Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak.
Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.
Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.
Akan Langit kutuk setelah ini.
Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya u*****n kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.
Sialan-sialan-sialan.
Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang d***u bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Tidak tahu tempat. Di mana pun. Kamar, ruang keluarga, dapur bahkan taman belakang rumah, mereka melakukannya di mana pun.
Sensasinya sangat luar biasa. Menahan suara yang mematikan hingga tenggorokannya sakit. Menghentak dengan sangat keras. Melempar godaan demi godaan dengan sangat gilanya.
“Aku selesai Papi.”
Yang sangat tidak bertanggungjawab di tinggalkan. Mata Langit nyalang menatap tubuh Ratu yang berlalu seakan matanya bisa melubangi.
Sebentar lagi! Rasakan pembalasannya.
“Abang kamu sudah kasih kabar belum?”
Beruntungnya meski kemarahan melanda, Langit bisa membagi fokusnya. Dan obrolan bersama Papinya—Radit Anggoro—berjalan mulus tanpa curiga.
“Semuanya oke Pi. Aku cuma perlu belajar lebih giat buat mengenal semuanya. Ini sulit banget, awalnya. Tapi sekarang it’s okay.”
“Bagus. Papi sama Mami bisa pulang kampung dengan tenang.”
Ya. Masa-masa yang sudah Radit dan Senja jalani akan di rasa cukup sampai di sini saja. Ketiga anaknya sudah tumbuh dengan baik. Keseluruhannya sangat mumpuni untuk segera di lepas. Mengemban perusahaan yang Radit lebarkan sayapnya. Merajai beberapa properti handal dan kebutuhan hingga ke luar negeri.
Semuanya terintis dengan apik. Kehidupannya sudah lebih dari tenang. Cita-cita untuk menghimpun anak-anaknya dalam memberi bimbingan telah usai. Kini, berganti dirinya dengan sang istri yang akan lengser. Meninggalkan Bandung dan kembali ke Ungaran. Mengenang masa muda mereka yang penuh dengan lika-liku.
“Papi mau ngajar lagi?” Ini Senja yang bertanya.
Wanita paruh baya yang masih ayu di usia pertengahannya jelas menyihir Radit yang hingga setua ini masih sangat bucin.
Radit mengangguk. “Dan berkebun. Papi punya tanah kosong yang bisa kita kelola buat jadi toko bunga.”
Senja mengangguk senang pun dengan Langit yang bungah melihat interaksi kedua orangtuanya.
Dalam pandangannya, mereka adalah orangtua sempurna yang romantis. Jarang terdengar pertengkaran di antara keduanya. Selalu memberi kebebasan untuk anak-anaknya memilih. Tidak ada paksaan yang mengharuskan mereka menjadi boneka di rumahnya sendiri.
Bangga? Tentu saja. Langit akui itu. Dirinya bahagia, kecuali …
“Langit tidur Mi, Pi.” Yang di kecupnya pipi kedua orangtuanya bergantian. Dan menaiki tangga menuju kamarnya.
***
Ini pasti nahas.
Kesialan yang datang bertubi-tubi, Langit garis bawahi sebagai kenahasan.
Tubuhnya hampir limbung ke depan begitu tangannya di tarik memasuki sebuah ruangan. Lebih gilanya bukan pada tubuhnya yang akan terpental tapi pada di mana dirinya berada; kamar Abangnya, Raja.
Ratu mengekspos tubuhnya dalam balutan gaun tidur—sial—Langit menelan ludahnya keras-keras menahan amarah atas perbuatan Ratu beberapa menit yang lalu. Langit tutup matanya guna menghalau emosi yang membuncah di d**a. Sampai ludahnya serasa di taburi garam dan paku, sulit menelan.
“Nggak mau lanjutin yang tadi pagi?”
Jika berlanjut, season kedua mereka akan menjadi sebuah angkara murka.
Pertama mencoba, pikiran Langit sudah sangat gila. Untuk mempertahankan kewarasannya saja harus Langit alihkan dengan minuman beralkohol.
Sekeras apa pun Langit menolak, tak ada yang bisa menebak pergerakan Ratu. Tiba-tiba semuanya terjadi begitu saja. Langit ingin mengumpat sekali lagi namun kalah cepat dengan akal sehatnya yang merespons. Percuma, bisikannya begitu. Sisi lain dirinya telah bangkit dan tanpa bisa di cegah.
Gila jilid II sedang berlangsung.
“Ini gila.”
“Tapi aku suka.”
“Mami sama Papi bisa mati mendadak.”
“Jangan sampai mereka tahu!”
Langit hentikan talinan saliva yang ada di dalam mulutnya. Tatapan dua hazel beda warna saling merajut. Ada asa, harapan, keinginan untuk bersatu—dalam artian normal yang sesungguhnya. Namun jelas bukan itu yang akan mereka bahas saat ini.
Menuntaskan apa yang sudah di mulai jauh lebih perlu ketimbang permasalahan yang lain.
Langit membalik tubuh Ratu. Keinginan untuk bersama kian menguat. Dan malam yang larut, saksi di mana keduanya melebur tanpa batas.
***
Aku tidak bisa berhenti mencintai sekali pun kita saudara.
Tulisan Langit rapi. Di atas kertas bergaris, curahan hatinya tertuang.
Semalam, percintaannya sangat hebat. Tidak satu kali apalagi dua kali. Berkali-kali hingga hampir subuh lelah mendera barulah keduanya usaikan.
Akalnya bergaung; ini tak bisa di teruskan. Kita saudara kandung, satu ayah, satu ibu. Berada di rahim yang sama. Berbeda waktu kelahirannya.
Kenikmatannya semu. Tapi Langit terus mendamba. Ia ingin melakukannya tanpa mau berhenti. Atau kegilaan yang sesungguhnya justru ketika semua ini di hentikan?
Tidak!
Ini tidak bisa berhenti. Semuanya sudah terangkai dalam benang merah takdir. Memutus secara paksa bukan jalannya.
Melanjutkan juga salah.
Akan lebih salah jika berhenti. Ratu miliknya, candunya, obatnya dan segalanya untuk hidupnya.
Lantas siapa yang patut di salahkan?
Sampai di situ otak Langit buntu. Dalam hati membenarkan perihal ini: siapa yang patut di salahkan. Namun menelusuri hingga jauh, tidak menemukan jawaban yang sesuai. Semuanya terlihat normal. Berjalan sesuai semestinya.
Berarti tidak ada yang salah, kan?
***
Malamnya, Langit sengaja pulang dalam kondisi larut.
Awan gelap sudah menggerombol—pertanda hujan akan mengguyur. Namun aktivitas di luar sana riuh. Mengabaikan arakan yang bergumpal hendak demo.
Memasuki pekarangan rumahnya, sepi menjadi sapaan awal. Para pekerja akan pulang di sore hari. Juga orangtuanya sudah kembali ke kampung halaman sore tadi.
Hanya Langit sendiri di rumah sebelum ciuman panas menyerang bibirnya. Begitu saja Langit tersenyum. Pikiran ruwetnya menghilang. Sekarang ia yakin bahwa tindakannya benar. Pilihannya juga amatlah benar. Faktanya, Ratu candunya.
Semua kekosongan dalam hatinya mendadak terisi penuh. Otaknya yang semrawut, kembali cerah setelah benang saliva terjalin dengan penuh damba.
“Aku belum mandi.”
“Kamu nggak butuh itu!”
Ratu lucuti pakaian Langit. Mulai dari kemeja kusutnya, celananya dan menyisakan lapisan dalamnya. Ratu usapi perlahan. Tangannya bergerilya. Mulutnya bekerja, mengulum dengan sangat lihai dan tepat mengharuskan Langit berteriak penuh kenikmatan.
Kembali terulang. Langit dan Ratu menyatu bersama derasnya hujan. Pendukung aktivitas keduanya untuk jangan berhenti.