02. Mami

1226 Kata
Pagi ini harusnya Ata sekolah, mengingat hari ini, hari senin, tapi hari ini Ata mendapat hukuman dari Maminya karena kejadian semalam. Tok tok tok "Ini kok gak di buka-buka sih" Ceklek "Ck, ternyata gak di kunci" Alicia a.k.a maminya Ata itu perlahan berjalan menghampiri putranya itu. "Ata hey bangun, kita sarapan dulu" sambil mengusap kepala putranya itu. Cia memandang wajah putranya itu lekat-lekat. Lucu sekali wajah putranya itu seperti bayi, putih mulus tanpa ada jerawat atau semacamnya. Dan itu sudah bawaan dari lahir, kulit nya juga sama seperti Cia yang putih juga mulus. Cup Cup Cup "Eughh,,, mi, Ata masih ngantuk" ucapnya dengan suara khas bangun tidur. "No, kamu harus bangun makan dulu ayo" "Ck, iya-iya" Ata beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi. Tapi, sebelum itu tangannya di cekal. "Ingat ya Ata, hari ini gak ada sekolah, kamu masih mami hukum" "Hmm" Ata berjalan ke kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Ia tidak akan mandi kalau cuman berdiam diri di rumah, baginya mandi gak mandi sama-sama ganteng, wajahnya saja tidak akan berubah. Ata menuruni anak tangga dengan santai, ia menuju meja makan di sana sudah ada makanan tersedia. Dan sudah bisa di tebak semua itu hasil masakan maminya yang cantik. Ata hanya tinggal berdua sama maminya. "Ayo makan dulu, nanti obatin itu luka kamu. Mami masih nunggu penjelasan kamu ya, awas aja" "Iya mi, iya" Mereka berdua menyantap sarapan pagi dengan tenang. Setelah selesai mereka membereskan kembali makananya. Ata selalu membantu maminya jika ia sedang berada di rumah. Setelah selesai beres-beres mereka berdua sekarang sedang bersantai di ruang keluarga, dan maminya sedang mengobati luka putranya itu. Sebenarnya hukuman maminya itu cukup ringan, hanya berdiam diri dirumah menemani maminya. Tapi, yang membuat Ata benci akan hukuman maminya itu, 3 hari. Ya maminya menghukum Ata untuk 3 hari berada di rumah tanpa ponsel. Membosankan bukan?? Ya sungguh membosankan. Ia tidak bisa jika satu hari saja tanpa ponsel, rasanya sangat hampa. "Shh, pelan-pelan mih ngobatinnya. Sakit. " "Suruh siapa nakal" "Namanya juga anak muda, wajar lah nakal dan luka kayak gitu, mi. Tapi luka itu bukan ulah Ata sendiri loh mi, jadi Ata gak nakal. " "Terus apa dong kalau gak nakal, terus ini kenapa? Hm? " "Malem tadi, pas Ata mau pulang tiba-tiba di tengah jalan Ata lihat banyak orang yang mengerubungi mobil, Ata yakin kalau mereka itu bekal, jadi Ata tolongin orang yang ada di mobil itu, dan beginilah hasilnya mi" "Shh awwwww, mamiiiii sakittttt" "Kita kerumah sakit ya, luka di lengan kamu harus di tangani. Nanti takut infeksi" "GAK!" "Gimana kalau dokternya aja mami panggil ke sini ya" "Mi, Ata gak mau, gak mau di suntik gak mau, gak mau mi" jawabnya dengan melihat ke arah maminya sendu. Cia menatap putranya lekat, matanya saling bertubrukan dengan mata putranya. Dapat Ata lihat mata maminya itu berkaca-kaca ia yakin dengan satu kedipan air mata itu akan meluncur. "Oke mi, oke panggil dokternya aja kesini" final Ata, ia sungguh terpaksa. Karena tidak mau membuat mamihnya sedih karena dirinya. Ata rela melakukan apapun demi Mami nya bahagia, dan jika ada seseorang yang menyakiti hati maminya siap-siap saja akan Ata tebas kepalanya. Cia tersenyum kala sang putra mau di periksa oleh dokter. Cia tau kalau putranya itu membenci yang berhubungan dengan rumah sakit termasuk gelar dokter. "Yaudah mami, telepon om Alif dulu" Cia beranjak dari sana menuju ke dapur sambil menelpon Alif juga membawa minuman untuk putranya itu. "Ck, kenapa hidup gue harus berhubungan dengan dokter sih, akhhh" racau Ata, ia sungguh takut. Gimana kalau di suntik? Gimana kalau di infus? Tangannya di jahit? Di rawat di rumah sakit?.. Ya seperti itu lah sekarang yang ada di pikiran Ata. Dan sesegera mungkin Ata menghapus pemikirannya itu. "Gantengnya mami, om Alif lagi di jalan. Nih mami buatin minuman kesukaan Ata" "Makasih mi" Cia tersenyum, ia bangga kepada putranya ini, rasa-rasanya baru kemarin ia melahirkan Ata tapi sekarang udah remaja saja. Ya walau pun tanpa suami Cia mampu melahirkan dan membesarkannya sendiri dengan caranya sendiri juga. Suami? Mendengar kata itu Cia jadi teringat masa 'itu' dia juga rindu 'mereka'. "Kamu harus kuat Cia, disini Ata gak tau apa-apa" batinnya. 'Huft' "Mami kenapa? " Cia tersentak kaget kala tangannya di pegang. "EH, APA? " "Aduh, gak usah teriak juga kali mi, Ata tuh gak budeg. Lagian mami ngelamunin apa sih? " "Uh, astaga. Mami gak ngelamun kok" "Bohong ni" sambil memicingkan matanya dan mendekat ke arah mami nya. "Eh...be--beneran kok" "Ga-" Ceklek Pintu utama terbuka menampilkan seorang pria berjas dokter, ya dia dokter Alif. "Pagi" "Pagi om" Alif berjalan mendekati mereka berdua yang sedang duduk di sofa. "Wah, muka nya kenapa ini hm? Pasti nakal nih iya kan, iya kan? "Cerocos Alif. Ini nih Ata paling sebel kalau sudah berhadapan dengan dokter Alif, dia cerewet. "Sebel banget sih, udah di bilang Ata gak nakal" ketus Ata. "Buruan deh om periksa" sambungnya. "Ata!!!, yang sopan dong sama yang lebih tua. Mami gak pernah loh ngajarin Ata gak sopan sama yang lebih tua" Dia benar-benar single parent yang berhasil mendidik dan membesarkan Ata dengan baik. "Huft, maaf. Maafin Ata om" Alif tersenyum dan mengacak-acak rambut anak itu. Ia gemass lihat anak itu kala sedang meminta maaf. Alif tau Ata tidak suka yang berhubungan dengan dokter. "Gak papa kok. Yaudah sini om periksa dulu. Ata berbaring dulu ya" Tanpa banyak bicara Ata membaringkan tubuhnya di sofa yang sudah siap untuk di periksa. "Ini, tangannya harus di jahit deh" "Gak, gak mau, gak mau, Ata gak mau. Gak mau ke rumah sakit" "Suut, tenang, tenang dulu Ata, gak perlu ke rumah sakit kok, om udah bawa peralatannya. Mau ya di jahit cuman beberapa jahitan kok gak banyak. Mau ya? " bujuk Alif. "Hikss...hikss...hikss...Ata gak mau di ja--hit mi gak mau sa--kit" Cia langsung memeluk putranya itu dan menenangkannya. "Suutt, gak sakit kok kan di bius, mau ya, demi mami lo nak.. Mami tuh sedih kalau liat Ata sakit, Ata mau lihat mami sedih karena luka Ata gak sembuh-sembuh" "Gak, Ata gak mau mami sedih" "Jadi?" Ata hanya menganggukan kepala dan itu membuat Cia dan Alif tersenyum. "Jangan Tegang " "Awwww shh" Tak lama mata itu mulai terpejam, namun sebelum kesadaran nya menghilang sayup-sayup Ata mendengar ucapan Alif tetapi tidak jelas. Alif sudah melakukan jahitan pada tangan Ata. Ia memandang wajah Ata lekat. Ia bangga punya sahabat seperti Cia. Ia kenal dengan Cia sejak masa kuliah bahkan ia tahu kejadian 'itu'. Bagi Alif Cia itu sahabat paling hebat, baik lagi. Cia bisa mendidik anaknya dengan baik, dan Cia bisa menjadi seorang ibu sekaligus seorang ayah bagi anaknya ini. Dan sejak kejadian 'itu' Alif selalu berada di sisi Cia, kala dimana Cia membutuhkan seseorang maka dengan sangat siap siaga Alif lah orang pertamanya. Alif sudah menganggap Cia itu seperti adiknya, dan Ata keponakannya. Maka dari itu Alif selalu memperhatikan kesehatan Ata. "Udah beres, dan gue harus balik lagi ke rumah sakit" "Makasi ya Al, lo baik banget sama gue dan juga Ata" "Ata itu keponakan gue jadi wajar lah... Dan dua jam lagi dia baru sadar" "Nanti kalau biusnya udab habis gimana Al? " "Ya gak gimana-gimana, paling juga ada rasa ngilu tapi nanti juga hilang sendiri.. Dan gue udah menyuntikkan vitamin agar tubuhnya kuat" Cia mengantarkan Alif ke depan gerbang rumahnya. "Hati-hati Al" "Siap. " Setelah mobil Alif tidak terlihat lagi, Cia lantas masuk lagi kedalam rumah dan duduk di dekat putranya. Cup... "Cepat sembuh, mami sayang Ata."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN