Kisah 1 - Rian
Suara desahan dua insan manusia yang tengah menuntaskan hasrat biologis seakan mampu menembus dinding kamar. Di sudut ruangan lain masih di tempat yang sama cumbuan liar sangat jelas dipertontonkan oleh seorang perempuan dan laki-laki. Cumbuan liar tak terputus itu seakan begitu menuntut tak ingin segera diakhiri. Tampak sang pria begitu frustrasi dan menyalurkan dengan liar dan kasarnya seraya memeluk erat tubuh sang perempuan yang pakaiannya sudah tampak mengenaskan dan berantakan akibat tangan jahil sang pria.
“Ri...an,” kata perempuan tersebut dengan desahan yang tak mampu ia tahan. Panggilan dari perempuan tersebut membuat Rian−laki-laki yang sejak tadi mencumbu perempuan tersebut menjadi tersadar atas apa yang diperbuatnya.
“Sorry, Bel,” ucap Rian pada Belinda−nama perempuan tersebut.
Belinda yang masih terengah-engah napasnya, karena baru pertama kali ini ia begitu menikmati cumbuan seperti yang dilakukan Rian terhadapnya tadi. Belinda merapikan rambut dan mini cardigan serta dress-nya yang masih dibawah lutut sedikit itu. Kini gadis cantik itu tampak gugup dan canggung akibat pengalaman pertama cumbuan panasnya. Sedangkan, Rian tampak biasa-biasa saja. Namun terbesit sedikit rasa sesal karena hampir saja akan membawa Belinda melakukan hubungan intim seperti temannya yang kini masih terdengar suara-suara desahannya di kamar tamu apartemen milik Rian. s**t! Si Erik bikin gue turn on aja. Hampir aja gue kelepasan ngajak si Belinda. Si Erik juga sih, main ‘skidipap’ rame bener kayak main PS, Batin Rian. Ia geram bagaimana temannya−Erik−tak tahu malu dengan kelakuannya dan pasangan ONS-nya saat ini.
Belinda yang dapat mendengar teriakan dan suara desahan itu merasa risih namun juga ada yang aneh dalam dirinya. Merinding. Tapi bukan karena hantu, tapi suara desahan dan teriakan kenikmatan di kamar tamu itu membuatnya bisa membayangkan adegan apa yang sedang dua orang itu lakukan. Belinda tampak kikuk dan malu saat ini. Pipi putihnya yang berbalut blush on itu semakin merona karena membayangkan hal yang ‘iya-iya’. Hal ini tak lepas dari pandangan Rian. Ia tergelak melihat rona wajah gadis blesteran yang cantik ini.
“Elo nggak pernah denger suara orang main ya sampai kikuk gitu,” ucap Rian tanpa malu. Netra Belinda membeliak kaget dengan ucapan Rian yang justru membuatnya semakin malu. Masih dengan gelakan tawanya, Rian melanjutkan kata-katanya,
“Kenapa? Elo mau ngerasain yang kayak di dalam juga, hm?” tanya Rian dengan memainkan alisnya naik-turun menggoda Belinda.
“Gila, deh kamu, Ian,” sahut Belinda. Gadis itu berdiri dan segera masuk ke dapur mengambil air minum. Ia mengambil gelas di kitchen set yang terletak di atas wastafel. Segera ia memencet tombol air dispenser dan memilih air dingin untuk mendinginkan gejolak dalam dirinya. Nggak aku nggak boleh terpengaruh dan kebablasan. Meski bakal ditunangkan dengan Rian, tapi nggak boleh melakukan hal itu sebelum nikah, batin Belinda bersuara agar tetap ia menjaga kewasaran otaknya. Belinda yang sedang bergeleng kuat dengan mata terpejam itu tampak lucu dan menggemaskan bagi Rian.
Rian memang belum mencintai Belinda akan tetapi bersama gadis itu bisa membuatnya nyaman. Setidaknya meski manja, Belinda tidak terlalu cari perhatian seperti gadis lain. Hal yang dilakukan gadis itu masih wajar. Tak membuat Rian risih berada di dekatnya. Merasa diperhatikan oleh Rian, Belinda semakin gelisah. Sembari meminum air putih di gelas yang mirip gelas wine itu, ia dengan perlahan minum, namun matanya bergerak sebentar ke kanan sebentar ke atas untuk menyembuyikan rasa gugupnya.
"Elo mau nginap atau gue anter pulang sekarang?" tanya Rian yang membuat Belinda kaget karena sedang melamun.
"Isshh ... Bikin kaget aja kamu, Ian. Sekarang jam berapa?"
Rian kembali tertawa Belinda memang lucu, "Makanya jangan melamun. Sekarang masih jam sepuluh malam. Kalau mau gue anter masih bisa kan."
"Kamu nggak mabuk kan, Ian?" tanya Belinda khawatir. Karena ia tahu tadi―di acara jamuan makan malam dengan para pengusaha Rian sedikit minum wine.
"Wine nggak bakal bikin gue mabok," jawab Rian enteng.
"Besok kamu jadi ke makam?"
Pertanyaan Belinda ini membuat Rian yang tadinya santai memainkan ponselnya mendadak berhenti. Tatapan matanya berubah menjadi sendu. Hal ini membuat Belinda mengigit bibir bawahnya. Ia sadar tampaknya ia mengatakan hal yang membuat Rian sedih sekarang.
"Ia jadi," jawab Rian singkat masih dengan tatapan sendunya. Binar mata indah laki-laki tampan itu seakan berganti mendung.
Rian ingat tanggal 7 Januari adalah hari kematian orang tuanya. Hari yang seakan merenggut kebahagiaan Rian remaja. Bukan Rian tak ingat bahwa esok adalah tanggal peringatan kepergian orang tuanya. Tanggal itu membuat luka di hati Rian menganga lebar yang sampai saat ini belum tertutup dengan sempurna. Hatinya seakan teriris sembilu setiap kali mengingat bahwa orang tuanya sudah tak ada lagi di dunia.
Belinda segera berjalan ke arah Rian yang saat ini duduk di sofa. Ia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Rian lalu mengambil tangan kiri Rian dan di genggamnya erat,
"Maaf, aku membuatmu sedih." Belinda mengucapkannya dengan tulus. Meski ia belum benar-benar jatuh cinta pada Rian, tapi melihat tatapan Rian yang mendung membuat Belinda ikut terluka.
Rian tidak menjawab penyataan maaf Belinda. Ia justru memeluk erat Belinda. Menumpahkan air mata kesedihan di pundak Belinda. Ia menjadi rapuh bila teringat kembali memori menyakitkan itu. Hingga saat ini Rian masih belum bisa mengikhlaskan kepergian orang tuanya.
Bagi Belinda ini adalah pertama kalinya ia melihat Rian begitu rapuh. Suara tangisnya begitu menyayat hati. Sedalam apakah kesedihan yang Rian rasakan? Apakah ada hal yang tersembunyi dibalik kematian orang tuanya, sehingga Rian tampak tak rela atas kepergian orang tuanya yang sudah berlalu sejak sebelas tahun yang lalu.
Segala pertanyaan ini begitu mengusik pikiran Belinda. Ingin ia membantu Rian melepaskan segala beban yang ada di masa lalunya. Meski ia belum mencintai Rian, tapi laki-laki ini pernah menolongnya dari keterpurukan. Air mata Belinda ikut luruh. Ia hanya bisa mempererat pelukan dan mengusapkan tangan kanannya pada punggung Rian. Memberikan kenyamanan yang menenangkan hati Rian. Sembari tetap mengusapkan tangannya di punggung Rian, Belinda mengucapkan kata lirih nan tulus,
"I will always beside you."
Dua insan itu saling memeluk dengan erat. Menumpahkan segala resah dan sesak yang selalu membayang. Tangan Belinda senantiasa mengelus punggung Rian―memberikan ketenanan pada laki-laki itu untuk tetap tegak berdiri seperti biasa. Sebagai CEO di perusahaan Direja grup milik kakeknya Rian sangat dikagumi. Namun sebagai seorang pribadi Rian sendiri―laki-laki berdarah Cina-Jawa itu menyimpan luka.