Aku yang ikut dalam pemakaman masih melihat jika kondisi jasad yang terbungkus kain kafan itu terus mengalirkan darah. Hal ini membuat kain mori berwarna putih itu memerah dari penutup muka, sampai sekujur tubuhnya. Dalam keadaan sudah tanpa nyawa pun, tenung itu masih saja bekerja merusak raga sang mayat.
Suasana di sini juga terasa sangat berbeda, angin kencang yang berhembus kencang hanya menerpa bagian atas liang lahat saja, seperti sebuah mahluk sejenis lampor yang terus memutari kami yang berdiri di pemakaman.
Sebagian orang hanya melihat dari kejauhan, mereka tdk berani mendekat karena merasa takut jika santet itu berimbas ke diri mereka juga keluarga, seperti dialami oleh tetangga Bu Larasati.
Keganjilan yang muncul bukan itu saja, roakan gagak yang bersautan dari atas pohon beringin besar dan rimbun itu seperti menyuarakan penyambutan astral, atau menandakan suara kematian. Entah apa arti semua ini, hanya doa yang terus terucap untuk benteng diri selama di sini.
"Kamu dari mana? Bukan orang sini ya?" tiba-tiba sebuah bapak-bapak menepuk pundakku.
"Bukan, Pak, saya hanya pelayat di rumahnya almarhum dan almarhumah."
"Ohh iya, perkenalkan saya Miko, abangnya Mbak Laras, menantu mendiang!" Orang itu memperkenalkan diri.
"Iya, Pak!" jawabku singkat.
Ini rentetan keganjilan selanjutnya yang kurasakan. Dalam waktu hampir bersamaan, selain menyaksikan kondisi mayat, roakan gagak, dan angin yang memutari area ini, tiba-tiba sosok Pak Miko datang memperkenalkan diri. Hal ini tentu menjadi presepsi negatif dalam benakku, muncul pradugaku jika kemungkinan abang dari teman ibu ini lah yang menjadi dalang semua peristiwa ini. Praduga ku semakin menguat, apa lagi jika teringat saat aku menyimak cerita Bu Laras jika perseteruan ini terjadi hanya karena sebuah warisan.
Di rumah duka, Pak Miko tidak terlihat sama sekali, baru di pemakaman ini aku berjumpa. Hal ini semakin menumbuhkan sebuah kecurigaan yang sangat kuat. Ibu juga bu Laras tidak ikut hadir di sini, membuat suasana semakin aneh, ditambah dengan berdirinya laki-laki setengah tua yang kini tepat berdiri di sebelah ku.
Perasan aneh itu terus kurasakan sepanjang perjalanan dari kuburan sampai ke rumah pak Samsi. Setibaku di rumah, aku langsung membasuh muka, dan duduk sambil merokok berusaha menenangkan diri dari segala keanehan yang kurasakan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencoba mencari Pak Miko yg aku jumpai tadi, tetapi dia tidak nampak, rupanya ia hanya hadir saat di pemakaman saja.
"Dia kah orang dibalik ilmu Setan ini?" pertanyaan itu terus muncul, dan aku semakin ingin mencari jawabannya.
"Kenapa, Le?" tanya ibu sembari berjalan menghampiriku.
"Enggak, Bu, nggak apa-apa," jawabku seraya mencoba tenang agar tidak memperkeruh suasana yang tengah berkabung.
"Bantu ibu berdoa, prapat rumah ini, juga tebarkan garam ini keliling rumah ya!" suruh beliau dengan memberikan garam yang terbungkus saputangannya.
Aku langsung melakukan prapat, membentengi rumah dengan sarana doa dan juga menebarkan garam di sekeliling rumah dan halaman. Hal ini terlihat aneh bagi sebagian orang, bahkan banyak yang bertanya apa yang tengah aku lakukan. Aku tidak menjawab dan tetap melakukan ikhtiarku. Aku hanya tersenyum membalas semua pertanyaan itu, dan itu kulakukan untuk mengurangi ketakutan para pelayat. Aku jadi menyadari bahwa warga juga mulai banyak yang merasa aneh dengan keganjilan yang menakutkan ini. Mereka mulai bisa merasakan dan keanehan dari peristiwa ini. Saat aku berkeliling rumah, aku curiga dengan tanah yang seperti habis digali. Posisinya tepat berada di belakang pekarangan, lebih tepatnya di sebuah sudut pagar belakang. Seketika aku langsung membongkar galian yang tidak seberapa dalam itu. Ternyata di situ tertanam bungkusan berbagai benda, paku, kaca, silet, jarum, bahkan gelugut bambu dan juga sembilu tajam bambu wulung. Ada sobekan kain entah itu milik korban atau bukan. Aku mengambilnya dan membakar sobekan kain, dan juga kafan pembungkusnya, sementara barang lain aku bungkus dengan saputangan bekas garam tadi.
"Ada sungai deras atau bengawan nggak disini, Pak?" tanyaku pada seorang warga yang tengah melayat.
"Ada, Mas. Tetapi harus melewati sawah dan hutan dulu baru ketemu sungai!" jawabnya dengan muka penuh keheranan.
"Ada yang mau antar saya ke sungai nggak ya, Pak?"
"Wah kalau ke sana itu kebanyakan orang takut, Mas. Selain banyak ular juga wingit, sarangnya lelembut!" jawab bapak itu.
"Ohh iya, Pak, jalannya lewat mana ya?"
"Sebaiknya Mas nggak usah ke sana, mau ngapain?"
Orang itu malah balik bertanya dan memperingatkanku tanpa mau menghantarku. Mungkin karena hari sudah sangat sore menjelang magrib, tentu keangkeran sebuah tempat keramat sangat dihindari oleh penduduk kampung sini. Pengurus kehidupan itu Tuhan, namun jangan heran jika kematian juga bisa dihadirkan melalui tangan mahluk tanpa terlihat mata t*******g manusia!
"Al ... Al .... " suara ibu memanggil dari depan pintu.
Beliau seakan-akan sudah tau apa yang aku temukan, dari pintu dapur ibu berjalan menghampiriku, mukanya terlihat sangat serius saat menatap ke arahku.
"Njih bu!"
(Ya bu) jawabku
"Langsung dilarung wae barang iku, ojo nunggu beboyo teko maneh!"
(Langsung hanyutkan saja benda itu, jangan menunggu bahaya datang lagi) suruh beliau.
Aku mengangguk pertanda setuju perintah ibu. Untuk menghindari penemuan benda ini diketahui banyak orang dan meminimalisir ramainya pembicaraan mengenai santet klenik kesakten ini di masyarakat, akhirnya aku memutuskan secepatnya mencari letak sungai besar itu, agar bisa melarung (menghanyutkan/pemusnahan) benda yang menjadi sarana santet yang ditujukan kekorbannya.
Tak terasa hari sudah menjelang malam, alam yang bercahaya terang, kini mulai samar meremang. Aku berjalan melewati kebun salak yang lebat. Rimbunnya hutan bambu yang tumbuh di lereng jurang yang berseberangan dengan perkebunan salak membuat suasana semakin terasa angker. Pantas saja, sebagian warga setempat menghindari area ini, yang ternyata merupakan sarang kuntilanak.
Perlahan berjalan menuruni jalan setapak dengan anak tangga batu yang terbentuk secara alami, suara gemuruh derasnya air sungai mulai terdengar. Tidak beberapa lama kemudian, aku sudah sampai di sebuah sungai dengan air yang berarus deras, bebatuan hitam berlumut pun menghampar di sebagian permukaan sungai. Di tengah gelapnya malam terdengar riuhnya suara serangga liar. Aku mulai menapaki bebatuan sungai dengan hati-hati karena batu-batuan itu sangat licin. Saat sampai di sebuah batu besar, aku berdiri di atasnya dan mengeluarkan benda yang terbungkus sapu tangan.
Hii ... hii ... hii ...
Belum sempat aku menghanyutkan semua benda-bensa ini ke sungai. Terdengar ramainya suara cekikan kuntilanak menyambutku, menandakan saat ini yang muncul lebih dari satu kuntilanak. Saat ini Aku merasa sedang dikepung lelembut.
"Bismillah, dunung dumadi, kramating samubarang, sirno tanpo tinapak, lebur kanti kersonging pengeran. Penjalin sak brayat tanpo tinukul kalahiraken, prawilo wangsul marang jagad lembut!"
Aku menghanyutkan benda-benda itu ke sungai, tak lama kemudian, derasnya arus air langsung membuat benda itu sirna dari pandangan. Semilir angin berhembus menyapu kesunyian malam yang terasa mistis. Aroma wewangian tercium. Beberapa sosok mulai bermunculan menunjukan wujud-wujud mereka, meski hanya diam tanpa mendekat.
Aku memutuskan bergegas meninggalkan tempat ini, agar tidak lagi merasakan aura mistis yang buat bulu kuduk berdiri dan merinding. Dalam perjalanan pulang, aku singgah salat di sebuah masjid sebelum kembali ke rumah pak Samsi. Hanya beberapa jamaah saja mengisi tempat indah ini. Para penduduk sepertinya lebih memilih berdiam diri dalam rumah masing-masing.
Sepanjang jalan perkampungan sangat sepi. Di pertengahan kampung, terdapat jalan dengan tatanan bebatuan kecil yang letaknya lurus dengan turunan jalan yang menukik tajam. Sebenarnya lampu-lampu penerangan jalan terdapat di setiap tiang listrik, tetapi tidak semuanya menyala sehingga menyebabkan cahaya yang muncul hanya remang-remang. Suasana memang terasa aneh di sini, selain jauh dari keramaian para penduduk pun nggak ada yang berada di luar rumah. Bahkan para remaja pun tidak tampak berada di luar meski hanya sekedar duduk nongkrong menikmati malam.
"Mas, tadi ibunya Mas Al bilang kalo mas Al menunggu di rumah saja karena ibu sedang melihat rumahnya kakek Darmadi dengan bapak juga ibu," ujar Wahyu putra tertua bu Laras memberitahuku setibanya aku di rumah.
"Ohh iya, Mas. Maaf, saya numpang mandi dulu ya,"
"Sudah gelap kok mandi mas, disini dingin, nanti masuk angin."
"Ahh, ga papa, Mas. Masalahnya saya belum mandi seharian," ujarku.
Mungkin saja bagi Wahyu malam ini terasa dingin, tetapi bagiku dan tubuhku, terasa panas! Walaupun aku sudah beribadah, tetapi energi benda sarana santet itu masih saja terasa, membuat tubuhku terasa panas dan tenaga seakan-akan berlahan-lahan terserap oleh kekuatan asing. Usai mandi kami duduk sambil ngopi, membicarakan perihal keganjilan semua ini.
"Mas kenapa tahlilan malam ini warga tidak ada yang hadir kemari?" tanyaku dengan memberanikan diri.
"Saya juga tidak tau Mas Al, mungkin pada takut karena rumor santet yang menimpa kedua eyang saya, jadi tidak ada yang datang!" Wahyu menjawab dengan wajah yang terlihat sedih.
"Bukannya tahlilan digelar sampai tujuh hari ya?"
"Iya, Mas, biasanya juga begitu!" katanya sambil menghela nafas.
Prangg !
Saat kami asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar dari arah belakang terdengar suara seperti panci dibanting dengan sangat keras.Tepatnya berasal dari tempat memandikan jenazah mertuanya bu Laras siang tadi. Kami beranjak untuk mengecek apa yang tengah terjadi di sana, takut ada maling atau orang jahat yang mau memasang tenung kembali. Sesampainya ke tempat itu, kami terkejut karena melihat sosok pocong yang berlumuran darah berdiri di samping meja yang digunakan untuk memandikan mayat. Wajahnya terbungkus mori yang memerah karena darah sehingga kami tidak bisa melihat wajah dari dedemit ini.
"Astagfirullah...!" teriak Wahyu sebelum jatuh pingsan.
"Mas... Mas... Mas Wahyu, bangun mas!" Aku mencoba membangunkan dengan menepuk pelan pipinya.
Aku sama sekali tidak mempedulikan perwujudan setan yang masih tetap berdiri itu. Aku justru sibuk berusaha mengangkat tubuh besar Wahyu yang terjatuh tidak sadarkan diri karena ketakutan menyaksikan pocong tersebut. Aku berusaha sekuat tenaga membangunkannya karena selain aku tidak sanggup mengangkat tubuhnya, tubuhku kalah besar dibandingkan dengan tubuh Wahyu. Aku berlari keluar, berharap menemukan orang yg bisa di mintai pertolongan. Namun jalanan tetap saja sepi. Aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Entah ada apa dengan desa ini, kenapa semua penduduk masih sangat pendek pola berpikirnya, mereka ketakutan dengan bayangan kematian. Aku oleskan balsem yang aku temukan di tas ibuku, mengoleskannya di telapak tangan, kaki, juga bawah hidung, aromanya membuat Wahyu perlahan-lahan membuka mata, ia terperanjat, sontak terbangun, duduk dan berteriak ketakutan.
"Pocong... pocong...!" teriaknya histeris.
"Istigfar, Mas, sudah tidak ada setan itu."
Setelah sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, dia mulai merasa tenang. Wajahnya masih terlihat pucat ketakutan. Aku mengajaknya kembali duduk di depan dan menyuruhnya minum air putih. Wahyu tertunduk dengan tatapan kosong, sepertinya dia sedang menahan gejolak yang muncul di dalam dirinya, membuatku terus berusaha menenangkannya.
Wajar saja jika Wahyu merasa panik dan ketakutan. Ini pertama kali di dalam sejarah hidupnya menyaksikan wujud hantu secara jelas dan nyata. Selama ini dia hanya mempercayai jika lelembut itu ada, tetapi sama sekali belum pernah melihat. Sekalinya melihat lelembut dengan wujud seperti itu membuat mentalnya down, dan jatuh tanpa sanggup menahan ketakutan.
"Istigfar, Mas. Semua baik-baik saja."
"Astagfirullah, Mas saya baru pertama kali melihat pocong seperti itu, sangat menyeramkan ternyata!" ujarnya sambil bergidik.
"Nggak papa, memang seperti itu wujudnya!" ucapku berusaha menenangkan dirinya.
"Aduh Mas, saya tidak bisa membayangkan bagai mana jadi seperti Mas Al."
"Jadi seperti saya, bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku karena tidak paham maksud ucapannya.
"Ibu sudah sering cerita mengenai keluarga Mas yang biasa menangani seperti ilmu hitam dan bersinggungan langsung dengan lelembut!"
"Itu ibu saya yang bisa, Mas, kalau saya tidak tau apa-apa, tidak bisa melihat apapun!" terangku padanya.
Prang! Prang! Prang!
Suara benda jatuh itu mulai terdengar lagi, tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Spontan Aku melihat ke arah Wahyu, tubuhnya terlihat tegang dan berkeringat, mimik wajahnya panik dan semakin pucat. Aku menyuruhnya diam saja di sini, aku masuk ke belakang untuk mengecek suara tidak lazim itu. Aku yakin pasti ada yang akan disampaikan oleh sosok pocong itu, ia seperti ingin memberitahukan sesuatu atau meminta pertolongan. Saat tiba di tempat pemandian jenazah tadi siang, persis di tempat yang sama, berdiri sosok ibu tua mertua bu Laras, dengan tatapan mata berair, ia menangis, mulutnya terus mengeluarkan darah yang menghitam. Rintihannya terdengar pelan menggambarkan kesakitan dari jasadnya.
Sak klebating piweruh iku anggowo makno ugo siratan kang alus tanpo zdhohir suoro! Anamung kang julung, kang dumadi tinuju, biso ngrekso pawujud alus.
Aku terpaku memandangi pocong itu. Saat kuperhatikan dengan seksama, wujud pocong yang menyerupai almarhumah nenek Wahyu itu terus-menerus menangis, sementara mulutnya tiada henti memuntahkan darah. Tiba-tiba seperti ada bisikan dan panggilan lirih yang mendorongku agar lebih mendekati lelembut itu, tetapi aku memilih mengabaikannya. Aku tetap saja fokus terpaku menatapnya.
"Le ... reneo ..."
(Nak ke sinilah)
Panggilan itu diulang sampai tiga kali seakan-akan untuk menyakinkan indra pendengaranku. Setelah panggilan yang ketiga baru kakiku melangkah, mendekat dengan sendirinya tanpa perlu diperintah oleh pikiranku.
"Aku titip Wahyu, Le. Jogonen putu ku... aku titip Tari... tulung jogonen putuku ...."
(Aku titip wahyu, jagakan cucu ku... aku titip Tari, jagakan cucu ku..), ucapan lirih itu terdengar dari setan pocong yang berdiri di hadapanku.
Aku mengangguk perlahan, pertanda menyetujui permintaannya , karena aku memperkirakan, bisa saja korban selanjutnya yang menjadi incaran ilmu ini adalah mereka berdua; kedua anak bu Laras. Dan kedatangan pocong ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi lebih memberikan pesan atau meminta pertolongan, agar aku dapat melindungi Wahyu dan adiknya, Tari.
"Mas... Mas...!", suara wahyu memanggil dari ruang tengah.
"Iya,Mas!" jawabku menyahut panggilan Wahyu.
Wusshh ... !
Tiba-tiba angin berhembus dengan sedikit kencang.
Lapp ...
Mendengar suara panggilan Wahyu, sosok di hadapanku tiba-tiba lenyap menghilang tanpa meninggalkan tanda apa pun, hanya masih tercium aroma bau amis darah saja. Aku sejenak menghela nafas, lalu meninggalkan area tempat pemandian jenazah, masuk ke dalam rumah menghampiri Wahyu.
"Ba ... bagaimana, Mas? masih ada pocong itu masih ada?" tanyanya dengan badan gemetar.
"Sudah tidak ada, Mas, sudah pergi, bagusnya mas Wahyu salat terus istirahat saja!" Suruh ku padanya, agar lebih tenang.
"Iya, Mas. Saya pamit sholat dulu ya!"
"Iya, Mas, silahkan."