Bab 1 : Yakin masih perawan?
Bab 1 : Yakin masih perawan?
"Jadi, ini gadis yang kau bawa ke hadapan kami, Robert?" suara nyaring Mommy Robert memecah suasana restoran yang seharusnya hangat. Tatapan tajam wanita paruh baya itu langsung tertuju pada Viona. "Kau pikir siapa dirimu? Gadis miskin hanya pemandu karaoke, tidak pantas untuk Robert!" Wanita itu mununjuk sinis pada Viona.
Viona menunduk, menahan perih yang menghujam dadanya. Baru saja ia pikir hari ini akan menjadi hari penting dalam hidupnya, bertemu keluarga Robert yang selama ini menjadi pilar cintanya. Tapi kenyataannya, ia diperlakukan seperti sampah.
"Mommy, tolong jangan bicara seperti itu. Viona gadis baik," Robert mencoba melawan, suaranya bergetar.
"Gadis baik?" Mommy Robert mendengus sinis. "Kau yakin? Apa dia tidak sedang memanfaatkanmu, Robert? Lihat penampilannya saja, sangat sederhana. Bagaimana kau bisa bangga membawa dia ke keluarga ini?"
Ayah Robert ikut campur, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Robert, dengarkan ibumu. Gadis seperti ini hanya akan membawa kehancuran. Lihat saja, keluarganya tidak punya apa-apa. Apa yang dia bisa tawarkan padamu selain masalah?"
"Daddy, cinta bukan soal harta," Robert menjawab, mencoba terdengar tegas meski jelas ia terdesak.
"Cinta?" suara bibi Robert tiba-tiba terdengar. "Sayang sekali, cinta tidak bisa membayar tagihan, Robert. Dan kau harus tahu, menikahi gadis dari kelas bawah hanya akan menghancurkan reputasi keluarga kita."
Viona mencoba berbicara. "Saya... Saya mencintai Robert, bukan karena uangnya," suaranya nyaris berbisik, tapi ia berusaha tegar.
Namun, keponakan Robert, seorang gadis remaja yang duduk di ujung meja, tertawa mengejek. "Cinta? Betapa klise. Maksudmu, kau mencintai kartu kreditnya?"
"Bukan begitu—" Viona mencoba menjelaskan, tapi ipar perempuan Robert memotong dengan senyuman penuh hinaan.
"Robert, kau yakin pacarmu ini masih perawan? Siapa yang tahu apa saja yang dia lakukan di tempat kerjanya?" Kalimat itu meluncur dengan mudah, seperti pisau tajam yang menyayat harga diri Viona.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghina dia seperti itu!" Robert membentak, tangannya mengepal di atas meja. "Viona tidak seperti yang kalian pikirkan!"
Namun, Viona tidak kuat lagi. Matanya memerah, air mata mulai mengalir. Dia berdiri, mengambil tasnya. "Maaf, saya harus pergi."
"Viona, tunggu!" Robert bangkit untuk mengejar, tapi ibunya memegang lengannya, memaksa dia tetap duduk.
"Biarkan dia pergi. Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia akan kembali. Tapi aku berharap dia tidak pernah kembali," ucap Mommy Robert dingin.
Viona berjalan cepat keluar restoran, angin malam menusuk kulitnya yang basah oleh air mata. Langkahnya berat, tapi ia tahu ia tidak bisa kembali. Hinaan itu seperti gemuruh yang tidak bisa ia hentikan di dalam pikirannya. "Tidak pantas... Gadis miskin... Hanya memanfaatkan..." Kata-kata itu terus berputar, mengikis rasa percaya dirinya yang tersisa.
Ponselnya berdering, Robert. Tapi dia tidak menjawab.
***
Kilas Balik
Di klub malam tempatnya bekerja, Viona mencoba mengalihkan pikiran dengan rutinitas. Tapi kata-kata dari keluarga Robert terus menghantuinya.
"Viona!" panggil Mami Rere dari balik bar. Wanita mengenakan gaun hitam ketat yang membuatnya terlihat dominan.
"Ya, Mi?" Viona mendekat, mencoba menenangkan diri.
"Ada tamu VVIP yang minta kau malam ini. Kamar nomor lima."
Viona mengerutkan kening. "Mami, aku kan cuma pemandu karaoke kenapa harus di ruang VVIP?"
"Jangan banyak tanya," Mami Rere memotong dengan nada tegas. "Kau mau dapat uang lebih atau tidak? Pelanggan ini tidak sembarangan. Kalau kau mainkan kartumu dengan benar, dia bisa mengubah hidupmu."
"Tapi, Mi—"
"Tidak ada tapi. Jangan bikin aku kecewa," ucap Mami Rere sebelum meninggalkannya.
Lalu Viona segera ke tempat yang ditunjukan oleh Mami Rere.
Viona berdiri di depan pintu kamar VVIP dengan perasaan kacau. Langit-langit kaca di koridor memantulkan lampu neon merah, menambah suasana mencekam. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara berat dari dalam. "Masuk."
Pria itu duduk di sofa kulit hitam, dengan segelas wine di tangannya. Jas hitamnya terlihat mahal, matanya tajam menatap Viona dari ujung kaki hingga kepala. Senyum kecil yang tersungging di bibirnya membuatnya terlihat seperti pemangsa.
"Selamat malam," Viona membuka percakapan, mencoba terdengar percaya diri meski hatinya berdegup kencang. "Nama saya Viona."
Pria itu menyipitkan mata, seolah mempelajari setiap gerakannya. "Dario," jawabnya singkat. "Kau yang Rere kirim untukku malam ini?"
"Iya, Tuan," jawab Viona. Ia tahu tidak ada gunanya menyangkal.
Dario mengangguk pelan, lalu menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah."
Viona melangkah dengan hati-hati, duduk di ujung sofa. Tangannya saling menggenggam, berusaha tidak menunjukkan kegugupannya.
"Kau terlihat gugup," kata Dario, memecah keheningan. "Ini bukan pertama kalinya, bukan?" Dario tersenyum sinis.
Viona tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.
Dario tersenyum kecil, lalu meletakkan gelasnya di meja. "Jangan khawatir, aku bukan tipe pria yang memaksa. Tapi aku penasaran, kenapa gadis seperti kau memilih tempat ini untuk bekerja? Kau sangat tidak pandai! Tidak menggodaku seperti p*****r lainnya."
"Karena saya bukan p*****r! Saya hanya pemandu karaoke, Tuan," jawab Viona jujur. "Dan saya di sini juga karena butuh uang."
Dario menyeringai, ekspresinya sulit dibaca. "Semua orang selalu bilang begitu, 'tidak punya pilihan.' Tapi pada akhirnya, itu hanya alasan."
"Anda tidak tahu apa yang sudah saya lewati," Viona membalas, suaranya mulai tegas. "Kalau Anda ada di posisi saya, mungkin Anda juga akan melakukan hal yang sama."
Dario terdiam sejenak, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kenapa memangnya?"
Viona tidak ingin menjawab, dia mengalihkan pandangan dari tatapan Dario.
Dario mendengus pelan. "Jadi, kau di sini hanya karena uang?"
"Ya," jawab Viona tanpa ragu. "Saya ingin uang agar cepat kaya raya."
Dario tersenyum samar, lalu mendekat. "Kau tahu, aku bisa membantumu mendapatkan uang banyak."
Viona menatapnya, bingung. "Dengan cara menemani Anda minum, bukan?"
Dario menatapnya dengan tajam. "Aku bisa memberimu apa yang kau butuhkan. Uang, bahkan bonus lebih
Tapi, tentu saja, semuanya ada harganya. Dan bukan hanya menemaniku minum saja!"
Viona terdiam, mencoba memahami maksud dari pria di hadapannya. "Apa yang Anda inginkan sebagai gantinya?"
Dario menyentuh dagunya, wajahnya mendekat. "Aku ingin tubuhmu."
Viona merasa jantungnya berhenti sejenak. Tawaran itu menggiurkan, tapi juga menakutkan. Dia tahu bahwa menerima berarti menjual seluruh dirinya, tapi menolak berarti tetap berada di tempat yang sama.
"Maaf, Tuan, saya tidak bisa." Viona menatap tajam mata lelaki itu, dia akan terus memegang prinsipnya. Kerja di sini bukan berarti harus menjual tubuhnya.
Dario tersenyum penuh percaya diri. "Ayolah... kapan lagi kau bisa mendapatkan bonus banyak hanya dengan menukar tubuhmu saja?"
Viona terdiam. Tawaran itu menggoda, tapi juga penuh risiko. Akankah ia mengambil langkah itu? Atau tetap mencoba bertahan dengan harga diri yang tersisa?