeda dengan Firio, bertubuh kekar, berkulit agak kecoklatan dan berambut hitam legam, tak terkecuali para wanitanya.
Kalau dari dekat begini, Theresa merasa orang-orang distrik ini agak mirip dengan fisik orang Spanyol.
“Astaga." Ia menggumam pelan seraya merapat ke tubuh Firio. Sesekali tatapan matanya tertunduk, takut sekali kalau dimutilasi ramai-ramai.
Firio menjelaskan dengan nada begitu tegas, “mungkin kalian mengira ini Theresa, istriku, tapi ini bukan dia— ada kesalahan dalam portal waktu yang kumiliki, jadi Theresa dari realitas lain yang ada di sini. Karena ini kesalahanku, maka aku bertanggungjawab untuk memperbaiki keadaan hingga dia kembali pulang, kuharap kalian tak keberatan— aku membiarkannya untuk menetap dengan kita, tak perlu khawatir, dia dalam pengawasanku.”
Ia sungguh seorang pemimpin sejati, dan Theresa sempat takjub.
“Tidak masalah,” sahut salah seorang pria paruh baya yang sudah semacam sesepuh di distrik ini. Dia ditemani seekor serigala besar yang sama tua dengannya.
“Terima kasih untuk pengertianmu, Refugio,” balas Firio sopan, dia seperti orang berbeda saat ini, tak mirip sama sekali dengan makhluk haus darah malam-malam sebelumnya.
Dia lantas menoleh ke arah wanita muda yang berambut sebahu. “Thana, ajari wanita ini memproses makanan untuk sanak keluarga—”
Wanita bernama Thana itu sangat memahami ucapan itu. Sambil tersenyum tipis, dia mengangguk. “Tentu.”
“Dan Lorcan, Lando, ayo ikut aku— kemungkinan kelompok liar itu masih di sekitar wilayah kita, sebelum ada anak distrik ini dijual ke pelelangan, ayo kita habisi mereka—” ajak Firio mulai menunjukkan sisi buasnya lagi, dalam sekejab, sorot matanya menjadi dingin.
Dia turun dari teras sembari melemaskan telapak tangannya.
Para warga memberinya jalan untuk pergi, dua orang pria kembar mengekor. Kemudian dua serigala putih besar, beberapa anjing liar berbulu coklat, dan elang juga ikut.
Siapa dia itu? Dr. Dolittle?, pikir Theresa tak percaya kepergian mereka bertiga ditemani oleh para binatang berbahaya.
Semua orang pun membubarkan diri, kecuali Thana. Wanita ini mendekati Theresa, membuyarkan lamunannya.
“Selamat pagi, namaku Thana, salam kenal—” ucapnya.
Theresa tersenyum paksa. “Salam kenal.”
“Aku akan mengajarimu memberi makan keluarga Firio, dari semua orang, kawanannya yang paling banyak,” kata Thana kemudian berjalan ke samping rumah, menuju ke belakang. “Ayo ke belakang—”
Theresa ikut tanpa banyak bicara. Pikirannya masih tertuju pada ucapan Firio, apa dia akan berperang dengan suku lain? Memikirkannya saja sangat mengerikan— mengapa masa depan sangat jauh dari gambarannya?
“Apa kalian sedang perang?” tanyanya tanpa ia sadari.
“Perang?” Thana mengulangnya.
“Firio barusan—”
“Oh, kelompok penculik akhir-akhir ini berani mendekat kemari, jadi Firio sibuk. Mereka mengincar anak-anak dari distrik kami karena ya— secara fisik kami memang unik dan kuat di mata distrik lain, jadi mereka mengincar anak-anak kami.”
Sangat primitif, pikir Theresa bergidik sendiri. Ia mengingat ucapan Aisla, memang sebaiknya tinggal di dalam dinding yang jelas terlindung oleh aturan.
Bagian belakang rumah ini sangat luas. Tanah berbatunya telah ditumbuhi kuncup rumput baru. Banyak pula tertanam pepohonan berdahan rendah dan berdaun lebar. Teduh dan nyaman, tapi Theresa takut.
Puluhan serigala berbulu hitam yang besarnya hampir setinggi tubuhnya sedang tidur di bawah pohon-pohon segar itu.
“Jangan takut, baumu pasti sudah familiar di hidung mereka, ayo kita langsung saja mengambil buruan Firio kemarin—” ucap Thana menuding ke sebuah gudang penyimpanan dari kayu tak jauh dari sana.
Para serigala itu hanya menatap Theresa, tidak ada aura permusuhan. Mereka semua bahkan kembali tidur, tak peduli— tentu saja karena ada bau Firio di mantel itu.
Theresa tak mengatakan apapun, hingga dia mencium aroma tak sedap, amis dan anyir, sesampainya di gudang besar itu.
Tadinya ia mengira isinya mungkin sejenis alat-alat berburu, namun nyatanya ini adalah tempat bertumpuknya bangkai buruan, beberapa rusa bertanduk besar yang tak pernah dilihatnya selama ini.
Di dalam ruangan ini terdapat meja pemotongan, wadah-wadah besi, serta air sumur untuk membersihkan.
Thana masuk, membuka jendela-jendela agar baunya tak terlalu menyengat.
Theresa mual, lalu muntah di depan pintu. Reaksinya sama sekali tak mengejutkan bagi Thana. “Kalau Theresa yang satunya paling suka kegiatan ini—”
Theresa tersinggung, merasa dirinya dianggap lemah. Sambil menutup hidung, dia berkata, “maaf, selama ini aku tinggal di rumah wangi—” Dia segera masuk tanpa peduli isi perutnya yang ingin keluar. “Sekarang aku harus apa?”
Thana menahan tawa. “Oke, kita hanya perlu memotongnya, lalu membersihkannya sedikit dan memberikan porsi-porsi yang adil pada mereka.”
Theresa muntah lagi.
***