RR Part 8 Tsurayya

1530 Kata
Cuaca cerah siang itu mengiringi langkah kaki Aya menuju ruang tunggu keberangkatan di bandara. Tangan kirinya menggenggam sebuah handbag kecil yang melengkapi indahnya penampilan gadis itu. Kacamata hitam terselip di antara rambut panjangnya yang bergelombang. Wajah khas keturunan Arab yang dimilikinya, dipadukan dengan postur tubuh yang tinggi dengan berat badan yang ideal serta make up natural semakin menonjolkan kecantikannya. Sesekali kepalanya menggeleng pelan, seolah ingin mengenyahkan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Riksa. Hanya itu. Semakin ingin dilupakan, kenapa justru bayangannya semakin kuat menghiasi pikirannya? Ketika dia sedang membeli secangkir green tea latte kesukaannya tadi, Indra muncul mengejutkannya. Indra, sahabat dari Riksa. Lelaki yang saat ini dengan sekuat tenaga berusaha dilupakannya. Meskipun hanya berbasa basi sejenak, kehadiran Indra tentu saja membangkitkan lagi kenangan-kenangannya akan Riksa. “Please. Dia sudah beristri. Lupakan dia. Dia bukan jodohmu, Aya.” Bisik Aya pada dirinya sendiri. Seolah untuk melawan apa kata hati yang sejujurnya masih berharap bisa bersama Riksa suatu saat nanti. “Kamu cantik. Kamu mandiri. Kamu istimewa. Jodohmu sudah ditentukan dan itu bukan Riksa. Sabar, Aya. Rencana Tuhan selalu jauh lebih baik dari apa yang bisa kamu bayangkan.” Aya mengangguk setelah beberapa kali menggeleng. Mungkin jika ada yang memperhatikan tingkah laku gadis itu sejak tadi akan merasa aneh. Di satu waktu dia menggeleng seraya memejamkan mata, di waktu lain gadis itu justru tersenyum dan mengangguk. Penerbangan kali ini terasa berbeda bagi Aya. Ada rasa berat yang mengiringi kepergiannya. Seolah ketika pesawat ini meninggalkan landasan, ada bagian dari dirinya yang tertinggal. Memberikan rasa sesak yang sedikit mengganggu pernapasannya. Tidak pernah terbayangkan sedikitpun selama ini dia akan menangis meratapi seseorang yang statusnya adalah… suami orang. Menangis? Tentu saja Aya menangis. Meskipun di depan orang lain, tidak sedikitpun dia tampakkan kesedihan dan betapa hancur perasaannya. Wanita mana yang tidak menangis ketika kekasih yang sudah sekian lama bersama, justru menikah dengan wanita lain? Kenapa secara tiba-tiba takdir menghempaskannya jauh sekali ke dasar bumi? Rasa sakitnya bahkan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Namun satu hal yang membuat Aya tidak bisa berkeras untuk mempertahankan hubungannya dengan Riksa yaitu betapa sayang dan patuh kekasihnya itu pada sang ibu. Dan Aya sendiri tidak bisa menyalahkan hal itu, karena baginya akan sia-sia juga jika mereka tetap bersama namun tidak mengantongi restu dari kedua orang tua mereka. Lamunan Aya seketika buyar saat terdengar pengumuman bahwa mereka akan mendarat sesaat lagi. Aya menoleh pada Lala, asistennya. “Udah mau nyampe ya, La?” tanya Aya seperti orang bingung. Lala mengangguk dan tersenyum, “Iya, Bu.” “Kok cepet ya?” Gumam Aya sembari menegakkan posisi duduknya. Menyadari betapa banyak waktunya habis untuk melamun dan merenungi nasibnya. — Matahari masih belum menampakkan diri, hanya semburat keemasan muncul di ufuk timur ketika Riska membuka jendela kamarnya pagi itu. Langit masih sedikit gelap, namun sang suami sudah tidak ada di kamarnya. Riska membuka jendela untuk memandangi sang suami dan ayahnya yang pergi ke masjid bersama. Rumah mertuanya memang bisa dibilang cukup dekat dengan masjid dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan Riksa dan Bachtiar untuk melaksanakan sholat subuh di masjid. Saat bayangan sang suami sudah menghilang, Riska kemudian menyudahi kegiatannya dan pergi ke dapur untuk membantu sang mertua menyiapkan sarapan. Namun langkah Riska terhenti saat melihat ponsel suaminya bergetar di nakas. Riska lalu berjalan mendekat dan mengamati ponsel itu tanpa menyentuhnya. Dia masih menghormati privasi masing-masing dan menurutnya, membuka ponsel tanpa izin adalah termasuk satu hal yang melanggar privasi. Bukan telepon masuk, melainkan alarm pengingat dari kalender. [Mine’s Bday] Begitu yang tertera di layar ponsel Riksa. Seketika itu pula kening Riska berkerut, mengingat hari ini tanggal berapa. Riska tahu bahwa hari ini bukan hari ulang tahun suaminya. Dan lagi kalau memang ulang tahun Riksa, bukankah seharusnya dia menuliskan My Bday? Bukan Mine? Lagipula sangat jarang seorang lelaki membuat pengingat tentang hari ulang tahunnya sendiri. Lalu Mine? Siapa Mine? Atau Mine merujuk pada kepemilikan? Milikku? Cukup lama Riska berpikir hingga suara alarm pengingat itu berhenti dengan sendirinya. Lalu dia tersadar karena mendengar langkah kaki mendekat menuju ke kamarnya. Riska pun segera menjauh dari nakas dan bergegas keluar. Di pintu kamar, dia berpapasan dengan suaminya yang sudah pulang dari masjid. Riska tersenyum canggung, lalu segera beranjak menuju ke dapur. Sementara Riksa masuk ke kamar dan mengambil ponselnya. Dia tertegun sejenak saat melihat tampilan di layar. Sembari menarik nafas dalam, memikirkan seseorang yang mungkin saat ini masih berada di Surabaya. "Bang, sarapan dulu. Udah ditungguin mamah sama papah." Ujar Riska beberapa menit kemudian. Sang suami terhenyak, lalu menoleh ke arah pintu kamar. Kenapa cepat sekali istrinya itu kembali ke kamar? Atau memang dia yang melamun sehingga tidak menyadari berjalannya waktu? "Bang..." ulang sang istri begitu melihat Riksa yang tak juga bergeming. "Iya. Sebentar. Kamu duluan aja, abang nyusul." sahut Riksa pada akhirnya. Riska pun menurut, lebih dulu pergi menemui mertuanya untuk bersiap sarapan. "Berangkat kerja diantar abang, Ris. Jangan sendiri-sendiri kayak orang lagi marahan." usul Layla saat Riska baru saja duduk bergabung di meja makan. Bachtiar pun menoleh pada istrinya bingung, "Emangnya abang sama Riska pergi kerja nggak barengan ya kemarin?" Tanya beliau. Riska tersenyum kaku sambil menggeleng. "Riska kemarin bilang sama abang, kalo dia mau survey lokasi. Jadi lebih enak kalau bawa mobil sendiri." sahur Riksa berkilah. Kini dia duduk di samping istrinya dengan tenang. "Tapi hari ini memang mau barengan kok, Mah. Tenang aja." lanjut Riksa lagi. Riska kembali hanya bisa tersenyum, lalu melanjutkan makan. Sesekali dia menarik napas sepelan mungkin, agar tidak terlalu terlihat baik itu oleh suami maupun mertuanya. Entah kenapa, ada rasa sesak yang sedikit mengganggu di dadanya. Pagi itu, setelah mengantarkan istrinya ke kantor, Riksa pergi ke toko bunga langganannya. Langganan Aya sebenarnya, karena dulu dia sering mengantarkan Aya untuk membeli bunga di sini. Aya senang sekali menggunakan bunga-bunga segar maupun bunga kering untuk properti foto produknya. Maka kali ini Riksa berinisiatif untuk membeli bunga, sekedar untk mengucapkan selamat ulang tahun pada Aya. Meskipun dia tahu Aya sedang berada di luar kota, dia yakin staff kekasihnya itu akan menyampaikan ucapannya, setidaknya melalui telepon atau pesan. Kekasih? Ya kadang Riksa masih merasa bahwa Aya adalah kekasihnya. Maka, setelah sekian lama melihat-lihat dan memilih, sebuah rangkaian bunga kering atau dried flower menjadi pilihan Riksa. Dia masih ingat dulu di meja kerja Aya ada sebuah vas bunga dari kayu yang berisi rangkaian dried flower kesukaannya. Tidak lupa sebuah kartu ucapan melengkapi hadiahnya kali ini. To: Aya Happy Birthday From : Yours Singkat saja pesan dari Riksa, namun seolah menekankan bahwa Riksa masih milik Aya. Hatinya masih milik Aya, meskipun dirinya saat ini sebenarnya milik istrinya. Lelaki itu ingin Aya tahu bahwa Aya-lah yang masih memenuhi ruang di dalam hatinya. Saat ini, dan sampai kapanpun. — Sementara itu, nun jauh di sana, di kota yang berbeda, sejak pagi ponsel Aya berdenting tanda banyaknya pesan masuk. Sebagian besar berasal dari rekan kerja dan sahabatnya yang mengucapkan selamat ulang tahun. Aya memang sengaja memilih untuk menjauh saat hari ulang tahunnya. Tidak ingin terlihat menyedihkan karena baru saja ditinggal menikah. Jemari lentinya bergerak lincah membuka dan membalas berbagai ucapan dan doa yang ditujukan untuknya. Salah satunya adalah dari nomor admin butiknya di Jakarta. [Bu, ini ada beberapa kiriman bunga dan kue buat Ibu.] Pesan itu disertai beberapa foto yang menunjukkan kiriman kue ulang tahun dan beberapa rangkaian bunga untuknya. [Iya, terima kasih. Kuenya buat kalian di sana ya.] Balas Aya sembari mengucapkan terima kasih secara langsung kepada para pengirim kue itu via telepon dan pesan singkat. Jemarinya tiba-tiba gemetar saat melihat salah satu foto yang dikirimkan itu. Rangkaian bunga yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Aya memperbesar foto itu lalu membaca kartu ucapan yang terselip di salah satu tangkainya. To: Aya Happy Birthday From : Yours Dada Aya seketika sesak melihat tulisan tangan yang begitu dikenalnya itu. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Antara sedih, senang, kesal dan juga marah bercampur jadi satu. Aya tentu senang karena Riksa masih mengingat ulang tahunnya. Bahkan lelaki itu masih menyatakan kepemilikannya. Namun tetap saja rasa lain lebih mendominasi. Rasa sedih, marah dan kecewa yang bercampur jadi satu. Kembali dia mempertanyakan kenapa takdir tak bisa berpihak padanya. Tanpa bisa ditahan, jemari lentiknya bergerak cepat menyentuh layar ponselnya. Menekan deretan angka yang sudah dia hapal di luar kepala. Hingga kemudian nada sambung terdengar, membuat dadanya berdebar tak karuan seolah ingin meledak. “Aya…?” Mata indahnya terpejam saat mendengar suara itu. Suara yang sangat dirindukannya. Sekian detik berlalu tanpa jawaban apapun. Lidahnya kelu, tidak bisa mengucapkan apapun. “Selamat ulang tahun, Aya.” ucap Riksa lagi. Suara itu terdengar lirih dan sarat akan kerinduan. Maka detik itu pula tangis Aya pecah. Tidak mampu lagi dia menahan derasnya air mata yang mengalir di pipinya. Riksa yang mendengarnya pun pilu. Memejamkan mata, sembari membayangkan wajah indah Aya. Ingin membawanya ke dalam pelukan untuk sekedar menenangkannya, namun tidak bisa. Tidak ada kata-kata terucap setelahnya. Hanya isak tangis sesekali terdengar. Namun tidak satupun dari mereka berdua yang ingin memutuskan sambungan telepon. Karena mereka sadar, saat ini perasaan mereka tersampaikan meskipun tanpa kata. Riksa dan Aya memaahami itu. Dan satu hal yang mereka berdua sadari saat ini. Ternyata keduanya belum sanggup untuk saling melepaskan. “I’m sorry.” Ucap Riksa dengan sungguh-sungguh. Dirinya pun tidak bisa melakukan apapun, selain memikirkan kenapa semesta seolah begitu tega pada keduanya. —
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN