Bab 4 - Kawan Bukan Lawan

2029 Kata
Sejak laju mobil itu bermula, jemari Anyelir tiada henti memainkan benda pipih yang tengah di genggamnya. Sesekali, sebelah alis tipis terangkat dengan kerutan di bagian tengahnya, terkadang sepasang bibir pink alami itu dimajukan beberapa milimeter. Merasa aneh, dan tidak masuk akal, begitulah pendapat yang terlintas di otaknya. "Lo kenapa, sih?" tanya Batari, si gadis yang tengah menggenggam stir mobil itu merasa jengah dengan tingkah Anyelir. "Ini." Anyelir mengacungkan sedikit ponselnya. "Masa beritanya kayak begini!" "Berita apa?" "Itu loh, gara-gara kemarin kita ngurusin Sijaz, terus ketemu paparazi." Anyelir menodongkan ponselnya agar Batari bisa melihat apa yang barusan ia baca. "Masa beritanya, Berta Bee Kesepian, Memelihara Kucing Menjadi Tujuan." Anyelir sedikit berteriak tatkala membaca judul berita di internet. Batari terkekeh melihat kekesalan sahabatnya ini. "Ya, lagian kenapa emang kalo judulnya gitu?" "Tar! Lo mikir aja deh, ya, masa memelihara kucing jadi tujuan? Menjadi jomblo adalah pilihan, daripada merebut pacar orang berdalih kesepian!" gerutu Anyelir. Hal itu membuat Batari tertegun dengan sikap Anyelir yang akhirnya terlihat bijak, sedikit. Pada dasarnya Batari juga kurang menyukai berita, apalagi berupa gosip artis-artis ibukota. Terlalu hiperbolis tanpa menimbang antara fakta dan rasionalitas, memang tidak semuanya begitu. Kendati satu titik putih saja, meski terlihat nyata bila disekitarnya tertimbun ribuan titik hitam tak mungkin mudah terlihat bukan? Terkadang ia juga merasa kasihan saat artis yang tertuduh menjadi bahan bualan tak mendasar, muak. "Ck! Lagian-" Batari memutar bola mata seraya berdecak kesal, ia tak habis pikir dengan tingkah laku dan ucapan Anyelir yang selalu bermula tanpa niat, hingga berakhir dengan penyesalan. "Lo ngapain ngurusin kucing orang, ha?" "Y-ya 'kan, terpaksa, Tar." "Ditolak secara halus, bisa, 'kan?" "Enggak, Tar. Masalahnya itu janji," gadis itu memelankan suaranya seperti orang yang terdengar pasrah, " ... biar nggak disebut orang munafik." "Lagian kucingnya kasian, Tar." "Yaudah, terima nasib!" jurus paling mutakhir Batari lontarkan, ia selalu mengingatkan berkali-kali pada Anyelir, apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai. Sebab gadis itu paham betul dengan pola pikir Anyelir yang menganggap segalanya mudah, tetapi pada akhirnya merengek dan kesal sendiri, hingga Batari-lah yang menjadi korban pelampiasan. Mobil berhenti. Bukan tak sengaja, lebih tepatnya mereka telah tiba di tempat tujuan. Batari mematikan mesin, menarik kunci yang tertanam, lalu menoleh pada sahabatnya yang tengah melirik kiri-kanan gedung putih berlantai dua ini. "Ayo!" tukas Batari. Dengan sigap Anyelir menggelung rambutnya asal, memakai kacamata hitam, topi senada, serta masker surgery berwarna biru muda. Apakah Anyelir terlihat berlebihan? Oh tentu tidak! Gedung ini bersifat umum, siapapun pasti datang untuk berlatih taekwondo atau sekedar memberi semangat. Jika orang-orang yang ada di dalam sana melihat Anyelir, sudah dipastikan seluruh atensi terfokus padanya. Meski hanya sekedar menyapa, berfoto bersama, atau basa-basi sedikit membosankan. Tetapi itu akan membuang waktu dan energi Anyelir, latihan baku hantam membutuhkan banyak tenaga bukan? Kedua tangannya bersembunyi di balik Zipper hitam polos. Sembari berjalan, ia menundukkan kepala, menyusuri koridor dengan deretan pintu berwarna cokelat muda. Di balik benda persegi itu, seorang lelaki berpakaian khusus seragam taekwondo mengalihkan perhatian Anyelir. Gadis itu sedikit menoleh ke arah deretan kaca yang menampilkan keadaan di dalam ruangan. Lantai beralaskan matras dengan sebuah sand-sack yang menggantung di tengah ruangan tengah dibabi buta oleh lelaki tinggi berpostur atletis. Rambut sedikit ikal yang dibiarkan menjuntai, turut bergelombang seiring dengan gerakan-gerakan tangkas yang nampak profesional. Ganteng banget! batinnya bersorak. Lantas tersadar dengan deretan tangga di hadapannya. Anyelir membuntuti Batari untuk menuju lantai dua, lantai di mana terdapat ruangan khusus yang melarang siapapun masuk kecuali pemain dan crew film 'Back and Kill It'. Semua di atur sedemikian rupa agar tujuan sesuai dengan rencana. Mulai dari penjagaan yang ketat, pelatih profesional, hingga fasilitas yang terbilang lebih istimewa. Anyelir tersenyum kikuk usai membuka pintu, begitupun dengan Batari, meski gadis itu kerepotan membawa kebutuhan sahabatnya. Dalam ruangan yang lagi-lagi beralaskan matras merah-biru, orang-orang sudah berkumpul berpakaian serba putih, pun dengan Diego Zoo yang melemparkan kurva manis ke arah Anyelir. Seorang lelaki berkumis tebal mirip sebuah gunung mendekat ke arah dua insan yang baru tiba. Anyelir ingat. Ia bahkan menjulukinya sebagai 'seringaian kuntilanak' karena senyumnya yang terbilang cukup menyeramkan, namanya Wiro Buntala—orang yang dikenalkan Pak Mahdi beberapa hari lalu. "Ganti pakaiannya dengan dobok," "Hm?" Anyelir menautkan alis. "Dorokdok?" Lantas Batari tergelak cukup kencang mendengar kalimat yang terlontar dari Anyelir. "Lo tuli, ya? Dobok, Lir. D-o-b-o-k. Dobok! Dorokdok? ... Hahahaha! Itu kerupuk kulit khas Sunda!" Masih dengan tawa di tengah-tengah pelafalan yang Batari pertegas, sesekali ia juga memukul-mukul lengan Anyelir. Pun dengan Wiro Buntala, lelaki berusia sekitar empat puluh itu menahan gelaknya kala mendapati ekspresi Anyelir layaknya orang bingung. "I—iya maksudnya itu." Lengan mungilnya menggaruk sedikit tengkuk sebab merasa malu sekaligus canggung. "Memangnya itu apa, Pak?" "Kamu lihat pakaian saya? Ini yang dinamakan dobok," Anyelir mengangguk-angguk paham. "DAN—" teriakan Wiro tiba-tiba membuat tubuh Anyelir tersentak sembari menutup mata. "AH KAGET!" Suaranya sedikit mengecil, mungkin hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "Kirain udah beres ngomongnya," "Jangan panggil saya 'Pak', saya bukan guru, saya pelatih. Jadi kamu panggil saya 'sabeum' ... 'sabeum-nim'. Paham?" "I—iya sa-sabeum-nim." "PAHAM?" lagi. Teriakan yang kembali membuat Anyelir memejamkan mata. "Ayam! I—iya iya ... Paham-paham!" Usai membuat jantung Anyelir berdetak layaknya pelari maraton, Wiro beranjak untuk membiarkan aktris itu mengganti pakaiannya. Anyelir menoleh ke arah Batari, didapatinya ekspresi mengejek dengan gelak tawa tersirat kepuasan di dalamnya. "APA?" Ketus Anyelir. "Lo kayak orang b**o! Hahahaha!" Selesai berganti pakaian, latihan taekwondo di awali dengan warming out. Bayangkan bagaimana pemanasan latihan pertama? Oh tentu saja Anyelir terbiasa, menjadi seorang aktris selalu dituntut untuk berolahraga, dan itu hukumnya wajib. Mulai dari melompat, joging, berlari, bahkan beberapa menginginkan push up, sit up beserta antek-anteknya. Hanya saja bagian paling menyebalkan bagi Anyelir adalah peregangan, di mana beberapa area tidak boleh sedikitpun terlewat seperti punggung, leher, d**a, paha, betis, dan lainnya. Memang meminimalisir cedera, namun seluruh tubuh Anyelir rasanya seperti dipukul batu berkali-kali, pegal dan sakit. "Baik, semuanya mari berkumpul!" teriakkan Wiro Buntala menggema. Semua berkumpul, berbaris rapi dengan Anyelir dan Diego berada di barisan paling depan. Sang kumis tebal itu mengeluarkan secarik kertas, membacanya sekejap, lalu kembali terfokus pada para peserta latihan. "Kita akan membagi dua kubu, sesuai yang tertulis dalam script." Ia kembali menutup lembaran kertas dan memberikannya pada seorang lelaki berseragam serupa yang berdiri tepat di arah belakang. "Kubu yang pertama, adalah tim yang nanti membantu Berta Bee dan Diego." Sang pelatih taekwondo itu memelintir kumis tebalnya, cukup membuat Anyelir bergidik geli. "Kubu kedua adalah musuh, sekaligus orang jahat yang mengancam nyawa Diego." Satu dua langkah mendekat ke arah Anyelir. "Saya sudah membagi tim itu kemarin, jadi silahkan berpisah!" Wiro Buntala merentangkan tangan kanannya. "Sebelah kanan saya, adalah kubu Berta Bee." Kemudian tangan kirinya menunjuk sebelah dimensi yang masih kosong. "Dan di kiri sini, adalah musuh jahat. Mulai berpencar!" Semua berpencar, entah mengapa kini Anyelir merasa gugup setengah mati. Berkali-kali ia mengatupkan mulutnya, bahkan menggaruk tengkuk tak gatal. Jujur saja Anyelir memang pandai berolahraga, lebih tepatnya yoga. Tapi yoga tidak untuk melukai orang, apalagi sampai kesakitan. "Kalian harus membedakan, mana kawan dan mana lawan." "Kawan? Lawan?" Anyelir kembali bingung. "Ya, istilahnya itu ... bertemu kawan, kamu tersenyum. Bertemu lawan, kepalkan tangan." Sang pelatih berkumis tebal itu menghampiri tim Anyelir, tim yang jumlahnya lebih sedikit guna mempertahankan hidup Diego yang berperan sebagai Dierja—seorang pencuri kelas kakap, selalu dikejar-kejar musuh. Sungguh kegugupan kian menggerogoti batin Anyelir, membuat gigitan mungil tercipta di bawah bibirnya. "Berta Bee, banyak gerakan yang harus kamu kuasai.Terutama beberapa gerakan chagi." "Chagi?" "Ya, tendangan. Kamu harus belajar menendang, lebih bagus jika kamu bisa melompat, memutar tubuh hingga tiga ratus enam puluh derajat." Anyelir membuka rahangnya lebar-lebar. "Wah, bercanda ...." "Saya serius, ayo mulai!" "Ma—maksudnya saya harus lompat-lompat kayak monyet, terus tendang-tendang kayak kuda, gitu?" Sang pelatih hanya terkekeh seraya berdeham. "Kamu harus melakukan tendangan pada musuh-musuh, paham?" Anyelir dan beberapa tim lain berlatih cukup keras, tidak semua gerakan harus Anyelir kuasai. Beruntungnya sang pelatih tahu betul adegan yang diterima Anyelir, sehingga ia hanya menghapal sekitar dua puluh gerakan. Terbilang banyak, namun, tidak sesulit yang Anyelir kira. Setelah menghapal setidaknya enam sampai tujuh gerakan, para pelatih memerintahkan semua peserta untuk mulai mencoba bertarung. Pertarungan kecil pun berlangsung, Diego dengan keahliannya berhasil melumpuhkan beberapa lawan. Sedangkan Anyelir, berkali-kali ia selalu salah memukul, yang seharusnya menjadi kawan malah menjadi lawan. Dan jurus mutakhir Anyelir adalah tendangan, kali ini ia akan mencoba pada seorang lelaki bersurai emas yang ia yakini adalah musuh. Sorot mata tajam dengan hati yang mantap lalu mulai menarik napas, mengambil ancang-ancang ... Bug! Tendangan Anyelir mengenai wajah lelaki itu, cukup fantastis untuk seorang pemula sepertinya. Maklum, berlatih yoga dan workout membuat kakinya lentur, dengan mudah melakukan gerakan-gerakan seperti seorang profesional. Anyelir bertepuk tangan. "Yes! Berhasil!" Ia berteriak seraya mengacung-acungkan tangannya. Namun, kebahagian akan rasa bangga itu berkahir hanya dalam sekali tepukan. "Berhenti." Anyelir menoleh, dengan dahi yang berkerut ia berucap, "Saebum! Saya keren, 'kan?" Wiro Buntala memerkan deretan gigi-gigi rapinya, ia tersenyum sedikit lebar. Ada dua sisi yang dapat mengartikan dari kurva yang tercetus, antara tulus tersenyum, atau tersirat kekesalan. Memang tak ada bedanya. "Keren." Anyelir tertawa puas. "Pasti dong!" laga si surai cokelat sombong. "Keren kalo kamu mukul orang yang tepat!" nada pelatih Wiro mengalun keras, intonasinya berubah menjadi tinggi wajahnya kontras akan kekesalan, akhirnya nyali Anyelir seketika menciut. "Sa-salah, ya?" Pak Wiro menarik napas panjang. "Jelas salah! Masa kamu pukul semua kawan kamu, HAH?" "KA-KAWAN?" "Berta Bee," panggil Diego dari arah belakang, ketika Anyelir menoleh ia kembali membuka rahangnya lebar-lebar, agar tetap anggun ia menutupinya dengan telapak tangan. "Ke-kenapa kalian kesakitan gi-gitu?" tanya Anyelir khawatir. Diego menghela napas berat, ia mengerjap singkat kemudian menunjuk seorang lelaki berkulit putih, sepasang mata sipit yang ditutupi lengan nampak memar cukup ngilu. "Dia tim kita, yang kamu tusuk matanya juga kamu layangkan bogeman mentah di area serupa," Kemudian ia berjalan ke arah lelaki yang memegangi bokongnya. "Dia tim kita juga, yang kamu gelitiki terus kamu tendang bokongnya." Langkah Diego kembali berayun mendekati lelaki yang memegangi telinganya. "Dia tim kita, yang kamu jewer telinganya tiada ampun." Anyelir mengerjap, seraya memutar-mutar kecil sebelah kaki kirinya. Gadis itu tak percaya jika hampir semua lawan yang ia lumpuhkan ternyata adalah kawan. Rasa cemas kembali berselimut, tersadar akan kekurangan yang selalu menjebaknya dalam belenggu penyesalan. Batari menyaksikan perubahan ekspresi Anyelir, ia menggigiti kuku jarinya khawatir. "Dan terakhir." Diego berjelan ke arah lelaki yang memegangi pipi lebamnya. "Yang kamu tendang hingga terpental mengenai lantai. Kamu keren, bisa melakukan tendangan melompat meski baru beberapa kali berlatih. Tapi ... yang kamu lakukan itu keliru," lanjut Diego memperingati Anyelir. Anyelir melotot terkejut. "Astaga! apa itu sakit?" "Kamu masih bertanya?" Sang pelatih menyahuti keterkejutan gadis di hadapannya. "Kenapa selalu melakukan kesalahan seperti itu?" Wiro sedikit membentak Anyelir. Nadanya meninggi seiring dengan kepala Anyelir merunduk, memperhatikan jari-jari kaki yang nampak gemetar menahan rasa sesal. "Ba—bajunya sama," "Walau bajunya sama, tetapi wajah mereka berbeda! Nggak ada yang sama!" Di mataku semua sama, semua wajah sama, sulit dibedakan dan sulit dikenali! Masih dengan posisi tak berubah, Anyelir mengedip-ngedipkan mata. Kedua indera penglihatannya memanas, berusaha ia tahan agar tidak luruh seketika. "Maaf." Semua insan menghela napas berat. Hingga keputusan untuk beristirahat sejenak adalah pilihan yang tepat. Anyelir enggan untuk sekedar beranjak, seluruh tubuhnya lemas hingga ia hanya bisa berjongkok. Menyadari hal itu, Batari mendekat, mengikis jarak hingga tersisa dua ayunan kaki. "Sini." Gadis bersurai hitam itu membuka kedua lengannya selebar mungkin, ia sangat tahu apa yang diinginkan Anyelir saat ini, dukungan. Lantas Anyelir berdiri dan mengaburkan segala keresahan di dalam dekapan Batari. Perasaannya sedikit lega, Batari yang selalu ada adalah anugerah yang paling ia syukuri. Selalu menjadi penenang paling setia, meski tingkah super cerewet acap kali membuat Anyelir menggelengkan kepala. Tetap saja, gadis itu menyayanginya sepenuh hati. "Nggak apa-apa, nanti kita cari cara, ya, buat bedain orangnya?" bisik Batari sedikit membujuk. "Kenapa mereka harus pake seragam yang sama, sih? Kenapa semua orang nggak ngerti keadaan gue, Tar?" lirih Anyelir. Batari mengangguk-angguk paham. Terkadang memupuk terlalu dalam rahasia membuat orang disekitar kurang waspada, mereka tidak akan mengerti apalagi memahami. Kelainan Anyelir bukanlah suatu konsumsi publik, tetapi terus-menerus bersembunyi dibalik kata 'tidak apa-apa' membuat orang selalu memiliki perspektif buruk pada gadis polos ini. Tetap saja, Anyelir bagaikan pintu bergembok baja dengan ribuan pengaman berlapis besi, terlalu tertutup. Bahkan terhadap sahabatnya sendiri. Lo pasti bisa melewati ini Anyelir, percayalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN