06| Scientist I The Negotiation

1651 Kata
Theresa linglung selama sejam setelahnya. Dia lebih memilih tiduran di dalam tenda ketimbang ikut makan di luar. Perutnya berbunyi keras, ia kelaparan. Aisla datang ke dalam tenda, lalu memberikan satu tusuk daging ikan bakar. "Ini ikan, mungkin kau agak tak suka rasanya daging kelinci hutan sini." Theresa menerimanya cepat, seperti binatang peliharaan yang sudah menantikan waktu makan. Kelelahan semalam membuat perutnya makin melilit. Kini dia yang tampak primitif, meniup-niup daging ikan itu, lalu memakannya buru-buru. "Maaf ya, mereka, para pria memang seperti itu. Mereka semua masih satu keluarga denganku, jadi wajar saja kalau mereka kompak saat menyindir atau bercanda- sekali lagi maaf ya," pinta Aisla tersenyum ramah. Theresa menjawab, "tidak apa-apa. Aku cuma syok, maksudku tiba-tiba terjebak disini hanya mengenakan baju tidur, lalu dikejar pria gila." "Ya- aku tahu." "Kenapa kalian mau menolongku? Aku pasti- hanya menyusahkan." "Kau jangan salah, walaupun sudah beda jaman, saling tolong menolong tetap terjaga," kata Aisla menepuk pundak Theresa pelan. "Kau beruntung kami mampir saat itu, jadi tentu saja kami tolong- lagipula ini sekalian untuk latihan fisik, hidup di dalam dinding itu terlalu damai, jadi kurang menantang." Setelah jeda, dia menambahkan, "maksudku bukan berarti kami tak suka kedamaian, tapi ya- keluarga kami pecinta tantangan." "Terima kasih." Aisla tersenyum ramah sekali, seakan dia adalah perumpamaan dewi di mata Theresa. "Sama-sama. Masalahnya sekarang, tengkukmu tidak ada pengenalnya, akan sulit menyelundupkanmu ke dalam dinding." "Tengkuk?" Theresa spontan menyentuh leher belakangnya. "Tanda pengenal?" "Sejak lahir, warga dalam dinding selalu mendapat tanda pengenal yang dipasang di tengkuk. Pemeriksaan dilakukan saat keluar masuk gerbang dinding." "Kalian memperlakukan penduduk seperti barcode barang dagangan?" "Lebih efisien, tidak ada penipuan identitas. Kau harus sadar, jaman sudah berubah, disini ada manusia kanibal yang siap memanggangmu hidup-hidup, kau mau makhluk seperti itu masuk ke wilayahmu?" Theresa takut. "Lalu apa kita aman disini? Kenapa kalian berani sekali keluar dari dalam dinding itu?" "Tidak masalah, asalkan kami tahu rute aman, itu bukanlah masalah. Kaum kanibal biasanya bekerja berkelompok, mereka cenderung enggan keluar wilayah mereka. Biasanya yang dijadikan mangsa itu- musuh-musuh dari distrik sekitarnya." "Astaga, ini mengerikan, lebih dari primitif, mengapa masa depan malah seperti ini?" "Kan sudah kuceritakan, karena peperangan- kematian massal terjadi, ekonomi hancur, akibatnya makanan menipis- kanibalisme terjadi. Itu wajar saja, bukan?" "Lalu bagaimana denganku? Dikejar pria gila dan kanibal? Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk membuka portal menuju jamanku lagi?" "Kalau bisa, mungkin banyak yang ingin pergi ke jaman yang lebih baik, masalahnya baterai LYNX itu setahuku sudah tidak ada, laboratorium yang membuatnya juga sudah hancur karena peperangan, seluruh ilmuan yang terlibat dalam penelitian itu- mati." "Aku yang akan mati sebentar lagi." "Tapi seperti yang dikatakan mereka-" Aisla melihat keempat pria yang asyik mengobrol ditemani api unggun. "Ada kemungkinan kalau suamimu- maksudku, pria dari distrik 222 itu mengetahui tentang mesin ini dan dia yang membawa Theresa kesini." "Maksudmu setelah melarikan diri darinya, aku harus menemuinya?" "Kau benar, mereka saja sampai kuwalahan, mana dia pemimpinnya-" "Bagaimana ini?" Belum sempat Aisla menjawab, para pria di luar mulai memanggil namanya. Mereka berdiri dengan sikap waspasa. Derap kaki-kaki kecil terdengar menginjak ranting pepohonan. Kedua wanita ini keluar dari tenda. "Ada apa?" tanya Aisla penasaran. "Ada apa, ada apa, itu dengar!" Castriel mempersiapkan dirinya dengan pistol berpeluru listrik. "Dia keras kepala sekali, terpaksa pakai saja ini." "Kemarin sudah kupakai tongkat listrik, dia tidak terpengaruh," kata Yadiel seraya memijat lengan kekarnya, bersiap menyerang lagi. Lachlan ikut mengomel, "padahal aku sudah menebarkan alat penyamar bau tubuh, dia bisa melacak kita?" Theresa panik. "Jangan-jangan dia kesini lagi? Yang benar saja! Ayo kita lari!" Dia menggenggam erat pergelangan tangan Aisla. Aisla memandang keempat pria itu. "Kira-kira kalian bisa melumpuhkannya kali ini? Kita bisa mencari tahu darimana dia mendapat baterai untuk menghidupkan LYNX, kemungkinan dia'kan yang memiliki mesin itu." Yadiel bersiap dengan pisau berburunya. "Aku tidak yakin, Aisla, serigalanya tetap berbahaya." Dari arah depan mereka, muncul dua serigala besar sepinggang orang dewasa dengan bulu-bulu putih salju. Gigi taring dan kuku tajam mereka siap untuk mengoyak daging manapun. Di belakang mereka ikut berlari Firio. Tak jauh berbeda dari penampilannya semalam, sekarang dia juga masih bermantel hitam dengan tepi berbulu. Kedua kakinya terlindung sepatu boots anti dingin. Helai rambutnya berkibar-kibar saat dia berlari, melompati akar-akar yang menyeruak ke permukaan. Wajahnya kini lebih tenang, malahan tanpa ekspresi, sorot matanya pun datar. Di kedua tangannya sudah tergenggam pisau panjang sebagai pengganti cakar. Castriel menyuruh, "Aisla, bawa Theresa pergi, lebih baik kalian pergi ke distrik 220, kita bertemu disana, kami akan menahannya lagi selama mungkin." Sebuah pisau sontak meluncur di samping telinga Theresa. Benda itu menancap ke pohon belakangnya. Semua langsung menatap Firio yang telah berhenti bersama kedua serigalanya. Napas mereka tertahan, tak menyangka kalau pisau di tangannya sudah hilang satu. "Jangan ada yang bergerak," perintah pria bergigi taring itu. Dia melirik Theresa setajam mungkin. Keempat pria tadi membentuk dinding pelindung untuk Aisla dan Theresa. "Jangan menentang, aku kemari untuk bicara baik-baik-" kata Firio lagi sembari menatap para pria. Castriel waspada. Ia menyindir, "bicara? Memangnya binatang buas bisa bicara baik-baik?" Eoghan menginjak kaki Castriel. "Aku bisa saja menebas kalian sekarang, mau coba lagi seperti semalam?" sindir balik Firio melirik satu per satu bekas sayatannya di sekujur tubuh keempat pria itu. Mereka semua memang terluka, sementara dirinya sendiri tanpa terlihat sakit sedikitpun. Wajah pria dari distrik 222 ini sesegar embun pagi, sehangat cahaya mentari, lebih cerah ketimbang semalam. Saat dia tersenyum, bukan kengerian yang menebar, melainkan pesona. Theresa mengutuk dirinya sendiri saat terpana menatap senyuman maut itu. Mengapa orang-orang b******k selalu kelihatan seksi? "Kalau aku berniat membantai kalian, aku akan membawa seluruh serigalaku, dan menjadikan kalian makanan mereka," tambah pria itu menatap Theresa lagi. "Aku cuma ingin bicara." "Oke, teruskan-" Castriel tetap waspada. "Mendekatlah kesini, Theresa," pinta Firio tegas. Dia menunjuk wanita itu dengan mata pisaunya. "Kemarilah." "Apa maumu?" tanya Theresa lantang, tak berani maju selangkah pun. Firio yang mendekat. "Aku ingin melihatmu, memastikan siapa kau ini." Castriel mengancam, "jangan macam-macam, Tuan distrik 222." "Aku serius, kemarilah, sebelum kubantai kalian semua," ancam balik Firio mampu membuat udara mendingin. Suasana hatinya sudah seperti padang pasir di malam hari. Dua serigalanya maju selangkah, tanpa disuruh, mereka tahu kalau sang pemimpin memulai pertikaian. Firio membelai salah satu kepala serigala yang berdiri di sebelahnya. Dia berniat menenangkannya. "Majulah." Theresa akhirnya berani maju, berhenti di antara para pria. Dia sudah cukup menyusahkan, tak ingin lagi melihat luka baru di tubuh mereka. "Namaku Theresa Wilson, aku tinggal di Cedar City, aku seorang jurnalis koran lokal dari tahun 400 tahun sebelum masa ini, dan aku bersumpah, aku bukan istrimu," katanya. Firio memperhatikan raut wajah Theresa, masih cantik seperti dalam ingatannya. Dia mengendus udara sesaat, aroma tubuh wanita itu menebar di mana-mana. Ini memang Theresa-nya, tidak salah lagi. Akan tetapi dia tetap ragu, karena wanita yang ia kenal- tidak mungkin selemah ini. Perbedaan massa otot tubuhnya juga berbeda, Theresa-nya lebih berisi dan terlatih, tapi Theresa ini- masih kurus, persis seperti saat mereka pertama kali bertemu. Ini Theresa yang lain. Dan Theresa yang lain ini, lagi-lagi membuatnya jatuh hati. Theresa, betapa ia mencintai wanita itu, sekaligus membencinya. Karena dipandangi terlalu lama, Theresa jadi takut. Dia tak tahu harua merespon apa, malahan pipinya menjadi kemerahan. Lebih merah ketimbang terkena udara dingin- dan semuanya bisa melihat reaksi itu. "Memang orang distrik 222 itu unik, saling membunuh, terus jatuh cinta lagi," sindir Castriel menahan tawa. Eoghan menginjak kaki pria itu lagi. Kali ini Castriel membalas perlakuan itu dengan menyiku perutnya. Firio menurunkan pisau. Amarahnya padam, digantikan rasa ingin tahu. "Kau dari realitas yang lain, benar'kan?" Eoghan yang menjawab, "itu dugaan kami. Dia sudah menceritakan apa yang terjadi." Theresa mengangguk. "Aku tidak mengerti, aku tiba-tiba disini, pintu kamar mandiku bercahaya- jadi aku membukanya, dan ternyata terhubung dengan tempat ini, tapi saat aku ingin kembali, tidak bisa." "Dari pintu mana kau datang?" tanya Firio serius. "Seperti toko elektronik, tempatnya banyak barang-barang aneh, seperti kaca mata sebelah yang kalian pakai semalam-" terang Theresa menatap Aisla dan semuanya, lalu fokus lagi ke Firio. "Lokasinya di sekitar tempat kita bertemu tadi malam." Firio berpikir sebentar. "Dia memanfaatkan LYNX modifikasiku untuk membuat portal ke realitasnya yang lain? Pintar sekali." "Modifikasi? Siapa kau ini? Sejak kapan orang luar dinding tahu hal-hal berbau teknologi LYNX?" cela Castriel tampak paling tak suka dengan penghuni luar dinding. Dia makin benci setelah pelipisnya tersayat tadi malam. Firio menatapnya dingin. "Dengar, aku tak mau berurusan dengan orang rasis, aku seorang ilmuan, aku yang memodifikasi mesin LYNX untuk istriku, membuatnya bisa menembus realitas yang lain." "Itu tidak mungkin, kau pikir membelah realitas itu bisa dilakukan hanya dengan sebuah mesin LYNX?" tukas Eoghan menggeleng tak percaya. "Kalau semudah itu, mungkin banyak orang yang mencari realitas terbaik, ketimbang hidup di realitas kehidupan menyedihkan setelah peperangan ini." "Kau- ilmuan? Warga luar dinding? Terlebih dari distrik buas? Seorang ilmuan? Kalian hanya tahu hukum rimba, mana paham konsep fisika," ledek Castriel berniat menumbuhkan api permusuhan. Aisla membentaknya, "Cas! Hentikan!" "Maaf, ucapannya tidak masuk akal, jangan salahkan aku," balas Castriel cepat. Firio menjelaskan, "Theresa memaksaku membuat modifikasinya, kemudian mencuri batu-batu berhargaku, lalu kabur ke masanya lagi. Mesin LYNX yang kubuat khusus untuk kepergian dan kepulangan, dan ternyata dia membuat portal ke realitasnya yang lain- pintar sekali, bahkan menyembunyikan mesinnya di bangunan runtuh." Castriel melirik Theresa. "Ya, dan Theresa yang lain ini- dengan polosnya malah masuk portal tanpa berpikir dua kali." Theresa memperhatikan wajah mereka. "Aku sungguh tidak paham dengan semua kegilaan ini, bisakah kita membicarakannya dengan pelan- dan tidak ada dendam-" Ia memandang Firio dengan penuh harap. "-Tolong." Firio menatapnya dalam-dalam. "Oke. Ayo ikut aku ke distrikku. Semalam aku memang tertelan amarah, tapi sekarang aku akan bersikap seperti pemimpin distrik 222, aku akan menyambut kalian dengan baik. Anggap saja semalam itu, hanya salah paham." Castriel keberatan. "Mana mungkin!" Theresa ikut mengomel, "salah paham! Kau hampir membunuhku!" "Aku takkan meminta dua kali. Lagipula aku sudah tidak sebuas tadi malam, jadi santai saja, penghuni dinding, jangan takut begitu-" Firio menyindirnya lagi, kali ini ada seringai lebar menghiasi bibirnya. Castriel merasa tertantang, tapi terlalu takut untuk menyerang duluan. Ia, Theresa dan teman-temannya terpaksa ikut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN