Sementara itu di ruang kerjanya, Riksa sedang duduk terdiam dengan posisi menghadap ke arah jendela, membelakangi meja kerjanya. Kedua matanya terpejam, namun dia tidak tidur. Di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya tersemat sebuah pulpen yang dia ketuk-ketukkan pada bagian lengan kursi yang dia duduki. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini, sehingga membuat dirinya sungguh sulit untuk berkonsentrasi pada apa yang seharusnya dia kerjakan.
Selang beberapa menit kemudian pintu ruangannya diketuk hingga membuatnya membuka mata dan memutar kursinya. Dua orang lelaki melangkahkan kakinya dengan ringan dan mendekat ke arah Riksa dengan senyum lebar.
“Hai pengantin baru. Apa kabar? Gimana rasanya menikah?”
“Gue pikir lo honeymoon kemana gitu, Sa. Ternyata udah masuk kerja aja.”
Riksa mendengus kesal pada kedua teman dekatnya itu, lalu kembali memutar kursi dengan begitu enggan. Dia kembali pada posisinya tadi, membelakangi kedua orang tamunya.
Abdi mengerutkan keningnya heran, “Loh, kok nggak kayak pengantin baru yang berbahagia sih? Muka lo kek baju nggak disetrika. Kusut.”
“Iya, biasanya orang habis nikah wajahnya berseri. Seger gitu, habis merasakan surga dunia.” Tambah Indra dengan senyum jahil di wajahnya.
Riksa lalu membuka suara meskipun enggan. Entah mengapa, siang ini suasana hatinya kurang begitu bagus. Sudah beberapa hari ini memang suasana hatinya tidak begitu baik.
“Lo berdua ada urusan apa siang-siang kesini? Bukannya pada kerja.”
Abdi dan Indra otomatis heboh mendengar respon Riksa yang tidak biasanya jika menyambut kedatangan mereka berdua, “Wah nggak bener ini, Ndra.”
“Iya, Di. Biasanya dia seneng kalo kita dateng.”
“Lo kenapa sih, Sa?” Tanya Abdi perlahan.
Riksa yang sadar bahwa sikapnya terbilang aneh, lalu berusaha bereaksi secara normal.
“Lo berdua pada mau makan siang? Ayok lah gue temenin.”
Abdi dan Indra kembali berpandangan dengan wajah penasaran.
“Lo nggak pulang? Makan siang bareng istri, gitu?” Tanya Indra.
Riksa menggeleng dengan wajah datar, “Nggak. Dia juga udah masuk kerja kok.”
Riksa sebenarnya sedang tidak ingin membahas apapun tentang status barunya yang telah beristri. Mungkin jika wanita yang menjadi istrinya saat ini adalah sosok Aya, kekasihnya dulu, dia akan dengan senang hati mengumbar kebahagiaan sebagai pengantin baru. Karena memang yang terbayang di kepalanya mengenai sosok seorang istri adalah Aya. Wanita keturunan Arab yang sudah cukup lama menjadi kekasihnya itu. Namun apa mau dikata, mungkin memang belum waktunya dia berjodoh dengan Aya. Justru dengan Riska dia menikah. Riksa cukup pusing memikirkan bagaimana dia menjalani hari barunya. Dia tidak terbiasa dengan adanya Riska di sekitarnya. Dia masih merasa nyaman sendiri daripada harus bersama sang istri.
“Ada apa sih, bro?” Suara Abdi berubah dalam, “Kalo ada yang lagi mengganggu pikiran lo, cerita aja sama kita. Lo percaya kan, sama kita berdua?”
Riksa menggeleng seraya tersenyum tipis. Dia memang sedang terganggu pikirannya saat ini, namun Riksa enggan untuk membuka suara mengenai apa yang menjadi masalahnya saat ini. Dia sadar bahwa ini adalah masalahnya sendiri, yang tidak seharusnya diumbar pada orang lain meskipun teman dekatnya sendiri.
“Enggak ada kok. Gue lagi mikirin kerjaan aja, sama lagi mikir kira-kira mau bikin inovasi apa lagi, supaya tambah menarik minat pelanggan.”
Abdi dan Indra bukannya tidak tahu bahwa Riksa menyembunyikan apa yang sebenarnya, namun sebagai teman yang baik mereka juga tidak ingin memaksa. Karena nanti justru akan membuat suasana menjadi kurang nyaman bagi mereka.
“Ya udah, kita makan siang aja yok.” Ujar Abdi akhirnya.
Mereka bertiga pun berjalan keluar dari ruangan itu untuk makan siang bersama. Memesan beberapa menu favorit mereka masing-masing. Sambil menunggu makanan mereka siap dihidangkan, seperti biasa mereka berbincang mengenai kesibukan masing-masing.
“Ngomong-ngomong, gue kemarin ketemu Aya di bandara.” Ujar Indra, yang membuat Riksa mengangkat pandangannya yang semula tertuju pada ponselnya.
“Oh ya? Emang dia dari mana? Atau mau berangkat kemana?” Tanya Riksa penasaran. Beberapa hari ini, ponsel Aya memang tidak bisa dia hubungi. Sejak mereka putus, Riksa sesekali masih menghubungi Aya. Sekedar menanyakan kabar saja. Riksa memang berusaha menahan dirinya untuk tidak banyak berkirim pesan seperti biasanya. Riksa masih sadar bahwa dia kini statusnya adalah pria beristri. Namun sejak beberapa hari yang lalu, pesannya tidak terkirim. Pernah sekali Riksa mencoba menelepon, namun tidak tersambung.
“Katanya sih mau ke Surabaya. Ngurusin butiknya mau buka cabang di sana.”
Riksa mengangguk, “Sama siapa dia?”
“Kelihatannya sih sendirian aja. Eh… Nggak, berdua kayaknya. Soalnya habis kita ngobrol, ada cewek dateng. Asistennya kali ya.”
Riksa ingat, dulu Aya pernah bercerita ingin membuka cabang butiknya di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di Surabaya. Riksa juga sempat menemani Aya pergi kesana langsung untuk melihat-lihat beberapa lokasi yang sekiranya cocok. Riksa hanya bisa menghela nafas, menyadari kini dia tidak lagi bisa menemani Aya.
“Dulu gue sempat temenin dia cek lokasi yang bakalan dijadiin butiknya dia di Surabaya.” hela nafas Riksa terdengar cukup dalam.
Abdi dan Indra saling melempar pandangan, mereka berdua mengerti arti dari ucapan dan helaan nafas Riksa. Tentu saja mereka berdua mengerti bagaimana perasaan Riksa pada Aya, karena dulu mereka cukup dekat dengan gadis itu. Saat Riksa memutuskan untuk menikahi Riska pun, mereka berdua tidak habis pikir dengan apa yang menjadi pertimbangan lelaki itu. Satu hal yang mereka yakini, mungkin ini yang dinamakan takdir. Bagaimanapun dalamnya perasaan kita, selama apapun kita berhubungan dengan seseorang, jika Tuhan memutuskan bahwa dia bukan jodoh kita, maka tidak akan bisa bersatu juga.
—
Malam itu begitu tiba di rumah, Riksa langsung menuju ke kamarnya. Riska yang sedang berada di dapur membantu sang mertua menyiapkan makan malam, bergegas menuju ke kamar saat melihat suaminya sudah pulang. Begitu tiba di kamar, sosok Riksa sudah tidak ada, namun terdengar bunyi air dari kamar mandi. Maka Riska bergerak membuka lemari pakaian, menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya yang dia letakkan di atas ranjang. Setelah itu dia kembali ke dapur.
“Abang itu kalo pulangnya malam kayak ini, sukanya minta bikinkan teh hangat tawar.” Cerita Sylvia pada menantunya.
Riska mendengarkan dengan seksama, “Abang nggak suka manis ya, Mah?”
“Biasa aja sih. Mau dibilang nggak suka, tapi kadang dia pulang-pulang suka bawa martabak manis. Tapi kalo dibilang suka, dia sering minta bikinin teh tawar. Entahlah.”
Riska tersenyum, “Mah ini udah siap semuanya. Aku panggil Abang dulu ya. Kayaknya sudah selesai mandi.” Ujar Riska sembari bergegas ke kamar dengan membawakan secangkir teh hangat tawar.
Begitu tiba di kamar, Riska meletakkan cangkir teh hangat tawar itu di nakas, lalu pandangannya tertuju pada pakaian yang masih utuh di atas ranjang. Pakaian yang tadi dia siapkan untuk suaminya. Sementara itu, Riksa sendiri sudah berpakaian santai di pojok kamar sedang berdiri sembari mengecek ponselnya yang sedang di-charge.
“Bang, aku tadi siapin baju ganti.” Ujar Riska sambil melirik ke arah ranjang.
Riksa menoleh dan mengikuti arah pandangan Riksa, “Oh, abang nggak lihat ada baju disitu. Biasanya habis mandi langsung buka lemari.”
Riska mengangguk maklum, karena memang ini adalah hal baru bagi keduanya. Riska yang masih berusaha berperan menjadi istri yang baik dan melayani suami. Riksa sendiri mungkin masih perlu waktu untuk menyesuaikan kebiasaannya saat masih belum beristri.
“Ini teh hangat tawar. Mamah bilang abang suka minta bikinin ini, kalo pulang kerja.” Ujar Riska sambil mengembalikan baju yang tadi dia siapkan ke dalam lemari.
Riksa mengangguk, “Iya, taroh di situ aja.” Lalu dia kembali fokus pada ponselnya.
“Abang masih sibuk?" tanya Riska.
"Enggak. Lagi ngecek kerjaan aja." Ujar Riksa berkilah. Padahal sebenarnya dia sedang membuka sosial media.
"Bang, Mamah sama Papah nungguin buat makan malam.”
“Oh, makan malam udah siap ya? Bilang dong dari tadi.”
Riska menyahut, "Aku kira abang masih sibuk."
Riksa langsung berdiri dan beranjak keluar dari kamarnya. Diikuti oleh sang istri yang menggeleng melihat tingkah suaminya yang jauh sekali dari kata manis untuk ukuran mereka yang masih berstatus pengantin baru.
—