Mobil yang dikendarai oleh Riksa kemudian menepi di salah satu sisi jalan raya, tepat di samping sebuah warung tenda. Warung yang menjual berbagai macam seafood dan lalapan. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuanya. Keadaan disana sangat ramai, mengingat memang aneka sajian yang ditawarkan terkenal dengan rasanya yang enak.
Riksa mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari tempat yang masih kosong. Ada tempat kosong di pojok, maka dia mengajak istrinya duduk di sana.
"Itu masih kosong, Ris." Ujar Riksa sembari menunjuk meja yang dimaksud.
Riska mengangguk dan mengikuti langkah kaki sang suami. Lalu duduk dan mulai membaca daftar menu yang ada di atas meja. Seorang pelayan datang menghampiri untuk mencatat pesanan mereka.
"Gurame satu, cah tauge ikan asin satu." Riksa menyebutkan pesanannya tanpa melihat terlebih dahulu ke daftar menu. Dia memang sudah sering makan di tempat ini, sehingga ada menu-menu tertentu yang menjadi favoritnya.
Pesanan itu lalu dicatat dengan cekatan oleh pelayan yang kemudian menoleh ke arah Riska, "Kalau mbaknya pesan apa?"
“Ehm… Aku pesan cumi goreng tepung aja.”
“Baik, untuk minumnya?”
Riska menoleh ke arah suaminya dengan maksud untuk menanyakan Riksa ingin minum apa.
“Aku es jeruk ya, sama air mineral satu.” sahut Riksa.
Riska pun mengangguk dan berkata, “Aku juga es jeruk ya, jadi es jeruknya dua dan air mineralnya satu.”
Sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka berbincang. Ada hal yang berbeda yang Riska tangkap dari suaminya. Entah kenapa Riska merasa, sang suami saat ini tidak terlalu banyak diam seperti biasanya. Malah cenderung banyak berbicara. Dan tentu saja hal itu membuat Riska senang, merasa ini adalah suatu kemajuan dari hubungan mereka.
“Jadi gimana kerjaannya, Bang? Lancar?” tanya Riska yang dijawab dengan anggukan oleh suaminya.
“Lancar. Nanti dia bakal ke Jakarta buat ketemu aku lagi.” ujar Riksa. Dia tidak berbohong dengan mengatakan bahwa rekan kerjanya nanti akan ke Jakarta untuk menemuinya.
“Oh…” Riska mengangguk, bingung harus menjawab apa karena dia memang belum terlalu tahu banyak hal mengenai pekerjaan sang suami.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah beresin barang-barang buat pindahan?” tanya Riksa sambil menatap wajah istrinya. Riska hari ini terlihat lelah. Terbukti dengan hilangnya make up di wajahnya yang sedikit berminyak. Terlebih lagi, jepit rambut yang bertengger di rambut Riska sepertinya tidak bekerja dengan baik karena beberapa helai rambutnya justru terjatuh begitu saja di sisi wajahnya.
“Sudah, Bang. Udah beres. Aku cuma nyisain beberapa lembar baju rumah sama baju kerja di lemari.” Jawab Riska sambil merapikan helaian rambutnya.
“Besok kita pindah, gimana?” ajak Riksa.
Meskipun memang Riksa akui dia masih sedikit sulit menerima bahwa saat ini dirinya sudah menikah, namun yang Riksa pahami bahwa ketika sudah berumah tangga, maka tidak baik untuk terus tinggal bersama orang tuanya. Meskipun kedua orang tuanya baik dan tidak masalah dengan hal itu. Tapi Riksa sadar bahwa urusan rumah tangganya tidak boleh dicampuri oleh orang tuanya.
Riska hampir saja tersedak karena saat itu dia sedang minum. Bagaimana bisa sang suami dengan begitu entengnya mengajak pindah besok?
“Be… Besok, Bang?” tanya Riska.
Riksa mengangguk, “Iya, besok. Kenapa?” Tanya Riksa bingung.
Riska terlihat menggaruk keningnya, “Ehm… Itu… Besok kan aku kerja. Dan lagi besok aku sama beberapa teman aku udah janjian buat ikut bos cek venue.”
“Oh, ya udah. Nggak papa. Lusa gimana?” sahur Riksa terdengar santai.
“Besok aku coba izin dulu ya, Bang. Takutnya ada kerjaan yang harus aku handle lusa. Tapi aku usahain buat cuti deh, satu atau dua hari pas lusa. Kan harus beres-beres sama bersihin rumah baru.”
“Siapa bilang Abang nyuruh kamu beres-beres sama bersihin rumah?” tanya Riksa yang kemudian dibalas dengan tatapn bingung istrinya.
Riska mengerjapkan mata sejenak, “Terus… Nanti yang berisihin rumah, Abang?” tanya Riska dengan wajah polos.
Riksa sedikit memajukan bibirnya kesal, “Enak aja. Ya bukan lah. Nanti minta tolong Mba Yuni. Kan waktu itu Mamah udah bilang, minta tolong sama Mba Yuni buat beres-beres.”
Riska lalu mengangguk-angguk setuju, “Tapi pas pindahan aja kan, Bang? Aku nggak enak kalau Mamah sampe nyuruh Mba Yuni buat bantuin aku di rumah. Aku masih bisa kok kerjain semuanya.”
“Iya, itu terserah kamu aja.” Jawab Riksa sambil mendekatkan piringnya. Semua pesanan mereka sudah datang, saatnya untuk makan malam.
Sekali lagi, untuk malam ini Riska cukup takjub dengan apa yang sudah terjadi. Bisa dibilang ini adalah obrolan terlama mereka semenjak menjadi suami istri. Sepertinya suasana hati Riksa sedang baik, mungkin memang pekerjaannya di Surabaya lancar tidak menemui masalah apapun, pikir Riska. Sesekali Riska mencuri pandang ke arah suaminya yang makan dengan begitu lahapnya. Merekam di dalam otaknya, menyimpan dalam memori untuk suatu saat dia terapkan saat sudah menempati rumah barunya.
“Oke, aku akan ingat kalau Abang suka ikan gurame goreng kering sama cah tauge ikan asin.” batin Riska sambil berusaha menyembunyikan senyumnya.
Sementara itu Riksa masih makan dengan santainya, sambil sesekali mencomot cumi goreng tepung milik Riska. Dia mengangguk sambil mengunyah cumi, merasakan bahwa lauk yang dipilih istrinya itu juga enak. Sebelumnya dia jarang sekali memesan cumi karena takut cumi yang digunakan sudah tidak segar.
Di sekitar mereka, ada juga beberapa pasangan yang masih mengenakan pakaian kerja mereka. Selain pasangan, ada juga beberapa muda mudi dalam satu meja yang sepertinya rekan kerja. Tidak heran, banyak orang yang memilik untuk makan malam di luar selepas pulang bekerja, agar ketika tiba di rumah nantinya mereka sudah tidak harus pusing memikirkan urusan perut lagi. Mereka bisa pulang dalam keadaan kenyang, lalu ketika tiba di rumah bisa langsung mandi dan beristirahat.
Tidak perlu waktu lama semua hidangan di meja sudah habis. Riska menghabiskan minumannya sambil menunggu sang suami selesai mencuci tangan. Beberapa saat kemudian Riksa terlihat mengeluarkan dompetnya, lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Riska. Riska seketika mengerti dan menyambut uang itu, lalu berdiri dan membayar ke meja kasir. Saat menerima kembalian dalam hati dia bergumam sembari tersenyum tipis, “Ternyata emang bener ya, cewek sama cowok kalo lagi makan bisa kelihatan mereka itu masih pacaran atau suami istri. Kalau cowoknya yang bayar, kemungkinan besar mereka pacaran. Kalau ceweknya yang bayar, berarti mereka suami istri. Aku udah merasakan sendiri. Hihii…”
Setelah selesai membayar, mereka berdua melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumah. Tidak perlu waktu lama, karena memang jarak warung tenda tempat mereka makan tadi tidak terlalu jauh dari rumah. Mendengar suami mobil masuk ke pekarangan rumah, membuat Layla yang sedang menonton tayangan sinetron langsung bangkit dan berjalan ke depan.
“Belum tidur, Mah?” Sapa Riska yang melihat ibu mertuanya berdiri di teras menyambut kedatangan mereka.
Layla tersenyum dan menggeleng, “Kamu kayak nggak tahu Mamah deh ah. Mamah kan nggak bisa tidur kalau belum selesai nonton sinetron favorit Mamah.”
Riska terkikik geli, karena tiba-tiba dia ingat beberapa hari yang lalu, sang mertua meminta tolong pada dirinya untuk mencarikan salah satu episode yang terlewat karena waktu itu beliau harus menemani Papah makan malam bersama teman lamanya.
“Apa kabar, Mah?” Riksa menyalami Layla, lalu memeluknya sekilas.
“Baik. Ayo masuk, istirahat. Eh, kalian berdua udah pada makan belum? Mamah minta Mba Yuni siapin makan malam ya?”
Mereka bertiga beranjak masuk ke dalam rumah.
“Kita udah makan kok, Mah. Barusan.” Jawab Riska.
“Oh iya. Langsung istirahat aja. Pasti pada capek kan?”
Mereka berdua kompak mengangguk, membuat Layla tidak bisa menahan tawanya.
“Oh iya, Mah.” Riksa menghentikan langkahnya sejenak untuk berbicara.
“Lusa aku sama Riska pindah ke rumah baru.”
Layla melotot kaget, “Kok mendadak sih? Kamu aja baru pulang hari ini. Masa lusa udah mau pindah?” Layla menggeleng tidak setuju.
Riksa menghela napas kesal, “Daripada kita berdua pindah besok? Mamah mau? Hayo, pilih mana? Aku pindah besok, atau lusa?” Ujar Riksa sambil menaikkan alisnya.
Layla lalu terpejam sejenak, menggeram kesal.
“Terserah kamu deh. Nanti Mamah bilang Mba Yuni buat bantu kamu sama Riska.”