Sesampainya di kamar aku segera membongkar laci di dalam lemariku dan menemukan selembar note bertulis tangan dari orang itu. Ya... orang yang setahun lalu aku tabrak di kilometer 36. Saat itu masih sangat pagi sekali kira-kira pukul lima pagi waktu setempat.
Aku mengemudi dalam keadaan mengantuk berat pulang dari pesta si Jason, tapi aku tidak mabuk seperti yang Andreas bilang tadi. Memang kecepatanku cukup tinggi karena aku salah memijak pedal, di mana pada saat aku ingin memijak pedal rem tapi yang kuinjak justru pedal gas. Apalagi aku masih juga tidak biasa dengan posisi kemudi luar negeri yang berada di sisi kiri. Silly!
"Oh..., Tuhan mengapa dunia ini sempit sekali. Aku bertemu kembali dengan bule kurus yang menjemputku empat tahun lalu yang sekarang sudah bermetamorfosis menjadi orang yang paling aku hindari seumur hidupku," gerutuku, sembari meremas ujung rokku dengan erat. Kubuka pelan-pelan kertas itu. Dan mencoba membaca kembali isinya.
Untukmu yang sudah merusak kehidupanku.
Terimakasih karena sudah menabrakku pagi itu. Akibat kelalaianmu dalam berkendara kau telah membuat hidupku sengsara.
Biaya rumah sakit yang telah kau bayar lunas pun tidak bisa membayar kerugian yang harus aku tanggung seumur hidup.
Kau telah merusak masa depanku.
Kau berhutang banyak padaku dan kau harus membayarnya suatu hari nanti.
Aku tidak akan pernah memaafkanmu
A. L
Aku memejamkan mata dan berangan andai aku boleh kembali ke New York, aku akan kembali ke New York saat ini juga. Saat aku sedang merenung tiba-tiba pintu kamarku diketuk pelan. Aku tidak bisa menebak siapa yang mengetuk, karena caranya mengetuk berbeda dengan orang tua maupun pembantu rumahku.
"Boleh masuk?"
Suara berat itu. Aku harus ke mana? Apa aku harus lompat ke bawah melalui balkon kamarku. Oh..., tidak-tidak, sefrustrasinya aku masih waras berpikir untuk bunuh diri. Aku ingin mengusirnya, membentaknya dan menyuruhnya pergi. Namun yang keluar dari mulutku justru lain.
"Iya boleh, masuk aja," ucapku, kemudian daun pintu kamar sudah terbuka salah satunya.
"Katanya tadi mau balik? Kok nggak balik-balik?" tanya Andreas, melangkah masuk perlahan-lahan sambil menatap ke sekliling kamar. Ada yang tidak biasa dari cari berjalannya. Seolah lantai yang sedang dilalui kakinya tidak rata, atau mungkin ketidaksempurnaan terdapat di kedua tungkai kakinya.
"Nice room. Kamar ini nggak berubah ya?" ujar Andreas, menghempaskan tubuhnya ke sofa putih yang bersebarangan dengan tempat tidurku.
"Berubah gimana? Emang kamu pernah tau kondisi kamar ini sebelumnya?" tanya penuh curiga dan penuh tanya padanya.
"Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Kamu pasti ingin bertanya ada apa dengan langkah saya? Nggak perlu sungkan bertanya soal kaki saya. Saya mengalami cacat permanen akibat insiden kecelakaan yang saya ceritakan pada Papa kamu tadi."
Aku semakin yakin Andreas adalah orang sama dengan orang yang aku tabrak pagi itu.
"Oiya nama lengkap kamu siapa Andreas?"
Tiba-tiba Andreas tersenyum manis. Lalu membenarkan posisi duduknya hingga terlihat lebih tegak.
"Nama saya Andreas Levine. Teman-teman kerja dan kuliah biasa memanggi saya dokter AL. Tapi sejak kecil saya biasa dipanggil Andrew. Dan saya lebih suka panggilan Andrew or Drew. Oya, kamu panggil saya Andrew saja," jelas Andreas.
Aku hanya mengangguk setuju.
Yes skakmat lo Lembayung Attila. Benar dan tidak salah lagi nickname A.L adalah Andreas Levine. Baguslah, sebentar lagi kamu akan membusuk di penjara jika Andreas ini menuntutmu. Aku merutuki diriku di dalam hati. Bahkan aku tidak sadar bahwa Andreas, ralat maksudku Andrew kini sudah ada di hadapanku.
Saat melihat kakinya sudah ada di hadapanku, aku pun mendongak. Aku dapat menghirup aroma maskulin dengan campuran aroma cokelat dari tubuhnya. Aroma parfumnya sepertinya masih sama dengan yang pernah dia pakai empat tahun lalu saat menjemputku di bandara. Kenapa aku bisa mengingat dengan baik aroma tubuh pria asing ini? Padahal aku sama sekali tidak pernah dekat dengannya. Aku menggigit bibir bawahku lalu bersusah payah menelan salivaku. Pria ini berada tepat berjarak tidak lebih dari 30 cm di hadapanku. Tiba-tiba ada suara aneh keluar dari perutku. Andrew langsung tertawa terbahak dan duduk di sampingku.
"Kamu nggak makan berapa hari, sampai perutmu berbunyi sekenceng itu?"
Setelah meledekku Andrew beranjak dari duduknya lalu menarik pelan tanganku untuk mengajakku beranjak dari dudukku. "Ayo kita makan. Kasian tuh cacing di perut kamu pada demo," ucap Andrew sambil menyeringai.
'Bagus Lembayung, kamu menunjukkan sisi paling terburukmu sepanjang masa. Silly'. Aku terus mengumpat pada diriku sendiri.
"C'mon! Lembayung, saya juga ketularan lapar nih," ujarnya, melangkah terlebih dulu meninggalkan kamar. Aku terus menatap cara berjalannya yang sedikit pincang. Aku merasa sangat berdosa saat ini. Dan aku yakin dia pasti sangat membenci orang yang telah membuatnya cacat seperti itu.
Di meja makan, sesekali aku melirik Andrew yang sedang menikmati makanannya. Cukup tenang tapi pasti. Rata-rata cowok makannya memang cepat, dan cenderung tergesa-gesa. Andrew beda, dia tenang sekali, tapi makanan yang tadi menumpuk di piringnya sudah habis.
"Apa dengan memperhatikan saya makan dari tadi, bisa membuat perut kamu kenyang?" Tiba-tiba dia berbisik di telingaku hingga hembusan napasnya menyentuh kulit telingaku.
Good job, Yung, kamu ketahuan kalau sedang memerhatikannya sedari tadi. Seketika aku terbatuk dan Andrew memberiku segelas air putih.
"Kami itu emang hobi ya tersedak? Siapa aja yang jalan denganmu bisa jantungan kalau sedikit-sedikit kamu tersedak."
Aku melotot menatap bola matanya saat dia mengomeliku seperti mama.
'Ini gara-gara elo juga kali Bule Sunda.aarrrggh'.
Kemudian aku melanjutkan makanku yang tersisa sedikit. Mama dan papa sudah selesai dan sedang duduk santai di ruang TV. Sedangkan aku ya masih di sini berdua dengan bule yang mulai rese yang pernah aku temukan di muka bumi ini.
"Gimana New York? Apa kamu pernah berkencan dengan bule selama di sana?"
Hiss nih orang, Tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang paling aku malas untuk dijawab, ditambah dengan seringainya yang iiuuww menjijikkan.
"Maksud lo apa, sih?"
"Ya saya kan cuma tanya, kamu tinggal jawab aja nggak perlu sewot sampek melotot gitulah."
"Gak satu pun. Aku masih setia sama Mas Reza. Aku masih istri sahnya," jawabku jumawa. Padahal kenyataannya aku kini adalah jandanya Mas Reza.
Kuberanikan menatap iris matanya saat menyebut nama Mas Reza. Tiba-tiba ekspresi resenya berubah cepat menjadi ekspresi menakutkan seperti sudah siap menerkamku.
"Oh Reza, mantan suami kamu itu? Ngapain masih setia sama dia? Paling juga dia udah tidur seranjang sama wanita lain." Andrew tersenyum miring saat melontarkan pernyataannya itu. Tapi bagaimana Andrew tahu Mas Reza?
"Dasar rese lo!"
"Iya deh yang cinta mati sama Reza."
Astaga nih orang!!! Kenapa makin menjadi resenya.
"Kemarin waktu naik pesawat minum obat penenang berapa butir?"
Aku terkejut, bagaimana dia bisa tahu kalau aku mengkonsumsi obat penenang setiap kali melakukan perjalanan dengan jalur transportasi udara?
"Kok kamu tahu?"
"Ya kan kamu sendiri yang cerita kalau selalu gugup saat naik pesawat. Dan selalu mengkonsumsi obat penenang jika akan melakukan penerbangan."
"Ooh aku lupa kalau pernah cerita sama kamu. Aku minum 3 butir sekaligus."
Tiba-tiba Andrew meletakkan telapak tangannya yang dingin di atas punggung tanganku. Seketika tubuhku menegang seperti disengat listrik. Apa-apaan ini???
"Lain kali saya akan menemani kamu kalau akan melakukan perjalanan menggunakan pesawat. Karena rasa gugup itu sebenarnya tidak perlu ditenangkan dengan obat penenang. Cukup ada seseorang yang mengerti kegugupan itu disamping kita selama penerbangan berlangsung, mabuk udara pasti akan mudah dilalui."
Aku tidak menjawab apa-apa, dan bergegas menuju pintu samping. Setelah pintu kaca kugeser ke kanan, pintu terbuka. Aku ingin menghirup udara malam yang cukup segar di paru-paruku yang terasa mulai sesak jika berdekatan dengan Andrew.
Ternyata Andrew mengikutiku dan kini berjalan mendahuluiku menuju sebuah ayunan dekat kolam renang. Dia menepuk tempat duduk di hadapannya yang masih kosong. Tujuanku juga memang mau duduk di ayunan itu. Tapi tidak berdua dengan bule rese ini, Tuhan.
Angin semilir meniup kan beberapa helai rambut yang jatuh di keningku. Dan detik berikutnya jari-jari Andrew sudah mendarat mulus di keningku untuk menyingkirkan rambut-rambut yang berjatuhan di keningku dan diletakkan ke belakang kepalaku. Kemudian tangannya terdiam lama di puncak kepalaku dan mengusap pelan rambutku. Kulihat dari bibirnya seolah-olah dia mengatakan sesuatu tapi aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya.
"Apa kamu serius dengan ucapan kamu tadi, bahwa tidak pernah memiliki hubungan dengan satu pria pun selama di New York?"
Aku menghembuskan napasku seraya menepis tangannya yang berada di atas kepalaku.
"Apa kamu masih mencintai Reza?" tanya Andrew lagi.
"Aku penasaran. Bagaimana kamu bisa tahu soal Mas Reza?"
"Papa kamu yang curhat."
"Aku masih istri sahnya Reza sampai detik ini. Dan aku akan berusaha menemukannya kembali."
Aku membuang muka menatap kolam yang beriak karena terpaan angin malam.
"Kalian sudah resmi bercerai. Kamu lupa?"
"Papa yang memaksaku menandatangani dokumen perceraian yang aku kira hanya dokumen biasa untuk mengurus keperluan kuliahku dulu. Sedangkan Mas Reza nggak pernah menjatuhkan talak kepadaku! Puas kamu, Andreas?!"
"C'mon, Lembayung! Lupakan dia, mulai tata kehidupan barumu, masa depanmu masih sangat panjang."
Setelah mengucapkan kalimat itu Andrew beranjak dari ayunan dan meninggalkanku sendiri. Sesampainya di pintu dia membalikkan badannya.
"Kamu butuh refreshing. Jangan sampai kamu mati menderita karena terus-terusan meratapi takdir cintamu yang tidak selurus rambut hitammu itu."
"Dasar bule rese. Pergi lo!"
Kemudian tubuh atletis Andrew menghilang. Kulihat dia berjalan menuju ruang TV, mama dan papa mengantarnya sampai ke pintu. Saat melintasi pintu samping dia menyempatkan diri melambaikan sebelah tangannya, tapi sama sekali tidak aku balas. Aku mendengkus kesal. Semoga besok aku tidak akan melihatnya lagi.
~~~
^vee^