Saat ini aku seperti sedang berada di taman bermain dengan Dirga. Dia berlari berputar-putar merentangkan kedua tangan mungilnya seraya berkata dengan bahasa kekanakannya.
"Mah, liat ni Diga jadi buyung, bica tebang, wung, wung, wung..."
Aku tertawa melihat tingkah lakunya. Kemudian aku melihat Mas Reza meraih Dirga ke dalam gendongannya dan berjalan mendekat ke arahku. Mas Reza tidak mengatakan apa pun, dia hanya mencium keningku dengan dalam. Setelah itu dia berlalu meninggalkanku, kulihat Dirga melambai-lambaikan tangan mungilnya.
"Mah ayo itut Diga, epet Mah!"seru Dirga antusias mengajakku ikut dengannya.
Entah kenapa badanku seperti terbelenggu rantai besar, hingga beranjak dari duduk pun rasanya aku tak sanggup. "Dirga tunggu mama, Nak! Mas Reza..., tunggu aku! Jangan tinggalin aku Mas Reza," jeritku putus asa
Setelah bayangan Mas Reza dan Dirga mulai samar di mataku, aku mendengar ada seorang memanggil namaku. Awalnya pelan kemudian lambat laun terdengar semakin kencang. Aku membuka mata dan langsung terduduk di tempat tidurku dengan penuh peluh di kening dan leherku. Ternyata suara Tante Lia yang daritadi memanggil-manggil namaku.
"Kamu mimpi buruk lagi, Yung?" Tante Lia bertanya dengan penuh kekhawatiran.
"Iya Tante. Ayung mimpi Dirga dan Mas Reza." Aku menenggalamkan kepalaku di antara kedua lututku yang kulipat di depan d**a.
"Tante tadi ketok-ketok kamar berkali-kali, tapi kamu nggak denger jadi tante masuk aja, trus nemuin kamu sedang gelisah dalam tidurmu, sambil menyebut nama Mas Reza dan Dirga berkali-kali."
"Iya tante. Ayung sedang sangat merindukan Dirga dan Mas Reza," jawabku, melirik jam kecil berbentuk kubus di atas nakas. Sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
"Bersiaplah, hari ini kamu pulang ke Indonesia bukan?"
Aku mengangguk kemudian Tante Lia meninggalkanku sendirian di kamar.
***
Waktu bergulir, hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, tidak terasa aku sudah menyelesaikan studiku. Aku sudah siap kembali ke Indonesia dan ingin segera bertemu dengan orang tuaku juga Mas Reza. Usiaku kini sudah 25 tahun dan Mas Reza 29 tahun. Seperti apa ya Mas Reza sekarang? Apa dia masih mengenaliku dengan baik?
Aku susah berhenti tersenyum saat membayangkan wajah tenang Mas Reza. Bahkan aku sampai tidak sadar bahwa pesawat yang sedang mengangkutku ini sedang mengalami turbulance beberapa detik. Selain karena efek obat penenang yang kuminum tadi sebelum berangkat juga pastinya.
Pagi ini aku sudah sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kulihat papa dan mamaku sedang berjalan cepat menuju ke arahku. Ketika melihat kehadiranku keduanya menghambur ke pelukanku.
"Apa kabar ma? Pa?" Aku melihat kedua orang tuaku bergantian seraya tersenyum manis.
"Baik sayang. Kamu gimana?" Mama menjawab sambil tak hentinya mengusap pelan lenganku.
"Mama lihat sendiri kan, nggak ada yang kurang satu pun dariku," jawabku, merentangkan kedua tanganku dan tersenyum manis. Jaket dengan sepanjang lututku ikut tersingkap mengikuti arah kedua tanganku dan memperlihatkan tubuhku yang terbalut dress cukup ketat berwarna merah maroon sepanjang lututku. Tak lupa aku mengenakan ankleboth berbahan bludru warna coklat tua kesayanganku, senada dengan jaket yang kugunakan. Rambut hitam panjangku kuikat kucir kuda sesaat sebelum keluar dari pesawat. Aku sadar semua orang sedang menatapku saat ini ketika mama tak hentinya memutar tubuhku hingga beberapa kali. Papa segera menghentikan aktivitas mama dengan mengajak kami menuju dropzone karena mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi papa sudah menunggu.
***
Sesaat setelah sampai rumah Mama mempersilakan aku langsung masuk kamarku untuk beristirahat. Namun aku memutuskan mandi dan bersiap sarapan, alih-alih tidur yang membuat seluruh otot-otot tubuhku justru semakin kaku. Perutku juga sangat keroncongan sejak tadi. Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai aku bergegas menuju ruang makan, bergabung dengan mama dan papa. Barulah setelah selesai menyelesaikan sarapan kami pagi ini aku memberanikan diri menanyakan kabar tentang Mas Reza.
"Oya Pa..., Mas Reza gimana kabarnya? Apa dia sudah sadar? Dia tinggal di mana sekarang?" tanyaku antusias. Aku benar-benar sudah tidak sabar ingin bertemu dengan laki-laki yang sangat aku cintai itu.
Papa menundukkan kepalanya sejenak, kemudian mengambil napas panjang. Namun bukannya memberi jawaban Papa justru kembali terdiam sambil terus menatapku.
"Pa? Papa denger pertanyaan Ayung nggak?" Aku mengguncang pelan pundak papaku.
"Sehari setelah operasi hari itu-" tiba-tiba papa menggantung kata-katanya.
"Trus, Pa?"
"Reza menghilang dari rumah sakit. Papa sudah coba kerahkan orang dan melapor ke polisi. Tapi tidak ada hasilnya. Papa minta maaf. Tapi papa sudah berusaha mencari Reza."
Kutatap mata Papa tepat mengarah manik mata hitamnya. Kulihat memang ada kesungguhan di balik tatapannya itu.
"Trus kenapa Papa nggak cerita sama Ayung? Papa bilang Mas Reza baik-baik saja. Selalu itu jawaban Papa tiap kali Ayung telepon. Apa untuk menutupi persoalan besar ini Ayung nggak boleh pulang ke Indonesia selama kuliah?"
"Kami tidak ingin mengganggu kuliahmu nak. Kami memutuskan bahwa kamu akan mengetahui masalah ini saat kamu sudah kembali ke Indonesia saja."
Papa melanjutkan penjelasannya kembali. Namun aku tak kuasa menahan air mata. Rasa kecewa, marah dan sedih seolah melebur jadi satu di dalam hatiku saat ini. Kemudian aku berlari menuju kamarku untuk melampiaskan apa yang kini tengah aku rasakan. Aku ingin merenungi takdir hidupku di dalam kamar tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Rasanya penantianku selama bertahun-tahun ini sia-sia. Seburuk inikah takdir hidupku? Aku tidak pernah merebut bahkan merusak kebahagiaan orang lain, tetapi kenapa kebahagiaanku seolah harus terenggut paksa dariku.
***
Entah sudah berapa hari aku mengurung diri di kamar ini. Aku bahkan tidak berani menatap wajah dan tubuhku di cermin. Pintu kamarku diketuk cukup keras, bahkan bisa dibilang ini adalah gedoran.
"Ya ampun. Siapa berani-beraninya gedor-gedor kamar gue?" Dengan sedikit menghentakkan kaki kubuka pintu kamarku dengan cukup keras. Ternyata Papa sudah berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang.
"Well... Sudah cukup ya Lembayung Attila menangis-nangisnya. Sekarang kamu cepat mandi dan pakai pakaian yang menarik. Karena Papa akan mengenalkanmu pada seseorang."
"Nggak mau, Ayung nggak mau kenal dengan siapapun. Ayung cuma maunya ketemu Mas Reza."
Aku masih marah pada Papa. Secara paksa aku mencoba untuk menutup kembali pintu kamarku yang sudah terbuka lebar itu. Papa berhasil mendorongku ke dalam.
"Mandi sendiri atau Papa yang akan memandikanmu seperti memandikan kucing. Pilih mana?" Papa mencengkeram erat kedua bahuku. Kulihat Papa semakin geram menghadapiku. Aku melangkah mundur dari hadapan Papa. Tak berselang lama Mama memasuki kamarku.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Mama dengan mimik wajah terkejut saat melihat penampilanku.
"Astaga..., apa yang terjadi padamu, Yung?" Mama mendekati dan membelai rambut panjangku yang sangat kusut saat ini. Meraba wajahku, dan terus menatap mataku yang sangat sembab.
"Lihat anak perempuan cantikmu itu. Sudah seperti zombie wujudnya." Setelah berkata ketus seperti itu, Papa meninggalkan kamarku. Disusul oleh Mama setelah memintaku untuk membersihkan tubuhku dengan cara lebih manusiawi.
Aku sangat takut melihat geraman papa tadi. Beliau terlihat betul-betul marah padaku kali ini. Aku cepat-cepat mengaduk isi lemariku. Menarik dress bermotif kembang warna kuning hijau merah secara random. Potongannya sedikit lebar dari pinggang hingga atas lututku. Saat aku menatap wajahku di cermin. Aku sedikit terkejut melihat bayangan wajahku sendiri. Astaga betul kata Papa, penampilanku seperti zombie. Akhirnya mulai kupoles wajahku dengan make up tipis.
Saat menuruni anak tangga, kulihat Papa sedang berbincang dengan seorang pria. Dari belakang, tubuh pria itu sangat atletis sekali, punggungnya lebar, posturnya tegap dan dia pasti sangat tinggi. Warna rambutnya coklat tua mendekati kehitaman. Rambut lurusnya di sisir rapi ke arah belakang dan diberi tambahan gel hingga membuat rambutnya terlihat kaku. Saat Papa menyadari kehadiranku beliau memintaku untuk datang kepadanya.
"Perkenalkan dia putriku. Lembayung," ucap Papa dengan bangganya.
Pria tadi membalikkan badannya mengikuti arah tangan papa. Dia menatapku datar dengan sedikit mengernyitkan sepasang alisnya.
Wait! Wajah pria di hadapanku ini entah kenapa mengikatkanku pada seseorang. Namun aku kesulitan mengingat pernah mengenalnya di mana. Ya Tuhan... kenapa aku jadi pikun gini? Bola mata berwarna hazel dengan bentuk mata yang tidak terlalu besar tapi sangat tajam tatapannya itu terlihat sangat tidak asing di ingatanku. Dia blasteran, tetapi kulit putihnya tidak kemerahan seperti bule pada umumnya. Aku suka sekali warna bola mata yang unik itu. Demi Tuhan, aku merasa pernah melihat bola mata dengan warna seindah ini sebelumnya. Tapi di mana ya?
"Hallo, apa kabar Lembayung. Lama tidak jumpa."
Aku terkejut karena pria di hadapanku ini aku yakin pasti bule. Namun aksen Indonesianya terdengar sangat pas.
"Kamu masih saja terkejut karena saya bisa berbahasa Indonesia? Bukankah dulu sudah saya bilang kalau nyokap orang Sunda asli."
Ah... yaa, aku pernah bertemu dengannya beberapa tahun lalu di bandara. Dia yang mengantarku dengan selamat sampai rumah om Bram.
"Andreas? Apa betul ini kamu?" tanyaku ragu.
Andreas hanya menaikkan kedua alisnya. Lalu pandangannya beralih ke Papa. Dia menjelaskan kebingungan Papa. "Saya yang menjemput Lembayung saat dia tiba di New York, Om. Kebetulan Paman Bram sedang sibuk saat itu. Saya menunggunya hampir tiga jam."
Papa tersenyum. Lalu mempersilahkanku duduk di sampingnya.
"Oiya..., aku lupa waktu itu belum mengucapkan terima kasih. Kamu langsung pergi begitu saja," ujarku sopan.
Andreas hanya menatapku datar. Tidak lama kemudian, Mama bergabung bersama kami dengan membawa nampan berisi kue-kue dan minuman di atasnya. Papa dan Andreas terlibat obrolan panjang dengan topik obrolan yang sama sekali tidak kuminati. Kalau memang Papa niatnya mau mengobrol berdua dengan Andreas kenapa harus repot-repot menyuruhku turun dan ikut bergabung? Aku terus menggerutu dalam hati dan berharap penderitaanku ini segera berakhir. Aku sadar sesekali Andreas menatapku dan mencuri pandang kepadaku. Namun wajahnya tetap saja datar. Sama sekali tidak bersahabat. Ingin rasanya aku cepat-cepat kembali ke kamar. Suasana canggung seperti ini membuatku pusing saja. Aku putuskan menjadi pendengar setia saja saat ini.
"Kamu sendiri kapan kembali ke Indonesia, Drew?"
"Saya sudah di Indonesia beberapa bulan ini, Om."
"Kamu masih tinggal di apartemen kamu di Casablanca?"
"Iya masih, Om." Adreas menjawab pertanyaan Papa dengan tenang.
"Trus rencana mulai kapan kamu akan bekerja sebagai dokter bedah di Indonesia?"
"Saya sudah mulai ke rumah sakit sebulan ini kok, Om."
"Oya? Selamat bekerja ya. Apa kamu sudah resmi jadi spesialis bedah? Tapi kayaknya mundur dari planning kamu ya? Ada masalah apa?"
"Iya, Om. Sebetulnya saya bisa menyelesaikan profesi spesialis setahun yang lalu dan dapat tawaran bekerja di rumah sakit besar di New York, tapi dengan syarat harus lulus dengan predikat cumluade."
"Wah hebat. Terus-terus?" tanya papa antusias.
"Tapi pagi itu, beberapa saat sebelum saya ujian akhir, ada orang gila sedang mabuk menabrak saya dengan mobilnya yang berkecepatan tinggi, membuat saya terbaring koma selama tujuh hari di rumah sakit. Saya terpaksa mengulang kuliah dan ujian di tahun berikutnya. Saya gagal mendapat predikat cumluade dan tidak diterima bekerja di rumah sakit besar di New York."
"Wah sayang sekali ya, Drew."
"Iya, Om. Saya masih menyimpan dendam pada orang yang menabrak saya. Tapi sampai detik ini saya tidak bisa melacak siapa si penabrak itu."
Aku tersedak mendengar cerita Andreas, sampai membuatku harus membutuhkan pertolongan pertama. Andreas yang notabene adalah dokter segera memberi pertolongan pertama padaku. Duduknya berpindah di sampingku, lalu memukul penggungku sedikit keras, aku bisa merasakan telapak tangannya yang cukup dingin di punggungku, seperti ada sengatan listrik, seketika jantungku berdetak keras, entah karena tersedak atau karena sentuhan Andreas. Kemudian Andreas memberiku air putih dan menyuruhku menarik napas secara teratur. Butiran keringat mulai membasahi keningku. Lagi-lagi Andreas menyentuhku, dia mengusap keringatku dengan jari-jari besarnya yang kulitnya cukup halus untuk ukuran laki-laki.
"Are you okey?" tanyanya dengan nada bicara yang terdengar begitu khawatir.
Aku mengangguk. Tatapan matanya yang tadi datar kini berubah menjadi sorotan penuh kekhawatiran. Setelah memastikan aku baik-baik saja, dia kembali ke tempat duduknya.
"Kamu mudah sekali tersedak." Andreas menatapku heran.
Papa menghampiriku dan kembali duduk di sampingku. Aku mencoba kembali mengingat cerita Andreas beberapa menit yang lalu. Setahun yang lalu dia ditabrak hingga koma selama tujuh hari? Oh my God. Aku langsung menutup mulutku lalu permisi untuk kembali ke kamarku.
"Where're you going?" tanya Andreas.
"I'll be right back." Andreas kemudian mengangguk. Aku bergegas menuju kamarku. Halah... untuk apa juga aku bilang bakal balik lagi. Males banget.
~~~
^vee^