Ritual Malam Satu Suro
Semilir angin menerpa pepohonan di sebuah desa yang berada dekat dengan hutan. Udara dingin menyelimuti seluruh desa, suara binatang malam pun mulai terdengar hingga membuat suasana sunyi nan sepi. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama, ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Gak! Gak! Gak!
Suara burung gagak terdengar di seluruh penjuru Desa Selaras, dalam sekejap semua warga yang berada di dalam rumah masing-masing segera keluar dari rumah dengan membawa semua sanak saudara, tak peduli besar, kecil, tua, muda, atau pun bayi balita.
Para warga berbondong-bondong menuju sebuah danau di tengah hutan desa. Obor yang terbuat dari bambu menerangi sepanjang jalan, ini semua dilakukan oleh warga untuk memperingati malam satu suro yang jatuh pada malam ini.
Bagi warga, malam satu suro adalah malam yang sangat sakral, setiap tahun warga akan berkumpul di danau dengan membawa berbagai macam sesembahan untuk para leluhur yang melindungi desa ini dari segala bahaya. Danau Suro, nama yang diberikan warga untuk danau sakral itu.
Rumah-rumah warga mulai sepi karena hampir seluruh warga akan mengikuti ritual leluhur. Akan tetapi, perdebatan terjadi di sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga Ardian. Sang istri menolak untuk pergi mengikuti ritual leluhur di desanya.
“Ma, ayo kita pergi ke danau, nanti kita ketinggalan rombongan, loh," pinta Ardian pada Alia--istrinya--yang tengah hamil tua.
“Tapi, Pa. Mama lagi hamil, masa harus pergi keluar malam-malam begini, kasihan bayi kita, Pa. Apa Papa tega melihat bayi yang ada di kandungan mama kedinginan? Apa lagi, kandungan mama sudah memasuki usia sembilan bulan. Mama takut kalau ada apa-apa, Pa,” jawab Alia seraya mengelus perut buncitnya yang tertutupi oleh baju hangat yang panjang.
Ardian menghela napas pelan. Benar apa kata sang istri. Akan tetapi, ini juga demi kebaikan keluarganya. “Ini sudah tradisi, Ma. Apa kata orang nanti kalau kita tidak pergi? Bisa-bisa kita diusir dari desa ini karena dianggap melanggar aturan desa. Ayolah, Ma.” Ardian terus berusaha membujuk istrinya karena dirinya pun tidak mau jika ada hal buruk yang terjadi akibat melewatkan ritual ini.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara pintu rumah yang diketuk oleh seseorang. "Siapa yang datang, ya?" tanya Ardian sembari berjalan.
Ardian segera membukakan pintu rumah, terlihat seorang pria paruh baya dengan pakaian adat dan beberapa peralatan ritual yang akan digunakan untuk ritual di Danau Suro.
“Ayo, Ardian. Kita harus bergegas, ini hampir tengah malam, kamu jangan melewatkan ritual ini,” ujar pria paruh baya bernama Surya. Ia adalah ketua RW di dusunnya yang bertugas untuk mengurus semua keperluan ritual hingga memastikan bahwa seluruh warga memang telah pergi ke tengah hutan karena jika salah satu warga menolak ikut. Maka, akibatnya akan ditanggung oleh seluruh desa.
Ardian menatap ke arah Alia yang berdiri di belakangnya. Pria itu memberikan kode dengan kedipan mata agar sang istri mau ikut ke hutan di tengah malam seperti ini. Alia tampak bingung, tetapi tak lama ia mengangguk, tanda bahwa ia setuju untuk ikut ke rombongan warga yang menuju tengah hutan.
Ardian pun tersenyum melihat istrinya yang menurut. “Iya, Pak. Ini kami hendak berangkat, kami akan bersiap-siap. Alia, kamu tolong bawa kembang setaman yang sudah disiapkan di kamar," pinta Ardian seraya mendekat ke arah Alia dan memberikan isyarat berupa anggukan dan kedipan mata.
Alia mengerti maksud dari suaminya dan menyanggupi permintaan Ardian untuk pergi melakukan ritual malam satu suro dan juga membawa bunga yang dimaksud oleh Ardian karena memang bunga tujuh rupa adalah salah satu syarat yang harus ada di sesajen.
"Baiklah. Kalau begitu, saya pergi dulu untuk melihat persiapan lainnya. Kalian segera bergabung dengan rombongan, ya," pinta Surya.
"Baik, Pak." Ardian menjawabnya.
Tak lama, Surya pun pergi meninggalkan rumah Ardian dan menuju tempat ritual berlangsung.
Sementara itu, Alia sudah membawa bunga yang dimaksud oleh Ardian. "Ini, Pa," ucap Alia sembari menyerahkan wadah berisi bunga.
"Ayo, Alia. Kita harus pergi sekarang. Rombongan warga sudah mau berangkat," ucap Ardian sembari menerima wadah itu.
"Iya, Pa," jawab Alia menurut.
Kedua sepasang suami istri segera keluar dari rumah setelah mengunci pintu dengan rapat. Mereka bergabung dengan warga yang sudah berkumpul di balai desa.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Semua warga memutuskan untuk segera berangkat menuju tengah hutan saat semua warga telah berkumpul.
Dengan susah payah, Alia berjalan dibantu oleh Ardian, kandungannya yang sudah memasuki sembilan bulan membuatnya khawatir. Bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi, jika dirinya terus berada di luar rumah, malam-malam begini.
“Tenang saja, Ma. Tidak akan terjadi apa-apa,” kata Ardian yang seakan-akan mengerti kegelisahan istrinya.
Alia mengangguk pelan dan terus kembali berjalan bersama dengan warga desa lainnya. Semilir angin berembus pelan membuat dedaunan berjatuhan, pohon-pohon di hutan meliuk-liuk seperti menyambut kedatangan para warga. Jalan setapak yang mereka lalui cukup terjal, hingga beberapa kali Alia harus dibantu oleh beberapa warga untuk terus melanjutkan perjalanannya.
Danau tempat ritual dilakukan memang cukup jauh dari desa, letaknya yang berada di tengah hutan membuat kesan menyeramkan sekaligus sakral. Tidak ada yang berani datang atau pun sekedar membuat onar di danau itu. Jika saja, ada seseorang yang berniat jahat, maka hanya dalam hitungan hari orang itu akan mendapatkan sebuah balasan yang mengerikan.
Tradisi ini telah berlangsung sejak lama, hingga generasi baru akan terus melanjutkan tradisi malam satu suro di danau ini. Jika tradisi terlewatkan, maka sebuah petaka akan datang melanda desa, hingga semua warga meminta pengampunan pada leluhur.
Setelah cukup lama berjalan di tengah hutan melalui jalan setapak. Para warga pun telah tiba di tempat ritual. Tanpa menunggu perintah, para warga segera menyalakan obor di sepanjang pinggir danau dan segera menyiapkan seluruh keperluan ritual, termasuk seekor kambing jantan berusia tiga tahun.
"Ritual akan di mulai! Harap kalian semua tertib dan tenang," pinta Mbah Aryo, pemimpin ritual sekaligus tetua desa yang di hormati para warga.
Para warga pun menurut. Mereka segera berbaris dengan rapi di sekeliling danau yang membentang dengan luas. Warga duduk pinggir danau sembari memperhatikan ritual berlangsung, sedangkan pemimpin ritual membacakan mantra tepat di depan para warga seraya menghadapkan sebuah golok ke arah danau.
Bibirnya tetap membacakan untaian mantra. Tak lama, ia berkata sembari membuka mata. "Bawa kambing itu," perintahnya pada beberapa warga.
Tak lama, beberapa warga memegang kambing dan membawanya ke arah pinggir danau, pemimpin ritual kembali membacakan mantra sebelum sisi tajam golok itu menggores leher kambing.
"Wahai penghuni danau suro, leluhur kami. Terimalah persembahan kami pada tahun ini. Jaga desa kami dengan baik dan terima kasih sudah menjaga hutan dan desa kami selama ini. Terimalah darah segar ini," ucap Mbah Aryo sembari menggores sisi tajam golok itu ke leher sang kambing.
Tak butuh waktu lama. Darah segar menetes dari bekas luka sayatan yang dalam, darah segar itu bercampur dengan air danau, hingga pada tetes terakhir. Semilir angin menerpa tubuh para warga yang berada di sana, suasana berubah menjadi hangat. Sinar rembulan pun menerangi tempat ritual itu, itu adalah tanda bahwa persembahan mereka telah diterima oleh leluhur danau suro.
"Terima kasih, Leluhur," ucap Mbah Aryo kembali membacakan mantra.
Manik matanya terpejam sembari terus membacakan mantra persembahan. Setelah selesai, ia segera membuka mata dan menatap ke arah kambing yang telah disembelih.
"Bawa, bersihkan dan bagikan pada seluruh warga. Ini bentuk bakti kita pada leluhur," perintah Mbah Aryo.
"Baik, Mbah," jawab beberapa orang menuruti perintah sang pemimpin.
Warga bergegas membersihkan kambing itu secara bersama-sama. Kambing itu segera dikuliti dan dibakar di tempat ini juga. Butuh waktu yang cukup lama untuk memasak daging kambing hingga matang sempurna.
Embusan angin malam yang menerpa danau membawa aroma daging bakar ke indra penciuman warga. Begitu juga dengan Alia, aroma daging bakar membuat rasa lapar Alia membuncah. Janin Alia sangat ingin mencicipi daging kambing itu, hingga beberapa kali Alia menelan salivanya sendiri. “Pa, mama pengen daging itu,” pinta Alia seraya menunjuk ke arah kambing bakar.
Ardian tersenyum melihat istrinya yang terlihat sangat ingin mencicipi nikmatnya daging kambing bakar itu. “Ini pasti ulah Dedek, ya?” tanya Ardian seraya mengelus perut istrinya. “Sebentar, ya, Dedek. Nanti kita semua bakal kebagian dagingnya,” ujar Ardian seraya tersenyum melihat istrinya yang terus menatap kambing bakar itu.
Tidak berapa lama, kambing itu pun matang, seluruh warga mengambil bagian termasuk Ardian, sedangkan Alia tidak sabar untuk menyantap daging bakar itu.
“Ini, makan perlahan,” ucap Ardian seraya menyerahkan daging bakar berbungkus daun pisang.
“Makasih, Pa.” Alia tersenyum senang, dirinya segera memakan daging itu dengan lahapnya. "Enak banget," ucap Alia sembari tersenyum menikmati nikmatnya daging yang baru saja di bakar itu.
Namun, tidak berselang lama, Alia merasakan kontraksi hebat pada perutnya.
“Aaargghh! Pa!” teriak Alia, membuat perhatian warga tertuju padanya.
“Ada apa, Ma?” tanya Ardian panik.
“Perut mama sakit, aarrrgghh!” jawabnya dengan napas terengah-engah.
"Hah? Papa harus bagaimana?" tanya Ardian panik.
"Aww!" pekik Alia sembari memegang perutnya yang terasa sakit dan mulas.
Wanita itu terus merintih kesakitan, hingga beberapa warga mendekati Alia untuk membantunya.
“Alia sepertinya kamu mau melahirkan!” seru seorang ibu paruh baya.
Semua warga terlihat panik, tidak mungkin melakukan proses bersalin di tengah hutan dengan minim penerangan begini.
"Kumpulkan obor di sini biar terang!" perintah seorang ibu-ibu yang dekat dengan Alia.
"Aw ... sakit," rintih Alia kesakitan.
"Sabar, Sayang. Kamu pasti bisa, demi anak kita, Sayang," ucap Ardian berusaha menguatkan.
Beberapa orang membawa obor ke arah Alia, guna membantu penerangan di sekitarnya. Seorang wanita berusia senja mendekat dengan langkah tertatih karena usianya yang tak muda lagi. Ia melihat ke arah kaki Alia yang telah basah akibat cairan yang keluar dari jalan lahir.