Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?
Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.
Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.
Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah.
Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.
Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.
“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu balas dengan tatapan mata yang keji. “Langit … ada?”
Hah! Ratu acuhkan saja. Membiarkan perempuan itu menyeret kopernya masuk.
Seraya menggerutu sepanjang jalan menuju kamarnya: b*****h ini kenapa harus kembali lagi?
Fyi, eaaaa gayanya. Ratu benci dengan perempuan mana pun yang menjalin kasih dengan adiknya—Langit. Otak cantiknya selalu memiliki segudang cara untuk memisahkan mereka kecuali yang satu ini. Ratu sungguh ingin membuatnya menjadi perkedel … ganti, rujak saja. Lalu ia hidangkan pada hidung belang di tempat p*******n abangnya—Raja.
“Bangun ih.”
Dasar manja. Ratu mencibir dalam hati.
Kamarnya dengan Langit berdampingan. Pintunya juga sengaja dirinya buka lebar-lebar untuk menguping percakapan apa yang akan perempuan s****l itu omongkan.
“Apa, sih?!”
Mampus! Ratu cekakakan weka-weka begitu jawaban Langit adalah sentakan.
Syukurin! Rasain! Di kiranya Langit itu mudah luluh cuma karena dia berstatus pacar?
“Kak?” Duh drama deh. “Langit nggak mau bangun.”
“Biarin saja.” Ratu melirik sekilas dan kembali fokus pada ponselnya. Setelahnya hengkang dari sana dan mandi.
***
Yang Ratu biarkan tubuh serta rambutnya basah di bawah guyuran air. Kulitnya merasai sengatan luar biasa di pinggulnya. Terus turun hingga di bongkahan pangkal pahanya barulah matanya terbuka.
“Ada pacar kamu.”
“Aku nggak peduli.”
“Dia bisa dengar.”
“Aman.” Langit kecupi daging candu untuk ia lahap. “Aku lebih suka yang di sini.”
Berlanjut kilat tanpa peduli apakah menghambat aktivitas setelah ini atau tidak. Yang lima belas menit usai dengan pelepasan, Langit handuki tubuh Ratu. Ia keringkan tubuh sintal seksi berisi dengan mata yang merekam tajam.
“Aku bakal kangen kalau kita jauh-jauhan.”
“Kamu mau pergi?”
Embusan napas Langit menubruk p****g Ratu yang menegang cantik. Langsung menjadi santapan yang berakhir di mulut Langit.
“Kamu bakal di cabang Surabaya. Abang yang bilang semalam.”
“Kamu bisa ke sana seminggu sekali.”
Merasa sinyalnya hijau, Langit senang bukan main. Wajahnya yang sempat suram, semringah cerah tanpa bisa di tebak.
“Oke.”
***
Arra namanya. Teman semasa kuliah Langit di Singapura yang sama-sama darah Indonesia. Bedanya, jika Langit jawa tulen, maka Arra turunan minang. Jangan di tanya seberapa cantik wajahnya. Kemolekan yang Arra miliki menyihir setiap lelaki yang memandang. Sekali lihat, lelaki akan bertekuk lutut di depannya.
Sayangnya, itu tidak berlaku bagi Langit yang bernotaben seorang most wanted di kampus. Lelaki yang menuruni ketampanan papinya hampir 85 % itu sungguh golongan suamiable. Masuk dalam daftar dari segala segi ukuran maupun bibit, bebet dan bobotnya.
Dari segi kaya. Bukan lagi isapan jempol belaka.
Tampan? Most wanted lho ya di kampusnya bahkan di luar kampusnya, eksistensi Langit sangat di elukan.
Pintar? Meskipun hanya memilih Singapura sebagai tempatnya mengemban ilmu, Harvard pun bisa di jebolnya. Namun perhitungan dari segala waktu yang akan terus beranjak, Langit jatuhkan pilihannya di Singapura. Karena apa?
Simpel saja. Ia ingin dekat dan selalu bertemu dengan mami papinya. Sebagai bungsu, Langit sadar akan perannya. Suatu saat, yang menjadi tumpuan masa sepuh orangtuanya adalah anak-anaknya. Maka, Langit belajar sedari dini.
Tapi bagi Arra, bukan kualifikasi itu semua yang membuat dirinya mengejar Langit. Melainkan hatinya yang terpaut sejak pertama melihat. Pandangan pertama yang sulit Arra belokkan—sekadar berkedip saja susah.
Perihal kaya, Arra takkan khawatir. Keluarganya bisa di bilang terhormat. Om Radit dan tante Senja sangat tahu itu. Di belakang sana, hubungan kedua orangtua Arra dan Langit terjalin dengan apik. Arra sering merengek kepada mama papanya untuk membujuk Radit dan Senja menjodohkan dirinya dan Langit. Jawaban pasangan paruh baya itu sungguh menyesakkan: “Kami memberi pilihan untuk anak-anak dalam memilih.”
Keki sekali Arra dengan jawaban seperti itu. Seperti penolakan tak kasat mata, Arra gencarkan senjata dalam mengejar Langit.
Saat ini contohnya.
Pukul enam pagi—orang rumahnya sangat tahu tabiat Arra yang tak bisa bangun pagi. Tapi demi Langit, dirinya bergegas meluncur dari Padang ke Bandung guna menemui pujaan hati. Liburan yang sebentar membludakkan rindunya. Sampai tumpah-tumpah layaknya sungai ciliwung menggenangi jalanan Jakarta di kala hujan deras.
Sembari menunggu Langit yang mandi—usai drama membangunkan—Arra berkutat dengan dapur. Kebetulan para pekerja sudah hadir. Yang dengan sigap membantu Arra tapi di tepis dengan dalih: “Aku mau masak buat Langit dan Kak Ratu.”
Para pekerja lengser, meski tahu kejadian selanjutnya.
“Gue nggak suka masakan orang lain.” Suara Ratu menggelegar. Penjuru ruangan senyap. Tak ada yang bisa melawan ketika Ratu di rumah Anggoro mengeluarkan suaranya.
“Maaf … tapi Arra pikir ini makanan kesukaan Kak Ratu.”
“Memang! Siapa lo yang berani-beraninya nyentuh barang-barang di rumah gue?!”
Mbok Dasimah selaku kepala pelayan di rumah menggeleng pasrah. Tak ada nyonya di rumah selain Ratu. Maka tindak-tanduk sekaligus titah Ratu tak terbantah.
“Pergi!”
“Langit?”
Langit anteng dengan laptopnya. Setelah kopi yang di sajikan Mbok Dasimah mendarat, mengulaskan senyum di bibir, melegut dengan santai, jawaban dari suaranya keluar.
“Kak Ratu nggak suka di tentang.”
Tak ada yang bisa melawan Ratu. Perempuan berparas ayu itu memiliki sejuta misteri yang tak bisa di nalar dengan otak manusia. Siapa yang ingin memberikan penilaian waras jika obsesi terbesarnya ada pada Langit—adik kandungnya.
Jadi, sudah sepatutnya, perempuan mana pun yang hendak merebut Langit, akan Ratu sakiti secara mental. Mungkin sejenak, akan Ratu beri kelonggaran untuk Arra. Bersenang-senang, merengek dan mencari perhatian Langit.
Namun, jangan salahkan pertikaian apa yang akan muncul ke darat. Ratu tidak main-main dengan ucapannya. Bisa jadi usai ini atau detik ini atau malam nanti, semua rencana yang tersusun dalam otak cantiknya terlaksana.
Ratu benci, ketika miliknya di sentuh orang lain. Itulah arti; jangan menyentuh barang yang bukan milikmu.