RR Part 9 New Home

1623 Kata
Ada rasa penasaran yang begitu menguasai pikiran Riska semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, saat melihat pengingat ulang tahun di ponsel suaminya. Namun Riska seakan tak punya nyali untuk sekedar bertanya pada sang suami. Terlebih komunikasi mereka berdua bisa dibilang sangat minim. Kadang Riska berpikir, apakah hanya dirinya yang belajar untuk membuka diri dan menerima pernikahan ini? Karena sang suami sepertinya masih tertutup padanya. Memang ada sedikit perubahan pada Riksa. Jika dulu dia mengabaikan pakaian yang sudah disiapkan oleh Riska di atas tempat tidur saat sang suami sedang mandi, sejak beberapa hari yang lalu Riksa mulai memakainya. Atau jika akan pulang terlambat, Riksa mulai mengabari sang istri melalui pesan singkat. Sebelumnya, Riksa tidak pernah melakukan itu. Dan saat ini, perubahan sekecil apapun dari sang suami memberikan Riska harapan akan kebaikan rumah tangganya. Karena jujur saja, Riska sempat meragukan apakah rumah tangganya akan berjalan dengan baik atau justru sulit mengingat bagaimana sikap sang suami padanya. Ponsel Riska berdering siang itu, saat dia sedang fokus membuat surat penawaran untuk salah satu kliennya yang akan melangsungkan pernikahan. “Ris, sore ini Mamah jemput ya? Kita lihat rumah baru kamu sama Abang. Kata Abang sudah selesai kan?” Suara Layla terdengar begitu bersemangat karena rumah baru anaknya selesai lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. “Oh ya? Gitu ya, Mah?” tanya Riska terkejut. Bukan terkejut karena rumah mereka selesai lebih cepat, melainkan karena dia sendiri tidak tahu akan hal itu karena Riksa tidak pernah bercerita padanya mengenai progress pembangunan rumah yang akan dia tempati nanti. “Iya, nanti Mamah jemput kamu ya, sama Abang.” ujar Layla lagi. Ketika sambungan telepon berakhir, Riska menggeleng sendu. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. Kenapa justru mertuanya yang tahu, tapi dia sendiri tidak tahu. Bagitu sulitkah bagi Riksa untuk berbicara padanya? Mengobrol? Atau sekedar berbasa basi? Mereka bahkan tidur di tempat tidur yang sama setiap malam. Bukankah secara normal biasanya pasangan suami istri memiliki obrolan tertentu sebelum mereka tertidur? Pillow talk, kebanyakan orang menyebutnya. Jangan berpikir tentang hubungan suami istri dulu, karena memang hal itu bisa dibilang terlalu jauh bagi mereka berdua. Mungkin keduanya memang perlu waktu lebih lama untuk bisa melangkah ke tahap berhubungan suami istri. Namun jika sekedar mengobrol pun Riksa tidak bisa, bagaimana . “Dean ada?” Suara itu mengejutkan Riska. “Eh… Ehm… Iya, Pak Dean ada, Bu. Saya Riska, ada yang bisa saya bantu?” Belum sempat wanita itu menjawab, Dean muncul dari ruangannya dengan sumringah. “Ris, kenalkan ini Reysa. Calon istri saya.” ujar Dean memperkenalkan wanita itu pada Riska. Karena memang hanya Riska yang sepertinya belum mengenal Reysa mengingat saat itu Riska sedang cuti menikah. Riska lalu tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya dengan sopan, “Saya Riska, Bu.” “Oh, ternyata kamu ya, Riska." ucap Reysa yang membuat Riska mengernyit bingung dengan maksud dari calon istri bosnya itu. "Selamat menempuh hidup baru, ya. Maaf waktu itu aku sama Dean nggak bisa datang.” Lanjut Reysa. Dia memang sudah diceritakan oleh Dean mengenai pernikahannya beberapa waktu yang lalu. Riska menghela napas lega, “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Terima kasih.” “Ris, saya keluar dulu. Tolong kirim ke email saya kalau surat penawarannya sudah kamu selesaikan ya. Klien kita yang satu ini agak ribet banyak maunya dan kita harus cepat karena dia nggak suka nunggu lama. Tambah ribet nanti urusannya.” Riska mengangguk, “Baik, Pak. Nanti begitu selesai langsung saya kirim ke email Bapak.” Selesai Dean dan Reysa pergi, Riska langsung melanjutkan pekerjaannya. Menghubungi beberapa vendor pernikahan sesuai permintaan klien mereka. Menyesuaikan harga dengan fasilitas apa saja yang akan didapatkan. Membuat rincian sedetail mungkin agar tidak terdapat kesalahan di kemudian hari. Lalu ketika pekerjaannya selesai, langsung mengirimkan ke atasannya. Hingga tidak terasa, jam kerja berlalu degan cepat dan sudah waktunya pulang. Sesuai dengan janji Layla di telepon tadi siang, sore itu Riska dijemput oleh suami dan mertuanya. Mereka menuju ke rumah yang akan ditempati. “Mamah sebenarnya senang sekaligus sedih rumah kalian sudah beres.” ucap Layla, “Nanti nggak ada lagi temen mamah masak di rumah.” Riska tersenyum, “Kan Riska sama Abang bisa mampir ke rumah mamah. Bisa nginap juga kalo misal lagi libur.” Hibur Riska pada Layla. “Iya. Janji ya, kalian harus sering datang.” pinta Layla yang dijawab dengan anggukan oleh Riska dan Riksa. Ketika mereka tiba, Riska takjub dengan apa yang dilihatnya. Rumah itu tidak begitu besar, namun asri. “Wah, kalo kayak gini, Riska pasti betah di rumah.” Puji Layla yang juga senang melihat hasil akhir dari rumah anaknya. Selama ini dia hanya melihat dari gambar-gambar yang dikirimkan Riksa padanya. “Kapan kita bisa pindah?” tanya Riksa sambil menatap Riska. Sejak tadi Riksa banyak diam, dan tiba-tiba menanyakan hal itu. Membuat Riska terkejut dan bingung harus menjawab apa. “Ih, Abang nih. Udah nggak sabar ya mau tinggal berdua aja sama istri tersayang?” cibir Layla sambil mencubit lengan putranya. Riska tidak bisa lagi menyembunyikan rona merah di pipinya dan senyuman di bibirnya. “Aku ngikut apa kata abang aja.” Lokasi rumah itu tidak terlalu jauh dari rumah orang tua mereka berdua. Sehingga kapanpun ingin berkunjung, mereka bisa datang tanpa harus meluangkan banyak waktu di jalan. Begitu pula dengan lokasi kantor Riksa. Hanya saja untuk ke kantor Riska memang agak jauh, terlebih jika terkena macet. Namun Riska tidak mempermasalahkan hal itu. Dia hanya perlu bangun lebih pagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah, menyiapkan sarapan dan berangkat ke kantor seperti biasanya. Mereka bertiga berkeliling mengamati ruangan demi ruangan di rumah baru itu. Ruang tengah yang menjadi satu dengan ruang makan memiliki konsep semi terbuka dengan taman di sisinya. Ada pintu kaca yang membatasi antara ruangan dengan taman, jika pagi tiba dan pintu kaca itu dibuka pasti udara segar masuk dengan leluasa. Rumah itu memiliki dua kamar tidur. Kamar tidur utama yang akan ditempati Riska dan Riksa berada di lantai dua. Karena luas tanah yang terbatas, Riksa memang membangun rumah ini dua lantai. Lantai dua khusus untuk kamar tidur. “Nanti kalau sudah pindah, mamah minta Mba Yuni bantuin kamu di sini ya? Buat nemenin kamu.” ujar Layla menawarkan kepada Riska. Mba Yuni adalah salah satu dari dua orang asisten rumah tangga di rumah mertuanya. Riska menggeleng, “Nggak perlu, Mah. Riska bisa sendiri kok ngurus rumah ini.” Tolak Riska dengan sopan. Mereka hanya berdua, pasti belum memerlukan bantuan ART. Riska sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sejak masih di rumahnya dulu. Memasak, mencuci pakaian, menyetrika, membersihkan rumah dan pekerjaan lainnya. “Kamu kan kerja? Nanti capek, pulang kerja mesti beresin rumah. Masak, cuci piring, cuci baju, setrika baju.” “Nggak kok, Mah. Riska udah biasa.” jawab Riska lagi. Layla pun mengangguk setuju dan tidak ingin memaksa menantunya. Hari menjelang malam ketika mereka bertiga tiba di rumah. Riska dan Riksa langsung masuk ke kamar untuk beristirahat sebelum makan malam. Riksa masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara Riska duduk di tempat tidur sambil menunggu giliran untuk mandi. Sedikit merasa lelah, namun Riska senang karena memang rumah yang akan ditempatinya sangat nyaman. Suaminya membangun rumah itu dengan bantuan salah satu temannya yang berprofesi sebagai arsitek, sehingga tidak heran jika tata ruangnya indah. Pintu kamar mandi terbuka dan Riksa keluar dengan tubuh yang sudah segar. Berjalan mengambil remote televisi di meja rias, setelah itu Riksa lalu duduk di tempat tidur dan menonton televisi. Riska menghirup wangi khas yang diam-diam sudah menjadi favorit Riska sejak hari pertama mereka menikah. "Mandi, Ris. Mamah pasti sebentar lagi manggil kita buat makan malam." ujar Riksa yang secara tidak langsung menghentikan kegiatan Riska. "Iya, bang." Riska lalu berdiri dan bersiap ke kamar mandi. Menggenggam piyama di tangannya sembari melangkah perlahan. Namun langkahnya terhenti saat sang suami kembali membuka suara. “Kita pindah minggu depan ya? Abang besok ada kerjaan di luar kota beberapa hari. Nanti setelah dari luar kota baru pindah ke rumah baru.” Ucap Riksa sambil mengenakan pakaiannya. “Abang mau pergi? Berapa hari?” tanya Riska dengan maksud ingin mempersiapkan kebutuhan suaminya ketika di luar kota. Riksa terlihat berpikir sejenak, “Mm… Mungkin tiga atau empat hari.” Riska mengangguk, “Nanti Riska siapkan baju-baju abang.” “Iya. Siapkan juga yang mau dibawa ke rumah baru. Jadi nanti begitu abang datang, kita sudah siap pindah. Barang-barang tinggal angkut.” ujar Riksa sambil mengambil ponselnya yang berdering. Ketika Riksa menerima telepon, Riska melanjutkan langkahnya menuju ke kamar mandi. — Pagi itu, sebelum ke kantor Riska mengantarkan suaminya ke bandara. Ketika tiba di pintu keberangkatan, Riksa berpamitan pada sang istri. “Abang berangkat ya.” Riska mengangguk, “Hati-hati di jalan ya, Bang. Kabarin kalo sudah sampe.” Setelah Riska mencium punggung tangan suaminya, Riksa lalu melambaikan tangannya pada Riska. Riska mengangguk dan tersenyum, dalam hati tidak henti-hentinya mendoakan semoga perjalanan suaminya dilancarkan dan bisa pulang dengan selamat. Dia sama sekali tidak beranjak dari posisinya hingga sosok sang suami tak terlihat lagi. Sosok Riksa menghilang ditelan keramaian dan kepadatan orang-orang yang akan berpergian pagi ini. Setelah itu dia lalu beranjak pergi menuju ke kantor. Hari ini jadwalnya cukup padat. Ada beberapa jadwal meeting dengan calon klien di beberapa tempat yang berbeda. Selain itu juga dia ditugasi Dean untuk melakukan follow up terhadap persiapan dari beberapa vendor yang dipilih Dean untuk pernikahannya sendiri. Riska sudah membuat list apa saja yang harus dia lakukan hari ini. Sudah menjadi kebiasaannya mebuat list di ponsel, agar tidak ada yang terlewat untuk dia kerjakan. Sedikit memijat keningnya saat mengendarai mobil di tengah padatnya jalan raya, Riska sesekali melirik ke arah ponselnya. Menunggu apakah suaminya akan memberi kabar kalau pesawatnya sudah berangkat atau belum. Namun apa yang dia nanti tak kunjung hadir hingga Riska menepikan mobilnya di area parkir kantor. Akhirnya dia memilih mulai fokus untuk menyelesaikan apa yang menjadi agenda pekerjaannya hari ini. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN