Langkah Theresa berat kala menapaki jalan beraspal retak, kembali ke distrik 222. Saat pagi hari, suasana wilayah ini tampak jelas. Walau matahari bersinar terik, tapi disini teduh, semua berkat dahan-dahan pohon raksasa bak kerangka payung.
Bangunan-bangunan ambruk tak segelap tadi malam. Kini ada seulas cahaya yang menerobos tiap celah-celahnya. Toko-toko rusak berjajar di sepanjang jalan. Tidak jelas bagaimana bentuknya saat masih berdiri, yang jelas di mata Theresa bahan bangunannya sangat asing- seperti batuan besar dengan d******i warna gelap.
Sebutan kaum buas memang cocok untuk para penghuninya. Beberapa di antara mereka bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, mengamati kedatangan Theresa dan para orang dalam dinding.
Penampilan warga ini mirip seperti pemburu biasa, mengenakan pakaian serba tertutup warna gelap yang telah didesain bersaku banyak agar mampu menampung puluhan pisau. Kepala mereka terpasang topi hangat yang terbuat dari bulu binatang buruan. Sedangkan bagian kaki terlindung oleh boots tebal berbahan kulit binatang.
Sorot mata mereka sama sadisnya dengan anjing hutan liar yang ada di sekitar mereka. Ya, setiap orang selalu didampingi seekor binatang liar.
Theresa nyaris tak berkedip melihat anjing yang setinggi pinggang orang dewasa. Wujudnya memang mirip anjing pemburu dengan bulu-bulu coklat, tapi tengkorak kepala mereka jauh lebih besar, gigi lebih tajam, daun telinga runcing, serta kaki-kaki jenjang nan kuat.
Akan tetapi tetap saja dua serigala yang berjalan di samping Firio jauh lebih mengerikan. Dari ujung telinga sampai kuku kaki, mereka seperti dimuntahkan langsung dari pintu neraka.
"Jangan khawatir, warga disini memang tidak ramah, tapi selama kalian berada di sekitarku, mereka takkan melubangi tenggorokan kalian," kata Firio menikmati tatapan waspada para tamunya.
"Kalian sangat primitif," gumam Castriel sempat bertukar pandangan dengan seorang pria paruh baya bermata keemasan.
"Aku takkan mendebatnya, kehidupan kami sangat menyenangkan ketimbang berkeliaran seperti tikus dalam dinding."
"Oh, sindiran terus-"
Mereka semua berbelok ke jalan yang diarahkan oleh Firio, masih di area reruntuhan bangunan. Theresa heran, dimana tepatnya warga disini tidur? Apa mereka tak punya tempat tinggal?
Sebuah rumah kecil berdiri di ujung jalan, masih kokoh, bertembok batuan besar, beratap kubah, ada cerobong asap perapian, berpintu kayu hitam, berjendela kaca dengan bentuk bundar, berteras sempit dirambati benalu hingga lantainya tak terlihat.
Sebuah rumah yang jauh dari kata modern di kamus hidup Theresa.
Firio membuka pintu, mempersilakan mereka masuk. "Ini rumahku- jangan takut, tak ada siapapun." Ia menuding ke sofa-sofa berbulu coklat yang berjajar rapi di depan perapian. "Duduklah, kalian suka air jeruk?"
"Ya." Aisla yang berani menjawab.
Firio pergi ke bagian dalam rumah, sedangkan para tamunya duduk di sofa.
Bukan hanya Theresa, semua orang juga takjub dengan penataan ruang tamu rumah ini, rapi dan indah, tak ada debu yang melayang.
Ada beberapa kubiks berwarna hitam berkilat yang memenuhi salah satu meja disana. Benda itu memiliki ukuran berbeda, terkecil mirip kotak cincin, terbesar mirip kotak jam tangan. Sekilas bahan dasar pembuatannya mirip aluminium, akan tetapi permukaannya tersebar kerlap-kerlip seperti marmer.
Sebagian benda itu, sudutnya memancarkan cahaya putih.
"Baterai Iron? Bisakah kita mencurinya?" tanya Castriel tergoda memasukkan kubiks-kubiks itu ke dalam kantongnya.
"Yang benar saja, serigala di luar akan siap memakan kepalamu," kata Aisla melirik keluar jendela dimana dua serigala berjaga di teras.
Firio keluar membawakan satu nampan minuman. Kondisi jiwanya benar-benar sudah tenang.
"Jangan sentuh apapun disini tanpa ijinku," katanya sembari menaruh gelas-gelas kaca berbentuk cekung mirip setengah tempurung kelapa di atas meja.
Theresa yang pertama meminumnya. Minuman itu terasa seperti air lemon biasa, warnanya pun sejernih air putih. Rasa dahaganya pun lenyap.
Firio bersandar di tembok, menghadap para tamu. Pandangannya tak lepas dari wajah Theresa.
"Jadi, apa aku bisa pulang?" tanya Theresa memecah keheningan.
"Tidak jelas.." Firio langsung pada intinya. "Baterai yang digunakan pada mesin LYNX-ku itu yang terakhir."
Theresa menahan napas.
"Apa kubilang," ucap Castriel ikut menyegarkan tenggorokannya dengan air jeruk itu.
Aisla menepuk bahu Theresa. "Kita akan cari cara lain."
"Kau bohong pasti'kan?" tanya Theresa memicingkan mata pada Firio, berniat menyelidiki niat lain undangan ini. "Kemarin kau mati-matian ingin membunuhku, lalu sekarang mengundangku kesini-"
Firio tak lelah menjelaskan alasannya lagi, "ya, kemarin aku marah, tapi aku sadar kau- agak beda, baumu jelas Theresa-ku, tapi masa ototmu tidak, bentuk tubuhmu agak kurus dan tidak terlatih, langkah kakimu agak lambat, makanya aku mempermainkanmu- kukira kau sedang mengerjaiku tapi aku sadar- kau memang dia, tapi bukan dia. Theresa-ku seorang ahli astrofisika teoretis, kau jurnalis, dan jelas kalian berbeda cara berpikir."
Astrofisika teoretis sendiri adalah bidang ilmu yang mencari penjelasan fenomena astronomi dengan pendekatan teoretis, seperti mempelajari sistem langit.
Aisla penasaran. "Sebenarnya bagaimana caramu melibatkan Theresa ini di masa sekarang?"
Firio terdiam selama semenit lamanya, menimbang-nimbang apa harus diceritakan sejujurnya. Namun setelah melihat keresahan di kening Theresa, dia pun mengaku, "Kita tahu bahwa laboratorium pembuat LYNXproject itu dibiayai oleh orang-orang kaya yang ingin lari dari masa peperangan. Kakek buyutku yang berhasil menciptakan baterainya, benda itu hanya beberapa dibuat dan tidak diketahui bahan bakunya, jadi saat peperangan semakin besar, semua ilmuan mati dan tempat itu hancur, hanya saja dua dari baterai itu diwariskan di keluarga-
"Selama turun temurun, kami mempelajari isi dari baterai itu, walau belum berhasil juga. Sampai akhirnya aku bosan dengan kehidupan menyedihkan ini dan berniat melarikan diri ke masa yang dikatakan indah, aku membacanya di buku sejarah- di masa lalu, ratusan tahun lalu, peradaban memang sudah maju, tapi tak ada peperangan, tak ada robot pembantai, tak ada bom yang luar biasa dahsyat yang sampai membuat lautan kering dan langit mendung selama berminggu-minggu. Aku menggunakan mesin itu dan mulai hidup di masa lalu, aku membuat realitasku sendiri disan-
"Tapi kemudian, aku bertemu Theresa, dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama-"
"Beberapa bulan setelah itu, kami berkencan, aku mengakui siapa diriku dan dia percaya karena pada dasarnya dia ahli ilmu perbintangan- dan dia memaksaku mengajaknya kembali ke masa ini, dia penasaran. Ya, kami ke masa ini, lalu menikah- semua baik-baik saja-
"Sampai akhirnya, Theresa mencuri batu-batu berhargaku- bahan baku pembuatan beberapa baterai penghidup robot tertentu, termasuk baterai Iron buatan kakek buyutku, kalau dia mengekstraknya, entah apa yang terjadi- lalu melarikan diri dan berkata sejak awal cuma ingin memuaskan rasa ingin tahunya-
"Masa lalu tidak berimbas di masa depan'kan?" sela Aisla memikirkan hal itu.
Firio menggeleng. "Jika dia berulah di masa lalu, tidak ada hubungannya di masa kita. Dia hanya akan membuat realitas baru, sementara ini realitas dimana dia masih belum berulah. Multisemesta ini tak terbatas."
"Ah itu konsep many world dari David Deutsch, di masaku itu teori terkenal sekali," timpal Theresa malah teringat nama fisikawan asal Britania Raya itu. Dia tak menyangka ternyata setelah berabad-abad lamanya, konsep ini tetap masuk akal.
Aisla mengangguk. "Oh, mungkin di realitas dimana dia berulah- dia mungkin menciptakan peledak masal lebih awal, lalu peperangan lebih awal, dan mungkin di waktu ini kita sudah mati atau tak pernah terlahir karena orangtua kita mati."
"Benar. Jika Theresa membunuh kakek buyut yang berpengaruh di masa depan, tak ada imbasnya dengan masa depan kita. Dia hanya akan menciptakan realitas baru, sementara realitas kita- orang itu masih eksis," sahuy Firio terdengar sendu.
"Begini, aku dari awal paham dengan situasiku-" Theresa menatap wajah-wajah di sekitarnya. "Hubungan masa lalu, masa kini, dan masa depan itu seperti seutas benang'kan? Nah, masalahnya adalah, ini bukan semestaku yang bekerja sebagai jurnalis, melainkan semestaku yang menjadi ahli bintang-bintang-"
Firio mengangguk. "Ya, artinya kau ada di garis benang semestamu yang menjadi ahli astrofisika. Ini salah dirimu yang satu itu, sengaja atau tidak, dia menyeretmu masuk ke semestanya."
Theresa tertegun sejenak, memikirkan masa lalu dan cita-cita. Segala hal yang ingin ia capai. Ini seperti sebuah mimpi, tak mungkin kenyataan.
"Saat aku masih kecil hingga sekolah menengah, nilai sains-ku sangat bagus, aku suka dengan segala hal yang berbau biologi, arkeologi dan antariksa, bahkan aku menghafal diameter seluruh planet di tata surya-" terangnya mengenang jauh, terhenti sejenak untuk tersenyum pedih. "Tapi saat beranjak dewasa aku memilih menabung uang warisanku dan masuk pendidikan jurnalistik karena biayanya lebih murah-" jelasnya kemudian.
Firio mengangguk. "Nah, Theresa yang ada semestaku ini, yang kutemui itu adalah Theresa yang memilih menghabiskan uang demi menempuh pendidikannya."
"Bukankah ini artinya masa depan di semestaku bisa saja sangat modern, tak ada peperangan dan kaum kanibal? Dan orang buas sepertimu?"
Firio menatap wanita itu, tajam penuh rasa benci. "Apa pedulimu? Kau tak mungkin hidup 400 tahun untuk melihat apa masa depan di semesta idamanmu?"
"Apa aku benar-benar tak bisa kembali ke alur waktuku?" tanya Theresa masih berharap, menatap Firio. "Kau ilmuan'kan? Tolong buatlah baterai itu."
"Aku tidak tahu bahannya, lagipula sepertinya tidak ada lagi, bisa saja itu dari luar angkasa."
"Bagaimana denganku?"
"Kau bisa meminta perlindungan di distrik lain, dan hiduplah dengan tenang di dunia ini- "
Theresa berdiri, lalu memarahinya, "apa? Setelah semua kekacauanmu, kau meninggalkanku?"
Firio tersulut emosi. "Dari awal ini memang ulahmu, jangan salah, sekalipun kalian berbeda jalan hidup, kalian tetap sama! Ini salahmu, pencuri! Kau membuat wargaku hampir celaka karena ulahmu!"
Aisla menyela, "hei, hei- ini-"
Keempat temannya juga mulai berkeringat dingin, ketakutan jika sampai harus bertikai di sarang binatang buas ini.
Firio menuding wajah Theresa, "kalaupun kubantu, saja kau berniat licik lagi padaku, memanfaatkanku membuatkan benda modern untuk kau bawa ke masamu, dan membuatmu dapat piagam penghargaan atas pencapaianmu di bidang ilmu pengetahuan, lalu menghancurkan dunia lebih cepat, semakin modern dunia ini, semakin buruk mental manusianya, semakin cepat menuju kehancuran-"
Theresa tertunduk lemas. "Ini bukan salahku, aku bukan pencuri."
Aisla menyentuh punggung tangan wanita itu. "Tidak apa-apa, ayo sementara kita ke distrik lain- dan akan kuajukan syarat menjadi penghuni dinding pada Neo untukmu. Siapa tahu para ilmuan di dinding Adam bisa membantumu."
"Kau pikir aku akan membiarkan Theresa dijadikan percobaan para ilmuan dinding itu?" sergah Firio nyaris seperti ingin melahap mereka semua.
Semua kaget.
Eoghan menengahi, "kau terlalu benci penghuni dinding, mereka tidak segila yang kau pikirkan."
"Aku ilmuan, oke, baik, akan kuusahakan menangani Theresa." Firio menatap Theresa serius.
Theresa mengeryitkan dahi. Ia ikut marah sambil menyindir, "bukannya kau tadi bilang tak mau berurusan denganku? Kau takut aku mengambil batu bertuah Nicholas Flamel-mu?"
Castriel heran. "Siapa Nicholas Flamel itu?"
"Itu karena aku marah!" Firio membentak, gigi taringnya tampak berkilatan tiap dia membuka mulut lebar-lebar. "Dan sekarang aku makin marah, kau seenaknya mau menjadi penghuni dinding?"
"Aku tidak mau dimakan kaum kanibal atau dikejar-kejar oleh kaum buas yang pendendam karena batu."
Firio mendekat, seringainya muncul seolah menandakan ia tertantang. "Heh, aku tidak tahu kalau Theresa punya sisi lain begini- kau sangat unik. Baiklah,mulai sekarang- kau jadi wargaku, dan jadi budakku sampai aku berhasil memperbaiki LYNX, mungkin menemukan tahu cara lain agar kau bisa pulang ke peradabanmu yang kuno."
"Astaga, peradabanku dihina kuno oleh kaum primitif."
"Oh-"
"Apa?" Theresa putus asa. Dia tak takut lagi pada gigi taring dan sorot mata jahat Firio. Pikirannya kacau setelah menyadari persentase ia bisa pulang adalah 0,1 %.
"Kau benar-benar lupa kemarin berlari seperti kijang? Menjerit-jerit seperti cicitan tikus, masih berani melawanku?" Firio mulai mengintimidasi. Sebagai pemimpin kawanan kaumnya, perilaku seperti ini sudah wajar dia keluarkan pada siapapun yang bukan 'koloni'.
"Aku tak tahu kalau kaum pria di peradaban primitif sangat suka melawan wanita, di peradabanku kaum pria yang punya harga diri, takkan mungkin melawan wanita."
Aisla, Castriel, tak sengaja tersenyum geli. Sedangkan Eoghan malah bermuka masam karena tersinggung- merasa dirinya juga dianggap primitif. Sedangkan Lachlan dan Yadiel masih malas mengikuti pembicaraan rumit ini.
Karena marah, Firio merogoh saku mantelnya, mengeluarkan bulatan sebesar kelereng warna coklat yang kemudian dia lemparkan ke tubuh Theresa. Sebuah benda yang memancarkan kilat seperti listrik saat bersentuhan dengan baju.
Tubuh Theresa tersengat, ototnya kaku seketika, sengatan itu terasa panas hingga menjalar ke tulang sumsum hingga kepala.
Tiga detik kemudian, dia pingsan.
***