RR Part 11 Janji

1629 Kata
Malam itu, seperti janjinya pada Aya tadi siang, Riksa kembali datang. Tidak langsung pulang menuju apartemen Aya, mereka justru menghabiskan waktu dengan makan malam berdua. Bolehkah sejenak Aya melupakan kenyataan bahwa lelaki yang kini duduk di depannya adalah suami orang lain? “Kamu serius, standby di butik dari siang sampe malem?” tanya Riksa takjub. Bukan Riksa meragukan kegigihan gadis itu bekerja untuk menggapai mimpinya. Hanya saja rasa khawatir menyusup begitu saja di benaknya. Aya mengangguk kecil sambil mengangkat gelas dan meminum airnya lalu berkata, “Iya. Selama aku di sini, sejak butik aku baru buka beberapa waktu yang lalu aku memang standby. Pulang ke apartemen sebentar buat mandi, ganti baju. Itu doang.” Riksa menggelengkan kepalanya, “Kan karyawan kamu ada. Jangan terlalu dipaksakan gitu kerjanya.” “Loh? Aku nggak terpaksa kok. Aku mengerjakan apa yang aku suka. Jadi nggak ada rasa terpaksa sedikitpun.” “Apa sih yang kamu kejar? Kerja itu juga ada batasnya, karena tubuh kita nggak bisa terus-terusan diajak beraktivitas. Kapan kamu istrirahatnya? Kalau terlalu capek nanti jadi drop.” pesan Riksa dengan sungguh-sungguh. Berharap Aya mau mengikuti apa yang dia katakan. Aya terlihat santai mengunyah makanannya, “Malam kan aku istirahat, Sa.” Tentu saja Aya tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa sebenarnya dia sengaja menyibukkan diri, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Kenapa? Tentu saja untuk mengalihkan perhatian dan pikiran dari sosok lelaki yang kini duduk di depannya. “By the way, kenapa kamu jadi kayak ngatur hidup aku sih? Kita kan udah nggak ada ikatan apapun. Suka-suka aku dong, mau ngapain?” Tanya Aya sembari menatap Riksa dengan lekat. Lagi-lagi Riksa menggelengkan kepalanya, “Bukan maksud aku mau atur hidup kamu. Aku cuma khawatir aja sama kamu. Dari cerita kamu tadi, aku perhatikan kamu kayak sengaja gitu bikin diri kamu capek kerja.” “Ya udah sih, toh nggak masalah buat aku. Kamu nggak perlu khawatir. Bukan aku yang harus kamu perhatikan sekarang, Sa. Ingat status kamu.” Riksa meletakkan sendok dan garpunya dengan sedikit keras. Hingga terdengar dentingan akibat sendok dan piring yang beradu. Aya pun tersentak dari posisinya. Memejamkan mata sejenak, Riksa seperti sedang mengontrol emosinya sendiri. Kedua bahunya terlihat naik turun seiring dengan helaan napasnya. “Ya, aku mau kamu tahu satu hal.” ucap Riksa lirih. Aya diam, menunggu dengan perasaan tidak menentu. Riksa menatap mata Aya dengan sendu, “Memang saat ini status aku adalah suami dari orang lain. Tapi… hati aku masih milik kamu.” Aya berdecak, “Hati gampang berubah, Sa. Apalagi kalau lama-lama kamu terbiasa dengan adanya dia dalam keseharian kamu. Pasti perasaan itu akan muncul juga nantinya. Apalagi… kalian berdua… suami… istri…” Suara Aya terdengar melemah saat mengucapkan dua kata terakhir. Suami dan istri. Dirinya tidak terima. Hatinya sakit saat mengucapkannya. Riksa yang mengerti dengan maksud dan arah pembicaraan Aya dengan segera menyela, “Semua ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Ya. Aku nggak pernah… nggak… pernah… maksud aku… kamu ngerti kan?” Aya menyipitkan pandangannya demi mencerna ucapan Riksa yang terbata-bata. “Mak… sud… kamu… apa?” “Aku dan Riska… memang suami istri. Tapi…” Riksa menggeleng sembari menatap Aya. Keduanya sama-sama terdiam, namun masih memaku tatapan masing-masing. Cukup lama keduanya terdiam hingga pada saat Aya akhirnya mengerti maksud dari Riksa, Aya ternganga, hingga refleks dia menutup mulut dengan kedua tangannya. “Iya, aku dan Riksa nggak melakukan hubungan suami istri.” ucap Riksa. “Tapi… Kenapa?” Ada berbagai rasa yang kini bergemuruh di dalam d**a Aya. Tidak percaya, takjub, heran dan juga terharu menjadi satu. “Karena aku cuma milik kamu. Cuma kamu yang boleh memiliki aku. Begitu juga sebaliknya.” jawab Riksa sembari menggenggam tangan Aya dengan erat. “Gimana aku bisa percaya, Sa? Semua ini nggak masuk akal bagi aku. Nggak mungkin.” ujar Aya masih mencoba menyangkal. Ya, wajar saja Aya tidak percaya. Lelaki mana yang tidak akan menyentuh istrinya sendiri ketika mereka telah menikah? “Apa selama ini aku pernah bohong sama kamu? Menyembunyikan sesuatu dari kamu?” Tanya Riksa. Memang lelaki itu tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari Aya saat mereka bersama dulu. Berbohong adalah hal yang paling Riksa hindari. Bahkan dulu ketika Riksa pada akhirnya tahu bahwa sang ibu tidak menyukai hubungannya dengan Aya, Riksa berkata jujur pada Aya. Terlebih ketika ternyata orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Riska, Aya lah orang pertama yang dia beri tahu. Menyakitkan memang, namun itulah Riksa. Dia tidak akan menutupi kebohongan hanya untuk menyenangkan seseorang. Karena baginya, baik atau tidak tujuannya, kebohongan pada akhirnya akan selalu merugikan semuanya. Aya tahu itu. Sifat Riksa yang satu ini memang tidak pernah berubah. Namun satu hal tiba-tiba terlintas di benaknya. “Istri kamu tahu kamu pergi ke sini?” tanya Aya tiba-tiba. Menyarakan apa yang menjadi pertanyaan di benaknya. Riksa mengangguk santai, “Iya. Dia tahu.” “Dia tahu kamu ketemu sama aku?” lanjut Aya lagi. Dan kali ini, Riksa terdiam. DIamnya Riksa cukup bisa membuat Aya menarik satu kesimpulan. “Dia nggak tahu kamu ketemu sama aku. Berarti kamu bohong sama dia.” Riksa mencoba mengelak, “Dia tahu aku ke sini untuk urusan pekerjaan. Meskipun ternyata dibatalkan secara sepihak.” “Tapi tetap aja, Sa. Kamu bohongi dia dengan kamu ketemu aku di sini. Kalau kamu bisa bohongi dia, kamu juga pasti bisa bohongi aku kan?” Rahang Riksa mengeras, “Apa bisa dikatakan bohong, kalau aku nggak mengatakan apapun? Dia nggak nanya aku disini ketemu siapa. Jadi ya aku nggak bilang kalau aku ketemu kamu.” Alasan memang akan selalu ada jika dicari. Sesulit apapun kondisinya, akan selalu ada alasan yang dapat dibuat. “Kamu berubah, Sa.” “Nggak ada yang berubah dari aku, Ya. Aku masih Riksa yang dulu. Riksa yang kamu kenal. Dan perasaan aku juga nggak berubah. Masih seperti yang dulu.” “Jangan bawa aku jadi masalah dalam rumah tangga kalian, Sa. Please.” mohon Aya. “Masalahku dia, Ya. Bukan kamu.” Riksa lalu melanjutkan, “Aku janji, aku akan jaga hati dan diri aku hanya untuk kamu. Kamu mau kan bersabar? Sampai kita menemukan jalan untuk bisa bersama?” Batin Aya kini serasa dihantam oleh badai yang begitu hebatnya. Terbang, berputar hebat, dilanda kebingungan yang luar biasa. Disatu sisi, dia tidak ingin menjadi sumber masalah dalam rumah tangga orang lain. Namun disisi lain, dia tidak bisa memungkiri bahwa dia juga ingin memiliki lelaki di depannya ini. “Sa, kenapa baru sekarang?” tanya Aya lirih. Jika Riksa ingin berjuang agar mereka bisa bersama, kenapa baru sekarang? Kenapa saat semua sudah sedemikian rumitnya? Seandainya Riksa mau memperjuangkan hubungan mereka dulu, saat dia belum menikahi Riska. Saat mereka belum dijodohkan. Mungkin tidak akan serumit ini. Karena Aya sendiri sadar, ikatan suci yang menyatukan Riksa dan Riska pasti cukup sulit untuk dilepaskan. Karena ada takdir Tuhan yang bekerja menyatukan mereka. Namun sekarang, ketika lelaki itu memintanya untuk bersabar, apakah takdir Tuhan akan berpihak pada mereka? Entah jalan seperti apa yang akan Riksa cari untuk bisa bersatu dengan Aya. Selepas makan malam, Riksa mengantarkan Aya pulang ke apartemennya. Berjalan bersisian sembari mengobrol, tidak ada rengkuhan erat di pinggang seperti dulu saat mereka masih bersama. Sebenarnya saat ini mereka sedang bersama. Namun ada batasan tak kasat mata yang membuat keduanya tidak bisa sedekat dulu. Situasi dan kondisi mereka berdua saat ini tak ubahnya seperti kembali pada masa-masa mereka baru berkenalan dulu. “Aku pergi ya. Kamu jangan terlalu malam tidurnya. Istirahat yang cukup.” Pesan Riksa saat berdiri di depan pintu apartemen Aya. Kedua tangan dia masukkan ke saku celana. Bukan tanpa maksud, melainkan untuk menahan diri agar tidak tergoda untuk membelai rambut Aya, memegang kedua pipinya. Juga mendaratkan kecupan di keningnya. Seperti yang dulu biasa dia lakukan. Rasanya salah jika dia melakukan hal itu saat ini. Maka Riksa memilih untuk berdiri kaku dengan kedua tangan di saku celana. Aya mengangguk, “Iya. Makasih ya untuk hari ini.” Riksa tersenyum, “Aku balik ke hotel. Besok pagi aku jemput kita sarapan bareng.” — Selama tiga hari Riksa di Surabaya, selama tiga hari itu pula dia menghabiskan waktunya bersama Aya. Bahkan kini, saat tiba waktunya dia harus kembali ke Jakarta, Aya yang mengantarkannya ke bandara. Riska beberapa kali mengirimkan pesan singkat pada Riksa selama tiga hari terakhir. Sekadar memberi kabar jika dia harus lembur, juga untuk menanyakan kabar suaminya itu. Riksa pun menjawab seperlunya. [Abang jadi pulang hari ini?] [Pesawatnya jam berapa?] [Nanti aku ijin sebentar dari kantor buat jemput abang.] Begitu pesan singkat yang Riksa terima tadi pagi. Pesan dari sang istri yang sepertinya Riksa lupakan keberadaannya selama dia bersama Aya di sini. [Iya, jadi.] [Boarding jam enam sore.] Di seberang sana, Riska menghela napas lega karena pesawatnya sore, Riska tidak harus ijin dari kantor. Dia bisa langsung ke bandara setelah pekerjaannya selesai. [Nanti aku jemput abang.] [Hati-hati di jalan. Safe flight.] “Ya, aku balik ke Jakarta dulu ya? Nanti aku pasti ke sini lagi.” ujar Riksa saat mereka berdua berjalan menuju ke pintu keberangkatan. Aya memang sudah mengatakan pada Riksa bahwa dia akan menetap di Surabaya mungkin selama satu atau dua bulan ke depan. Dan hal itu membuat Riksa berjanji akan mengunjunginya lagi nanti. “Enak ya, jadi kamu. Berangkat diantar aku. Sampai Jakarta dijemput istri.” ucap Aya setengah menyindir setengah nelangsa pada nasibnya. “Sabar… Kamu kalau jadi aku juga, pasti bisa tahu situasi ini nggak enak. Rasanya kayak mau pecah kepalaku.” “Ya udah, sabar aja.” ucap Aya membalikkan kata-kata Riksa yang meminta dirinya untuk bersabar. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada kecupan di kening. Keduanya hanya saling menatap dalam diam. Menyelami perasaan masing-masing tanpa harus berkata-kata. Hingga ketika Riksa menyadari dia harus segera check in, dia kemudian tersenyum pada Aya. “See you soon…” Aya hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Menahan air mata agar tidak jatuh di kedua pipinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN