Ketukan high heels menggema di setiap ujung koridor, sang gadis pemilik manolid eyes perlahan membuka kenopi pintu ruangan yang bertuliskan 'R.Meeting' untuk kembali menjalani aktivitas yang dirasa berat menurutnya.
Seluruh atensi insan berpakaian rapi ditujukan pada Anyelir yang tersenyum kikuk. Jangan salahkan dia jika melewati janji hingga belasan menit, jadwal padat yang dibuat manusia menyebalkan bernama 'Batari' itu membuatnya kelimpungan.
Hanya bentuk kurva manis pertanda 'tidak enak dan maaf' yang bisa ia tunjukkan, seiring dengan ekspresi mengerti terpancar dari pria pemilik red-brown hair yang tengah terduduk manis di ujung sebuah meja berbentuk huruf 'U'.
Deretan kursi hitam yang terisi penuh menemani tautan langkah kaki Anyelir, kertas-kertas putih yang berserakan di atas benda berbahan kaca juga turut andil mengikuti alur pandangannya, hingga sebuah lambaian tangan menggiring tubuh kurus itu untuk duduk berada tepat di samping sang sutradara.
Panca berdiri, meraih sebuah pengeras suara yang berhasil membuat seluruh titik fokus beralih kepadanya. "Selamat siang!" Sapanya yang sontak mendapat jawaban serempak.
"Saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan semua yang telah berkenan menghadiri acara reading script bersama." Senyum lebarnya mengembang tanpa berniat untuk pudar, kemudian ia mengambil sebuah buku kecil berbahan dasar kulit dan kembali berucap, "baik, pemeran utama kita kali ini adalah aktris cantik yang baru terjun dalam dunia perfilman bergenre fantasi dan action." Sorot matanya kini tertuju pada Anyelir. "Tepuk tangan untuk Berta Bee!"
Riuh tepukan itu menggema bersamaan dengan Anyelir yang berdiri menganggukan kepala lalu tersenyum simpul.
"Di mana ada pemeran wanita, di situ ada pemeran pria. Seorang aktor tampan yang kerap kita sebut king of action ini akan menjadi pemeran pria utama."
Anyelir yang masih berdiri hanya bisa memasang ekspresi datar, hal yang sering ia lakukan, terlihat sombong di depan semua orang padahal memang ada maksud lain dari niatnya tersebut.
"Tepuk tangan untuk Diego Zoo!"
Lelaki bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 180 cm itu mulai berdiri. Iris hitam legam, alis yang tegas. Namun sayang, rambut ombre cokelat pirangnya ia ikat bak kartun animasi botak yang sering Anyelir tonton, sehingga jangan salahkan dirinya bila kekehan pelan sedikit memberi tanda bahwa Diego sangatlah aneh.
Tunggu, Diego Zoo? Pawang monyet ini pasti!
Benar 'kan? Dari nama panggungnya saja sudah membuat Anyelir tersenyum geli. Namun perlu di garis bawahi, gadis itu sedikit kagum mendengar prestasi yang dibacakan oleh sutradara Panca, mengingat penampilan dan gaya Diego sangatlah sederhana, ia juga terkesan ramah meski baru pertama kali bertemu.
Sesi perkenalan berjalan dengan baik, sesi membaca naskah bersama, di mulai.
"Kisah ini bermula ketika ketidakadilan takdir yang menimpa gadis bernama Shawnette. Kasus pembunuhan sang ayah dan skandal perhutangan membuat hidupnya berkali – kali dihantui berbagai jenis tindak kejahatan. Hingga sebuah kereta misterius membawanya Kembali ke masa lalu dan bertemu dengan seorang pria bernama Dierja. Di sinilah, pembalasan dendam hingga petualangan membunuh generasi di mulai!" sutradara Panca membuka lembar berikutnya. "Tunggu, apakah ada pertanyaan?"
Anyelir mengacungkan tangan. "Kenapa pembalasan dendamnya harus membunuh generasi?"
"Kenapa?" Sutradara Panca justru balik bertanya.
"Karena kesempatan kecil dibuat untuk mengubah hidup seseorang. Jika Shawnette berada di ujung ngarai putus asa, maka tindakan untuk mengikuti semua kesempatan adalah hal yang benar," jawab Diego mantap, membuat semua orang meneriakinya kagum.
"Jadi maksudnya ... Kesempatan untuk membunuh generasi adalah tindakan yang tepat agar kehidupan di masa depan Shawnette tidak putus asa? Begitu?" Lagi. Anyelir berusaha mendapat makna dari balik cerita yang berkali-kali ia baca, belum menerima jawaban puas hingga kalimat tanya kembali mengalun darinya.
"Kamu tahu kenapa saat mendapat masalah manusia bukan hanya harus menghadapinya? Tapi cobalah berlari, kamu tahu apa alasannya, Anyelir?"
Ayolah pertanyaan itu terlalu berat dalam kapasitas otak Anyelir yang hanya berisi nama-nama kaktus. Telak, gadis itu hanya bisa menggeleng.
"Karena terkadang, hal buruk lebih baik dicegah. Daripada melawan Ketika sudah berkembang lebih besar, itu akan membuatmu kalah!"
"Dengan berlari masalah akan berusaha dicegah sebelum semuanya bertambah parah?"
"Bukan berusaha, tapi pelarian adalah tentang mengulur waktu untuk mencari solusi saat hidupmu mulai tak berarti,"
Anyelir tertegun dengan jawaban dari sutradara Panca. Ia mengangguk paham, itu artinya perlu Latihan khusus untuk mendalami peran sebagai seorang pembunuh kejam yang berlandaskan balas dendam. Hm menarik.
"Baik kita lanjutkan." Perintah sutradara Panca.
Reading naskah berlangsung dengan penuh ketegangan, seolah terbawa suasana semuanya begitu menghayati. Bahkan, Anyelir yang notabene-nya tidak memahami naskah pun kini mulai mendalami peran yang harus ia kuasai, sebagai seorang Shawnette—si gadis miskin yang hidupnya di hantui para penjahat dan debt collector akibat ulah sang ayah, membuatnya muak hingga menyisakkan dendam, kembali ke masa lalu untuk membunuh generasi para k*****t sialan itu.
Kisah menarik untuk Anyelir yang cantik, begitu kata sutradara Panca.
***
Irama jari mengetuk sebuah meja bulat berwarna cokelat tua, seorang lelaki beriris mata hazel tengah terduduk di temani secangkir espresso. Menanti manusia sama saja dengan menghela napas tiada tara, janji yang ia buat pukul lima sore ternyata sudah melebihi batas hingga sepuluh menit.
Di sisi lain, seorang gadis memesan secangkir es cokelat, kemudian sang pelayan yang tengah mengenakan pakaian serba putih itu bergegas pergi dan kembali dengan menenteng pesanan Anyelir. Tak perlu melakukan transaksi, adalah satu dari sekian kelebihan di agensi ini. Semua makanan gratis, baik itu makan siang atau hanya sekedar cemilan.
Anyelir berjalan menyusuri meja-meja bulat dengan dua kursi putih yang berhadapan, lantai marmer berwarna hitam dengan suasana monokrom. Tak lupa, lampu yang memancarkan cahaya jingga berderet dari ujung pintu masuk hingga sudut paling kiri.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti Ketika seseorang mencekal lengannya.
"Aw! Lepasin! Siapa, sih?" Kini gadis itu menoleh, seorang lelaki tersenyum ke arahnya.
"Kamu telat lima belas menit."
"Lima belas menit apa?!" Nadanya mulai meninggi, masa bodo dengan puluhan pasang mata yang terfokus kepadanya, yang terpenting adalah rasa takut dan cemas kembali menjalar di tubuhnya.
"Ayo ikut saya." Lelaki itu menyeretnya keluar dari cafetaria.
"Kamu mau culik saya?"
"Kamu ada janji sama saya. Saya Janu, kamu lupa?"
Bukan lupa, cuman tidak ingat, bonusnya adalah tidak kenal, batin Anyelir.
Anyelir terdiam sejenak, berusaha memutar memori tentang nama yang disebutkan barusan. Janu? Siapa Janu?
"Ah!" Ia berhasil mengingat, kini kedua sudut bibir itu tersungging manis hingga perlahan rasa cemas itu memudar.
"Kamu ingat?"
Anggukan mantap menggiring langkah Janu untuk terus menyeret Anyelir hingga menyusuri koridor ramai oleh lalu lalang karyawan. Lagi, ia kembali menjadi pusat perhatian yang tidak ia senangi. Bukan karena dikerumuni penggemar, tapi karena cekalan tangan Janu mengisyaratkan bahwa Anyelir nampak terlibat dalam skandal yang akan berbuah gosip murahan nantinya.
Langkah setengah berlari membawanya ke dalam lift, tombol angka tiga ditekan, rumahnya para sutradara siap menjadi tujuan.
"Bisa lepasin tangan saya nggak sih? Sakit tau!" Protes Anyelir untuk kesekian kali.
"Nggak! Nanti kamu kabur,"
"Kamu pikir saya maling? Ah ...-dasar aneh." Sembari mendelik tajam, Anyelir memajukkan sedikit bibirnya kesal.
"Nggak menutup kemungkinan juga, 'kan? Semua manusia punya rahasia,"
"Maksud kamu ... Kamu mencurigai saya?!"
Alih - alih mendapat penjelasan atas kata-kata pedas yang menohok hatinya, pintu berbahan dasar besi dihadapannya terbuka membuat Janu mengalihkan pembicaraan. "Ke ruangan saya." Ia kembali menyeret Anyelir, benar-benar seperti maling.
Satu dua langkah sebelum tiba di tempat tujuan, Anyelir menghentakkan cengkraman itu sekuat tenaga hingga akhirnya apa yang dia harapkan tercapai.
"Saya penuhi janji! Tapi, apa perlu pegang tangan saya dan berjalan kayak dikejar setan? 'kan saya masih punya Tuhan, setan takut sama Tuhan!"
"Saya juga," celetuk sutradara Janu Jiwa seraya melenggang pergi.
Lelaki itu menghentikan langkah saat tiba di depan pintu dengan papan informasi bertuliskan 'R. Sutradara Janu'. Hampir seluruh sutradara yang bernaung di A3 memiliki ruangan masing-masing, fasilitas yang diberikan juga sama. Seperti yang terlihat di ruangan Sutradara Panca, hanya berbeda desain dan d******i warna.
Tubuh mungil itu sepenuhnya masuk ke dalam ruangan serba navy, enggan untuk sekedar duduk santai ia hanya mengikuti langkah Janu yang berhenti di sebuah rak buku.
Dengan tersenyum miring, Janu berbalik. "Ayo masuk!"
"Ma—masuk? Masuk ke mana? Saya ud—" ucapannya menggantung sebab mulutnya setengah terbuka kala rak buku yang ia dorong berbalik menghasilkan sebuah ruangan rahasia.
"Ruangan apa itu, ha?! Jangan-jangan kamu pembunuh berantai yang selalu punya ruangan rahasia!" Reaksinya terkesan terlalu dramatis, itu karena Anyelir baru saja menonton film bergenre thriller kemarin, membuatnya selalu merasa was-was dan ... Suudzon.
"Saya orang baik, nggak kayak kamu,"
Dasar mulut cabe!
"Kalo kamu bukan orang munafik, masuk!" Janu kembali mengeluarkan suara saat Anyelir hanya terdiam di ambang pintu masuk ruangan rahasianya.
"Bisa nggak sih tutur katanyanagak diperhalus dikit? Ck!"
Tak ada pilihan lain, akhirnya Anyelir memberanikan diri untuk masuk ke dalam sana. Dan betapa terkejutnya ia mendapati ruangan berwana biru langit dengan hiasan awan-awan bak kelas anak TK. Terdapat sebuah benda berbentuk persegi lima dengan tinggi sekitar 50cm, mirip seperti rumah beratap cokelat terang dengan ukiran yang bertuliskan 'Sijaz' menghiasi bagian dindingnya.
Anyelir tergelak singkat. "Kamu ... Belum pernah sekolah TK, ya?"
"Masih mending, daripada kamu belum pernah sekolah etika," ketus Janu.
Kembali kalah telak, kembali merasa kesal, itu lah perasaan yang sejak tadi selalu memudarkan senyumnya. Satu fakta yang baru Anyelir sadari. Bahwa setampan apapun Janu, tidak akan pernah mengubah predikat mutiara tersembunyi di dalam lumpur. Janu tetaplah Janu, mutiara yang tertimbun gunung Merapi sebab mulut pedasnya merenggut semua ketampanan yang ia miliki.
"Oke! Sekarang katakan saja apa mau kamu daripada saya bisa gila terus-terusan berada di sini!"
Janu berjongkok mendekati rumah-rumahan itu, pun Anyelir melakukan hal serupa. Lagi dan lagi ia dikejutkan dengan penampakan seekor baby munckin yang terkulai lemas.
Janu mengelus pelan kesayangannya seraya berucap,"Kucing saya nggak mau makan, dia juga ngambek, saya tanya nggak mau jawab."
"Ya terus urusannya sama saya apa?!"
"Sijaz 'kan cewek, kamu juga,"
"Sijaz siapa, sih?"
"Kamu buta?" Jari telunjuk Janu mengarah pada ukiran yang sempat Anyelir lihat. "Sijaz, Siti Jazmine. Kucing saya,"
"Hah?!" Anyelir syok parah.
"Pasti kamu tahu perasaannya, kalian 'kan berjenis kelamin serupa,"
"Saya? Disamakan dengan kucing?!" Betapa syoknya Anyelir mendapati adegan absurd ini. Membuang waktu, menguras emosi hingga menjadi bahan gosip hanya demi bertanya perasaan seekor kucing?
Dia manusia bukan, sih?
"Apa bedanya? Sama-sama makhluk hidup."
Janu menarik kucing mungil itu ke dalam pangkuannya, mengelus pelan dengan penuh perhatian. Perlakuannya berbanding terbalik kepada Anyelir, ia sangat manusiawi terhadap hewan, tetapi sedikit berbeda dengan makluk berjenis serupa dengannya.
Anyelir hanya bisa menghela napas kasar, menyugar hingga mencengkram rambutnya frustasi. Terlalu di luar nalar bisa bertemu dengan manusia paling aneh sepanjang masa yang pernah Anyelir temui. Lelaki tempramental bermulut cabai seperti Janu memiliki peliharan seekor kucing yang sangat lugu dan lucu. Bahkan nama yang tersemat saja terbilang unik, Sijaz? Siti Jazmine. Bagaimana bisa?
"Apa Anda tahu kalo kucing tidak bisa berbicara, berpikir, dan bertindak seperti manusia, BAPAK JANU YANG TERHORMAT?!" Muak sudah Anyelir. Tapi itu belum seberapa, ketika ia melihat reaksi Janu atas ucapannya barusan. Maka siapapun dapat dipastikan darah tinggi menyaksikan sikap seenaknya Janu.
"Sijaz ...." Janu menutup kedua telinga kucing mungil itu dengan jari-jarinya. "Tutup telingamu, ya? Kamu nggak pantas denger umpatannya, karena kamu makhluk yang baik ... Uuuu lucunya." Tak lupa ia mengelus-elus setiap helai bulu lembut milik Sijaz.
"What?!" Anyelir mengepalkan kedua tangannya, nampak buku-buku dari jari mungil itu memutih menghentikan setiap aliran darah karena amarah. "Stop! Stop!" Napasnya terengah-engah. "Bisa saya pergi dari tempat ini sekarang juga? d**a saya sesak denger ocehan aneh Anda!"
"Bisa." Tiba-tiba saja Janu memindahkan tubuh mungil Sijaz ke dalam pelukan Anyelir. "Janji itu harus ditepati," ucapnya santai dengan senyum singkat yang hampir membuat Anyelir ingin merobek-robek mulut itu, terlampau sesuka hati.
"APA LAGI?"
"Sijaz kayaknya sakit. Saya nggak mungkin bawa dia ke dokter hewan, soalnya saya sudah diperingatkan untuk tidak membawa hewan peliharaan ke gedung ini. Kalo pihak keamanan di bawah lihat saya bawa Sijaz ... Dia bisa dieksekusi!" Ceritanya menarik, namun terlalu mendramatisir.
"Jadi kamu ... orang yang baru kenal sama saya, sudah berani menyuruh saya membawa peliharaan kamu ke dokter hewan?!"
"Saya sudah kenal kamu sejak lama, dan ... Saya nggak nyuruh kamu, tapi minta tolong. Beda, 'kan?"
Lagi. Anyelir menghela napas panjang. Berdebat dengan Janu ibaratkan berdiri di bawah rinai hujan, meski tubuhmu berlari hanya untuk menghindar, tetap saja akan membuatmu basah.
"Terserah!" Hingga akhirnya Anyelir harus mengalah.
"Kamu bukan orang munafik, 'kan?" Manik antara keduanya saling beradu, satu sisi amarah nampak kentara dari sana, sisi lain bersikap santai seolah yang dilakukan adalah hal benar.
"Karena orang munafik selalu ingkar janji."
"Setidaknya ... Orang munafik tahu caranya berterimakasih!" Anyelir beranjak. Tetap dengan janji yang ia tepati, membawa Sijaz di dalam dekapannya.
Dasar sinting!