RR Part 12 Back To Reality

1507 Kata
“Belum pulang, Ris?” Sapa Dean sembari mampir ke meja Riska. Dia agak heran masih melihat Riska duduk di depan layar komputernya sementara saat ini sudah menunjukkan hampir pukul enam sore. Biasanya Riska sudah pulang sejak jam kerja berakhir, yaitu jam lima sore. “Atau nunggu jemputan suami?” Ujar Dean sambil tersenyum. Riska menggeleng, tangannya dengan cekatan mematikan komputer sebelum menjawab pertanyaan Dean. “Nggak, Pak. Saya nggak nunggu jemputan. Justru sekarang saya nunggu waktu buat jemput suami saya ke bandara.” “Oo… Ya udah, siap-siap aja sekarang. Nanti macet tambah lama di jalan.” Ujar Dean lagi. Riska menganggu dan mulai berdiri, mengambil tas kecil yang tergantung di kursinya. Tidak lupa merapikan meja kerjanya hingga bersih. Baru dia beranjak pergi, diikuti oleh Dean yang justru membuat Riska heran. “Bapak mau kemana?” “Mau pulang juga, jemput Reisa dulu. Oh iya, Ris. Besok tolong kamu follow up gaun Reisa ya. Saya mau lihat sudah berapa persen proses pengerjaannya.” Pernikahan Dean dan Reisa akan digelar dalam waktu beberapa bulan ke depan. Calon istri Dean itu memilih salah satu designer terkenal untuk merancang gaun pernikahannya. Meskipun pada akhirnya pilihan Reisa jatuh pada gaun yang cukup simple, namun di tangan designer itu kesal mewah dan elegan tidak tidak bisa hilang ditelan kesederhanaan model gaun yang dibuatnya. “Baik, Pak. Besok pagi akan saya follow up dan laporkan pada bapak.” Riska mengangguk untuk mengiyakan perintah dari bosnya. Riska lalu berpamitan dengan sopan ketika mereka sudah tiba di area parkir. Ekor matanya lalu melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Pukul enam lewat sepuluh menit. Dia lalu mengecek ponselnya, untuk melihat apakah suaminya memberi kabar apakah sudah boarding atau belum. Namun tidak ada pesan apapun dari suaminya. Hanya ada pesan terakhir yang mengatakan bahwa dia akan berangkat pukul enam sore. Maka dia memilih untuk bergegas daripada nanti harus terlambat karena terhalang macet. Biasanya jam pulang kerja seperti saat ini lalu lintas akan padat. Hari mulai gelap saat Riska akhirnya tiba di bandara. Mungkin sebentar lagi pesawat suaminya akan mendarat. Maka Riska memilih untuk menunggu di salah satu outlet yang menjual beraneka jenis kue dan juga minuman. Duduk di sana sembari mengirimkan pesan untuk sang suami. [Bang, kalo udah landing kabarin ya.] [Aku udah sampe bandara sekarang.] Masih centang satu, yang menandakan bahwa ponsel sang suami belum aktif. Riska mengedarkan pandangannya. Dari kejauhan, Riska dapat melihat sosok sang suami yang berjalan dengan menyeret tas koper miliknya. Riska bangkit dengan bersemangat untuk meghampiri Riksa. Dia mempercepat langkah kakinya untuk mendekat. Tidak bisa digambarkan rasa rindu yang mendera selama beberapa hari tak bertemu sang suami. Terlebih jika mengingat bahwa setelah ini mereka akan pindah ke rumah mereka sendiri. Bukan berarti Riska tidak betah tinggal di rumah mertuanya. Riska sangat betah dan nyaman tinggal bersama orang tua dari suaminya itu. Hanya saja, tinggal di rumah sendiri pasti akan terasa berbeda. Ketika pada akhirnya mereka sudah saling berhadapan, Riska tersenyum manis. Ingin memeluk, namun sungkan karena suaminya hanya berdiri kaku. Maka Riska berinisiatif untuk mengulurkan tangan, yang disambut oleh tangan besar Riksa. Maka seperti yang biasa dia lakukan sejak beberapa hari terakhir, Riska mencium tangan suaminya dengan tulus. “Apa kabar, Bang? Gimana kerjaannya?” Tanya Riska sambil menjajari langkah kaki Riksa yang mulai berjalan menjauh, menuju ke area parkir. “Baik. Lancar semua kok, aman.” “Sini, Bang.” Riska mengarahkan suaminya menuju tempat dimana dia memarkir mobilnya tadi. “Abang sudah makan? Kita mampir makan malam dulu?” Tanya Riska yang memang sudah merasa lapar. Banyaknya pekerjaan membuatnya tidak sempat makan siang tadi. Tangan besar Riksa membuka pintu mobil, “Iya, boleh. Jadi nanti sampe rumah bisa langsung istirahat. Mau makan dimana?” “Lalapan pinggir jalan yang dekat rumah Mamah aja, Bang. Biar searah jalan pulang.” saran Riska sambil memasang seat belt dengan kedua tangannya. Riksa mengangguk saja sembari mengarahkan mobilnya keluar dari area bandara. Dan ketika mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah perempatan lampu merah, Riksa mengeluarkan ponselnya. Membuka fitur chat untuk mengirimkan pesan singkat. [Ya, aku udah sampe Jakarta] [Kamu hati-hati di sana ya, istirahat yang cukup] [See you soon] Selesai mengetik pesannya, Riksa kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu kembali fokus pada jalan raya. Melihat suaminya memainkan ponsel, Riska jadi teringat bahwa tadi dia mengirim pesan dan tidak terkirim. Dia lalu merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Namun, sekian lama dia mencari, ponsel itu tidak ditemukan. Wajahnya memucat dan tangannya gemetar. Mengingat betapa pentingnya benda itu, karena banyak sekali data pekerjaan di dalamnya. “Bang…” suara Riska terdengar bergetar. Riksa menoleh, “Ya…? Kenapa?” “Ehm… Itu… Ponsel aku kok nggak ada ya?” ucap Riska lirih. “Loh? Terakhir kamu pakai kapan? Coba diingat dulu.” Riska lalu mengurai kembali, menelusuri ingatannya beberapa menit yang lalu. Akhirnya dia ingat terakhir menggunakan ponsel itu saat mengirimkan pesan pada sang suami tadi. “Tadi terakhir aku kirim pesan ke abang pas lagi nunggu. Tapi pesannya centang satu. Terus… Aku lupa aku taroh dimana, karena waktu itu aku lihat abang datang.” Riksa terlihat menghela napas gusar, tangannya bergerak mengambil ponsel miliknya sendiri. Lalu menekan nomor istrinya untuk melakukan panggilan telepon. “Ponselnya masih idup.” ujar Riksa saat mendengar nada sambung di ujung sana. Cukup lama tidak ada yang mengangkat telepon itu. Riksa lalu menyerahkan ponselnya pada Riska. “Coba kamu sambil telepon lagi. Abang cari jalan buat putar balik.” Riska mengangguk setuju. Lalu mencoba menelepon lagi ponselnya yang tertinggal entah dimana. Ada nada sambung yang terdengar, tanda ponsel itu masih menyala. Namun tidak ada orang yang menerima panggilan itu. Riska kembali berpikir apakah tadi ponselnya dalam mode silent atau tidak. “Nggak ada yang angkat teleponnya, Bang.” suara Riska terdengar lirih. Riksa yang sudah mengarahkan kemudi untuk kembali ke arah bandara hanya bisa mendengus kesal. Tubuhnya lelah, perutnya lapar dan kini harus mencari keberadaan ponsel istrinya yang entah dimana. “Balik ke tempat terakhir kamu pakai ponsel itu. Nanti cari disana. Semoga aja belum diambil orang.” Hati Riska menjadi ketar-ketir membayangkan jika ponselnya benar-benar raib. Bukan masalah ponselnya tetapi data-data yang ada di dalamnya. Untungnya mereka belum terlalu jauh dari bandara, sehingga tidak perlu waktu lama mereka sudah kembali tiba di sana. “Abang tunggu di sini aja. Biar aku yang turun.” ujar Riska sembari membuka pintu mobil. Dia paham jika suaminya itu masih lelah, jadi biarlah dia menunggu di mobil saja. Riksa mengangguk setuju. Dia lalu menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata sejenak. Sementara itu, Riska sedikit berlari menuju tempat yang dia ingat terakhir kali menggunakan ponselnya. Napasnya tersengal-sengal selain karena capek juga karena gugup. Takut jika ponsel itu benar-benar hilang. “Permisi, Kak. Ada nemu ponsel ketinggalan nggak ya?” tanya Riska sambil menyebutkan ciri-ciri ponsel miliknya. Berikut warna case ponselnya. “Ada, Kak. Maaf, boleh kakak coba telepon lagi?” ucap gadis penjaga kasir itu dengan sopan. Sekedar untuk membuktikan apakah benar orang ini adalah pemilik ponsel yang tadi dia temukan. Karena jujur saja, dia sendiri tidak bisa mengingat wajah customer yang sudah dia layani seharian ini. Riska pun menelepon ponselnya sendiri menggunakan ponsel milik sang suami yang masih ada di dalam genggamannya. Maka ketika panggilan itu masuk ke ponsel Riska, gadis penjaga kasir pun mengangguk dan menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya. Riska berulang kali mengucapkan rasa terima kasihnya pada gadis itu. Semula Riska ingin memberikan imbalan berupa uang, namun gadis itu menolak pemberian Riska. “Terima kasih ya, Kak.” ucap Riska lagi sebelum pergi dari sana. Dengan hati lega dia melangkahkan kaki menuju ke area parkir. Namun belum lagi dia sampai ke tempat dimana suaminya memarkir mobil, ponselnya berdering. “Loh?” Riska bingung karena ponselnya tidak berdering. Tapi ada dering lain yang bersumber dari dalam tas kecilnya. “Oh, ponsel abang.” Ujarnya tersenyum sembari memperhatikan layar yang menunjukkan ID caller. Mine “Mine?” Ingatan Riska kembali melayang pada waktu beberapa hari yang lalu, saat dia melihat catatan Mine’s Birthday di ponsel suaminya. Diapun mengangguk paham. Mungkin Mine memang nama teman atau rekan kerja sang suami. Riska kembali memasukkan ponsel sang suami ke dalam tasnya tanpa menerima panggilan itu. Dia masih merasa segan untuk menerima panggilan yang bukan pada ponselnya, meskipun itu adalah ponsel suaminya sendiri. “Alhamdulillah ketemu, Bang. Ponselnya. Di tempat terakhir kali aku kirim pesan buat abang tadi. Kayaknya aku lupa taroh ke dalam tas, jadi ketinggalan di sana.” Riska menerangkan pada Riksa yang tadi bertanya ketika istrinya itu membuka pintu mobil. Riksa mengangguk lega, “Syukurlah. Ya udah, kita pulang sekarang.” “Oh iya bang, tadi ada telepon masuk di ponsel abang. Dari Mine. Eh, gimana sih bilangnya, Bang? Mine atau main? Cara nyebutnya?” Riska menyerahkan ponsel suaminya. Riksa membeku di tempatnya. Mine adalah Aya. “Kamu terima teleponnya?” tanya Riksa gugup. Riska menggeleng pelan, “Enggak.” Dengan cepat, Riksa mengambil ponselnya dari tangan sang istri. Lalu membuka fitur chat. Membalas pesan dari Aya yang menanyakan apakah dirinya sudah mendarat atau belum. [Sudah, Ya. Aku udah landing tadi.] [Maaf nggak angkat telepon.] [Aku di jalan pulang.]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN