Sebagai seorang pengusaha muda, Riksa bukan sekali dua kali melakukan perjalanan untuk bertemu dengan relasinya. Entah dalam rangka menemui supplier bahan baku untuk restoran miliknya, atau untuk menemui beberapa rekan yang menawarkan kerja sama lainnya. Namun ada yang berbeda dengan perjalanan kali ini. Bukan perjalanan yang direncanakan sebelumnya, karena rekannya ini baru saja menghubunginya tadi malam. Mengatur jadwal untuk bertemu dan meminta Riksa untuk datang. Menawarkan sebuah kerja sama yang sebenarnya tidak begitu menarik minat Riksa untuk saat ini. Hanya saja ada satu hal yang membuat Riksa setuju untuk datang. Rekannya itu berada di Surabaya. Dan itu berarti dia harus bertolak ke Surabaya secepatnya. Ada Aya di sana. Aya yang sudah begitu dirindukannya, meskipun dalam diam. Apakah ini sebuah pertanda, bahwa semesta mulai memberikan jalan baginya untuk bisa bersama Aya?
Saat pesawat mulai mengudara, rasa gugup mulai menguasai. Jantungnya berdetak begitu cepat, berdebar tak karuan. Tapi anehnya, dia tersenyum simpul. Mengapa debaran ini terasa indah? Seperti saat-saat dulu ketika baru berkenalan dengan gadis cantik itu? Ya, memang Riksa sudah menjatuhkan hatinya pada Aya sejak pertama kali mereka berkenalan. Meskipun pada akhirnya dia baru bisa memiliki Aya sebagai kekasihnya setelah berteman dan melakukan pendekatan sekian lama. Rasanya begitu tidak sabar menginjakkan kaki di kota itu. Tidak sabar untuk bertemu dengan Aya, yang tidak pernah dia temui sejak hari pernikahannya tempo hari.
Waktu selama satu jam lebih tiga puluh menit terasa begitu panjang bagi Riksa kali ini. Berkali-kali dia memandang sisi kirinya, melihat ke arah luar namun hanya gumpalan awan yang terlihat. Untuk membunuh waktu, Riksa lalu memilih untuk memutar musik. Tangannya bergerak mengambil headphone, lalu dengan cepat memasang di telinganya, lalu setelah menyambungkan kabel headphone dengan layar di depannya, dia pun memilih musik yang santai. Berhasil, tak lama kemudian dia terpejam dan terlelap.
Suara pengumuman dari flight attendant menghentikan suara musik di telinga Riksa, membuatnya terbangun dari tidurnya. Rupanya pesawat akan mendarat beberapa saat lagi.
“Para penumpang yang terhormat, beberapa saat lagi kita akan mendarat di bandara internasional Juanda, Surabaya. Waktu saat ini menunjukkan pukul sembilan waktu Indonesia Barat. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Surabaya. Kami himbau agar anda tetap berada di tempat duduk, menggunakan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.”
Riksa lalu mengambil air mineral dan meminumnya. Dalam hati dia melafalkan doa agar selamat sampai tujuan. Dan ketika pada akhirnya pesawat telah mendarat dengan selamat di landasan, rasa syukur dia ucapkan dalam hati.
Tidak perlu waktu lama bagi Riksa untuk keluar dari pintu kedatangan, karena dia hanya membawa sebuah koper kecil yang dia bawa ke kabin pesawat. Karena itu dia tidak perlu lebih lama menunggu bagasi. Dengan bersemangat dia melangkah keluar, mencari taksi yang akan membawanya ke hotel. Adapun jadwalnya hari ini yatu bertemu dengan rekannya. Mungkin tidak memakan waktu lama. Dan jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya bisa saja dia pulang besok hari. Namun alih-alih besok, dia justru berkata akan keluar kota selama tiga atau empat hari pada istrinya.
Ponsel Riksa masih dalam mode pesawat yang membuatnya tidak dapat menerima panggilan dan juga pesan. Namun dia tiba-tiba teringat pesan Riska untuk mengabari jika sudah sampai. Maka dia pun menghubungi istrinya itu.
“Halo, Ris. Abang sudah sampai Surabaya.”
“Alhamdulillah. Hati-hati di sana ya, Bang. Ini abang dimana?” pesan Riska yang terdengar klise namun sebenarnya dalam. Berhati-hati selama bekerja, agar tidak salah. Berhati-hati dari orang asing, karena dimanapun ada orang jahat yang mungkin tidak kita duga. Intinya, Riska ingin suaminya lancar dan aman dalam perjalanan bisnisnya ini.
Riksa menjawab, “Abang lagi di jalan mau ke hotel dulu.”
“Oke. Semoga lancar ya bang, kerjaannya.” doa Riska selalu mengiringi.
"Iya."
Setelah menghubungi istrinya, Riksa lalu menyandarkan punggung, menatap jalan raya yang cukup padat. Menghela napas dan berdecak kesal karena ada panggilan masuk dari rekannya. Dahi Riksa berkerut, bukannya mereka memilik janji temu nanti saat jam makan siang? Kenapa rekannya itu justru menghubunginya sekarang. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi menuju makan siang.
“Ya, Halo?”
—
Setelah panggilan telepon selesai, Riksa membatalkan tujuannya ke hotel yang sebenarnya sudah dia pesan kemarin. Taksi yang membawanya kini berputar arah menuju ke salah satu pusat perbelanjaan. Riksa baru ingat bahwa ada hotel yang terhubung langsung dengan pusat perbelanjaan itu. Riksa bukan ingin berbelanja, tujuannya hanya menemui Aya, gadisnya. Dan dimana lagi tempat terdekat yang terpikir olehnya selain hotel yang berada dalam satu kawasan dengan pusat perbelanjaan dimana terdapat butik milik Aya di sana. Kenapa tidak terpikir sejak kemarin olehnya.
Telepon dari rekannya tadi secara sepihak membatalkan janji mereka karena ada hal lain yang tidak bisa dia hindari. Maka rekannya itu meminta maaf berkali-kali, sembari berjanji bahwa nanti dia yang akan ke Jakarta untuk menemui Riksa. Jika dalam mode normal, mungkin Riksa akan marah atas pembatalan secara sepihak seperti ini, mengingat dia sudah terbang jauh dari Jakarta. Namun tentu saja saat ini Riksa sedang berada dalam mode tidak normal. Tidak biasa, alias sedang berbahagia. Karena akan bertemu Aya. Jadi Riksa menyetujui saja rencana untuk melakukan re-schedule pertemuan mereka nanti.
Kini, Riksa sudah berada di depan butik milik Aya setelah tadi dia ke hotel dan meletakkan kopernya di kamar. Dadanya sudah dipenuhi berbagai macam perasaan yang tidak bisa dia urai satu per satu. Terlebih dari kejauhan dia bisa melihat Aya yang sedang melayani langsung calon pembelinya. Terlihat bersemangat menjelaskan detail-detail dari pakaian yang dia buat, sambil tersenyum ramah. Sudahlah, kini Riksa sudah tidak bisa lagi menahan kakinya yang seolah memiliki keinginan sendiri untuk melangkah masuk dan menemui pujaan hatinya.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu, Bapak?” sapa salah satu karyawan dengan ramah.
Riksa menoleh sejenak, lalu menggeleng. Kakinya terus melangkah, menuju ke arah gadis cantik yang sudah dirindukannya.
“Aya…” suara Riksa terdengar bergetar saat menyebutkan nama itu. Terlebih saat sang gadis menoleh, matanya membulat karena terkejut dengan keberadaan lelaki itu.
Mulut Aya terbuka, lalu tertutup lagi. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya salah seorang karyawannya mendekat. Tersenyum dan mengangguk sopan pada Aya.
“Mari, Bu. Saya bantu dengan pilihan koleksi lainnya di sebelah sini.” ujarnya mengambil alih konsumen yang sedang bersama Aya.
Ketika karyawan dan konsumennya menjauh, Aya kembali memandangi sosok lelaki di depannya. Kali ini dia menggelengkan kepala seperti tidak percaya bahwa lelaki itu ada di hadapannya. Melihat reaksi dari Aya, sontak membuat Riksa tersenyum. Senyuman yang seperti biasa, selalu memikat.
“Kamu nggak berubah. Senyuman kamu memang selalu seindah itu. Selalu membuat aku seperti terjatuh dan terbang ke dalam namamu. Antariksa.” Batin Aya seraya menghela napasnya.
“Apa kabar, Aya?” sapa Riksa memecah kesunyian di antara keduanya.
Aya mengangguk sembari tersenyum, “Baik. Seperti yang kamu lihat.”
Riksa terlihat mengedarkan pandangannya pada sekeliling, lalu memutuskan untuk mengajak Aya pergi, karena suasana di butik saat ini cukup ramai.
“Makan siang bareng?” Ajak Riksa.
Aya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya dan terkekeh, “Masih jam segini? Bukan makan siang namanya.” Saat ini jam memang baru menunjukkan pukul sebelas siang.
“Ya nggak masalah. Sambil nunggu pesanan, ngobrol dulu. Nggak akan terasa udah jam dua belas nanti.” jawab Riksa.
“Kemana?” tanya Aya sembari beranjak untuk mengambil tas kecilnya.
Riksa lalu menyebutkan salah satu restoran jepang yang terkenal dengan menu ramennya. Aya mengangguk setuju, dan mereka pun berjalan bersisian. Restoran itu berada di lantai yang berbeda dengan butik milik Aya.
“Ada apa jadi tiba-tiba muncul di sini?” tanya Aya sambil menundukkan kepala. Sepanjang melangkah, dia lebih banyak memandangi sepatunya daripada orang di sebelahnya.
“Ketemu kamu.” jawab Riksa singkat.
Aya menggeleng dan tertawa tidak percaya, “Nggak mungkin.”
Mau tidak mau, Riksa pun tertular untuk tertawa bersama Aya. Rasanya beban pikiran yang beberapa hari terakhir dia pikul di bahunya, menguap seketika. Terbang bersama indahnya suara tawa yang sudah lama tidak dia dengar.
“Kok nggak percaya?” tanya Riksa.
Aya mengangkat bahu, “Ya nggak mungkin aja. Mengingat, sekarang kita udah nggak kayak dulu lagi.”
“Nggak ada yang berubah dari aku, Ya.” suara Riksa terdengar berat karena helaan napasnya.
“Ada, Sa. Semua. Kita udah nggak kayak dulu lagi. Itu yang berubah.” ujar Aya sambil menumpukan wajah dengan tangan kanannya sambil menatap Riksa sendu.
“Kita lupakan dulu masalah itu ya? Please. Anggap kita masih kayak dulu, setidaknya saat ini.” pinta Riksa sembari menggenggam tangan Aya.
Aya menatap Riksa, keningnya berkerut bingung. Berbagai hal berkeliaran di benaknya.
“Masalah itu? Lupakan dulu masalah itu dia bilang? Pernikahannya dia anggap masalah?”
“Apa mau kamu, Sa? Sudah cukup aku sakit hati, jangan bawa aku dalam masalah lain yang bikin aku semakin hancur nanti.”
“Ngomong-ngomong, kamu rencananya berapa lama di sini?” tanya Riksa membuka topik lain.
“Belum tahu. Sampai aku capek di sini, baru aku pulang ke Jakarta.” jawab Aya sekenanya. Tangannya menarik mangkok berisi ramen miliknya yang baru saja diantar oleh pramusaji.
“Pulang bareng aku, ya?” ajak Riksa mendadak. Hal itu terlontar begitu saja tanpa sempat dia pikirkan. Tidak berpikir bagaimana jika dia pulang bersama Aya, lalu nanti yang akan menjemputnya adalah Riska, istrinya. Entah apa yang akan terjadi.
Untunglah Aya menggeleng menolak, “Nggak. Aku masih lama di sini.”
“Kamu tinggal dimana sekarang?”
Aya menyebutkan salah satu gedung apartemen yang berada di kawasan pusat perbelanjaan itu juga. Riksa takjub hingga mulutnya sedikit terbuka.
“Kenapa?” tanya Aya bingung melihat reaksi Riksa.
Riksa lalu menyebutkan nama hotel yang memang satu kawasan dengan pusat perbelanjaan dan aprtemen tempat tinggal Aya.
Lagi-lagi mereka berdua menggelengkan kepala dan tersenyum dengan kebetulan ini.
“Nanti aku antar kamu pulang ya?”
“Ini masih siang, aku kerja.” Tolak Aya lagi. Kenapa sekarang Aya sering sekali menolak Riksa.
“Ya udah, aku tungguin kamu sampai selesai. Kan hotel aku dekat. Nanti aku balik ke hotel dulu, baru jemput kamu.” ujar Riksa secara sepihak.
“Apartemen aku juga dekat. Nggak perlu diantar juga kali, Sa. Cukup jalan kaki.”
“Aya, please. Aku… cuma mau menghabiskan waktu lebih banyak sama kamu.” pinta Riksa lagi.
Kini Aya mengerti, Riksa pasti merindukan saat-saat mereka masih bersama dulu. Rindu. Aya pun sama, hanya saja kini Aya merasa salah dengan rasa rindu itu. Tidak seharusnya rasa rindu itu ada di antara mereka berdua.
—